Warga Kampung Lempuyangan Menolak Penggusuran untuk Pengembangan Stasiun
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Belasan kepala keluarga di Kampung Lempuyangan, Kelurahan Bausasran, Yogyakarta, menolak rencana PT Kereta Api Indonesia (KAI) untuk mengambil alih permukiman mereka sebagai bagian dari proyek pengembangan Stasiun Lempuyangan. Warga yang telah mendiami kawasan tersebut selama puluhan tahun mengklaim memiliki hak atas tanah melalui Surat Keterangan Tanah (SKT).
"Kami sudah tinggal di sini sejak puluhan tahun lalu. Saya sendiri lahir di sini dan sekarang usia saya hampir 60 tahun. Bapak saya mulai tinggal di sini sejak tahun 1962," ujar Anton Handriutomo, Ketua RW 01 Kampung Lempuyangan, Senin (9/4/2025).
Berdasarkan informasi yang dihimpun, PT KAI berencana menata kantong parkir dan warung di Selatan Stasiun Lempuyangan dan mengalihfungsikan 13 bangunan di kawasan tersebut menjadi area perkantoran. Rencana ini baru disosialisasikan kepada warga pada Maret lalu, dengan tenggat waktu pengosongan pada akhir Mei mendatang.
Surat Palilah
Perselisihan ini berakar pada klaim kepemilikan tanah dari kedua belah pihak. PT KAI berpegang pada surat "palilah" (izin sementara) dari Keraton Yogyakarta yang ditandatangani oleh GKR Mangkubumi pada Oktober 2024. Sementara itu, warga memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT) yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
"Posisi kami dengan PT KAI sebenarnya sama. Mereka punya palilah yang berlaku satu tahun, kami punya SKT. Keduanya adalah dokumen yang bisa ditindaklanjuti untuk mendapatkan kekancingan (hak guna tanah yang lebih permanen dari Keraton)," jelas Anton.
Anton menegaskan, bahwa tanah yang mereka tempati merupakan Sultan Ground, tanah milik Kasultanan Yogyakarta. "Yang berkuasa adalah Pak Sultan. Kalau ada apa-apa, misalnya mau digunakan, ya harus izin Pak Sultan, bukan korporasi besar yang main tunjuk saja," tegasnya.
Diwarnai Kontroversi
Proses sosialisasi yang dilakukan PT KAI juga menuai kritik dari warga. Pertemuan pertama yang dijadwalkan pada 14 Maret lalu diboikot warga karena dianggap mendadak dan intimidatif.
"Undangannya diberikan pada 13 Maret siang, untuk sosialisasi keesokan harinya pukul 9 pagi. Lebih mengherankan lagi, ketika mengantarkan undangan, mereka datang berempat—tiga staf PT KAI dan satu polisi khusus kereta api (Polsuska). Kami merasa diintimidasi," tutur Anton.
Warga juga keberatan dengan lokasi sosialisasi yang diadakan di kantor PT KAI. Mereka meminta diadakan di tempat netral seperti kantor kelurahan atau kecamatan. Baru pada pertemuan kedua, 26 Maret, yang diadakan di kantor kelurahan, warga bersedia hadir.
Bangunan Bersejarah Terancam
Rumah-rumah yang menjadi objek sengketa ini merupakan bangunan bersejarah yang dibangun sekitar tahun 1920-an. Anton mengklaim bahwa bangunan-bangunan tersebut telah memiliki sertifikat bangunan cagar budaya.
"Menurut PT KAI, bangunan ini tidak akan dibongkar karena merupakan warisan budaya yang harus dilestarikan. Mereka hanya akan mengalihfungsikan menjadi perkantoran," ujar Anton.
Warga telah melakukan audiensi dengan Walikota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, yang kemudian menugaskan Wakil Walikota, Wawan, untuk menangani masalah ini dan berkomunikasi dengan pihak Keraton.
"Pemkot akan bersurat ke Keraton. Kemudian kami akan diberi jawaban secara tertulis. Kami juga berencana audiensi ke DPRD sebagai wakil rakyat," ungkap Anton.
Hingga saat ini, proses pengukuran dan negosiasi belum dimulai. Warga masih menunggu langkah selanjutnya dari PT KAI sambil terus memperjuangkan hak mereka melalui jalur hukum dan kelembagaan.
"Kami ingin diperlakukan sama seperti PT KAI. Jika mereka bisa mendapatkan kekancingan dari palilah mereka, kami juga ingin menindaklanjuti SKT kami menjadi kekancingan," tutup Anton.
Nasib Pedagang Kaki Lima
Pengembangan Stasiun Lempuyangan juga berdampak pada sekitar 50 pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar stasiun. Leni Megawati, salah satu pedagang, mengungkapkan harapannya untuk direlokasi ke tempat yang masih berdekatan dengan stasiun.
"Kalau dari PT KAI mau dirapikan, tidak masalah asalkan ada solusinya. Setidaknya kami direlokasi ke dekat lokasi stasiun, karena kami mengandalkan penumpang untuk mencari nafkah," kata Leni.
Pihak PT KAI belum memberikan tanggapan resmi terkait perselisihan ini. (*)