Hijrah: Strategi Mencapai Kemenangan
KONSEKUENSI orang-orang beriman dan menyeru di jalan Allah tidak selamanya disambut oleh lingkungannya dengan ramah. Sebaliknya, ia mendapat reaksi dan tantangan berupa penolakan, pencemoohan, penganiayaan bahkan pembunuhan. Dalam keadaan demikian juru dakwah tidak boleh tinggal diam dalam penderitaan penganiayaan diri. Ia harus melakukan hijrah baik secara ideologis ataupun teritorial.
“Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan karena sesungguhnya sebagian kamu adalah keturunan sebagian lain; Maka orang yang berhijrah yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalanKu, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah Kuhapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan pada sisiNya pahala yang baik” (QS 3:195).
Tepatlah kalau Khalifah Umar RA yang kritis dan jenial itu memilih peristiwa “hijrah” ini sebagai tahun pertama penanggalan Islam. Hijrah diterjemahkan sebagai Al-Furqon. “Hijrah ini memisahkan antara yang haq dan yang bathil, oleh sebab itu abadikanlah dengan menjadikannya sebagai titik tolak penanggalan”. Hijrah merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan umat Islam. Kewajiban tersebut hukumnya tetap berlaku sampai hari kiamat. Dalil yang menunjukan kewajiban hijrah, yaitu firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh malaikat dalam keadaan dholim terhadap diri mereka. Malaikat bertanya kepada mereka: Dalam keadaan bagaimana kamu ini? Mereka menjawab: Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah). Para malaikat berkata: Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (ke mana saja) di bumi ini? Maka mereka itulah tempat tinggalnya neraka jahannam, dan jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali. Akan tetapi orang-orang yang tertindas di antara mereka, seperti kaum lelaki dan perempuan serta anak-anak, yang mereka itu dalam keadaan tidak mampu menyelamatkan diri dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), maka mudah-mudahan Allah memaafkan mereka. Dan Allah adalah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun (QS 4;97-99).
Yang dimaksud dengan orang-orang yang dholim terhadap diri meraka sendiri dalam ayat ini ialah orang-orang penduduk (Mekkah} yang sudah masuk Islam tetapi tidak mau hijrah bersama Nabi, padahal mereka mampu dan sanggup. Mereka ditindas dan dipaksa oleh orang-orang kafir supaya ikut bersama mereka pergi ke perang Badar, akhirnya ada diantara mereka yang terbunuh.
Hijrah dalam hal ini juga bermakna, pertama-tama untuk menyelamatkan orang-orang yang telah beriman dan mendapatkan ancaman. Kedua untuk mencari daerah atau kawasana lain yang lebih subur untuk menyegarkan, menyemaikan benih-benih ajaran Islam. Yang ketiga, untuk menyusun barisan dan kekuatan.
“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan-jalan Allah, dan orang-orang yang memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin) mereka itulah orang-orang yang beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rizki” (QS 8:74). Dalam firman di atas disenafaskan, beriman, berjihad, berhijrah. Tidak bisa lain berhijrah adalah dalam rangka berjihad (berjuang), tetapi bukan sembarang berjuang, melainkan berjuang berdasarkan iman. Dengan demikian Hijrah mengajarkan ilmu perjuangan dengan Rasulullah mencontohkan konsistensi membawakan misi beliau yang tidak terguncangkan oleh kondisi dan situasi, baik yang merayu dengan harta, tahta, wanita maupun yang menindas dengan boikot, pembunuhan dan sebagainya.
Dalam keadaan yang demikian kritis, seseorang sahabat menyarankan: Engkau Rasulullah ya Muhammad, mengapa engkau biarkan orang itu menghinamu, menganiayamu? Mengapa engkau tidak meminta kepada Allah agar menghancurkan orang-orang itu? Dengan sabar Nabi menjawab bahwa jika mereka tidak ada lalu dakwah kepada siapa aku ini? Mereka tidak mengikuti kita, barangkali anak-anaknya atau cucu-cucunya akan menjadi pengikut kita yang setia.
Puncak kritis dalam perjuangan yang dihadapi oleh Rasulullah inilah yang akan menentukan kadar keimanan para pengikutnya. Apakah akan berhijrah atau tidak? Apakah akan tetap konsisten atau inkonsisten dalam seluruh perjuangannya untuk menegakkan kalimat Allah.
Hijrah secara fisik adalah dalam pelaksanaan hijrah secara pendirian dan pembawaan diri dari tengah-tengah arus kemusyrikan dan kemaksiatan yang bercokol. Mereka yang berhijrah itu tidak terbenam atau hanyut oleh arus itu. Bukan pula untuk mengalah, tapi untuk nanti kembali ofensif.
Rasulullah ke Makkah setelah membangun kekuatan dan barisan baru di Madinah. Dengan pengikutnya yang militan, walaupun sebagai minoritas kecil di tengah-tengah mayoritas yang besar artinya secara kuantitatif, tetapi mereka adalah mayoritas mutlak dalam arti kualitatif, yakni sebagai pihak yang memperjuangkan kebenaran dengan berhijrah. Hijrah adalah punya posisi strategis dan bukan taktis. Jika tidak hijrah, sesorang itu tidak dapat melakukan ajaran islam secara kaffah, maka “haram” hukumnya, dan wajiblah dia itu berhijrah sehingga sampai mampu melaksanakan Islam secara kaffah.
Memang saat-saat yang memaksa dan menentukan untuk mengambil keputusan antara dua pilihan itu, adalah saat yang paling berat. Tetapi orang yang berpendirian teguh, memilih hijrah sebagai jawaban, untuk menjamin tetap mengembangkan perjuangan suci , menyelamatkan prinsip-prinsip. Jadi tetap konsisten, walau bagaimana beratnya. Tetap konsisten kepada strategi dan tidak mengorbankan untuk merosot jadi sekadar taktik.
Keputusan Muhammad SAW untuk hijrah ternyata membawa kemenangan. Hanya 11 tahun sejak peristiwa monumental itu, Islam berkembang pesat. Kota Mekkah, Madinah, dan seluruh jazirah Arab telah dipegangnya bahkan sampai mengguncangkan Romawi dan Persia lambang keperkasaan saat itu. Muhammad SAW memegang tampuk pimpinan pemerintahan Islam di Madinah. Kondisi masyarakat Madinah saat itu terdiri bermacam-macam golongan di antaranya: umat Islam, Kristen, Yahudi, dan penyembah-penyembah berhala. Untuk mengatur ketertiban dan keamanan, maka kepada golongan yang bukan Islam diadakan perjanjian tertulis, di mana masing-masing pihak (Islam dan bukan islam) mempunyai hak dan kewajiban yang sama, di samping kebebasan memeluk agamanya masing-masing. Penanganan yang menyangkut kepentingan nasional dalam sistem musyawarah di antara warga seperti yang diterangkan dalam surat Ali-Imron 150: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohon ampunkanlah mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dengan urusan itu (hal duniawiah). Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya”.
Di dalam pelaksanaan hukum selalu berpedoman nilai-nilai keadilan dalam konteks Qur’ani dan karenanya tak ditemui dalam sejarah pemerintahan nabi Muhammad SAW adanya penyelewengan hukum, karena alasan-alasan jabatan, hubungan kekeluargaan, sogok, ideologi maupun yang lain. Salah satu bukti yang sampai sekarang ini merupakan pedoman yang “mutlak” bagi umat Islam dalam menegakkan keadilan (hukum) ialah ketetapan Muhammad SAW dengan ucapannya: “Demi jiwaku yang berada dalam genggamanNya seandainya Fatimah binti Muhammad itu mencuri, pasti akan aku potong tangannya”.
Semangat hijrah kita songsong dengan sabda nabi: ”Perhitungkanlah amal perbuatan sebelum nanti dihisab (diteliti) oleh Tuhanmu. Sungguh berbahagia orang-orang yang suka meneliti terlebih dahulu akan aib (kekurangan-kekurangan) diri sendiri daripada meneliti kekurangan-kekurangan orang lain”.
Kita teliti apakah sikap dan laku kita sudah sesuai dengan tuntunan Allah? Kalau tidak, tak ada alasan lain kecuali berhijrah. “Barang siapa yang bersungguh-sungguh menuju ke jalan Kami(Allah) niscaya akan Kami tunjukkan jalan-jalannya” (QS 29:69). AllahuAkbar. ***
HM Halimi Djazim Hamidi, S.E., M.M.
Dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis SV UGM