Putusan Hakim Dinilai Mangabaikan Bukti Materiil, Kuasa Hukum Terdakwa Banding

Putusan Hakim Dinilai Mangabaikan Bukti Materiil, Kuasa Hukum Terdakwa Banding

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Sidang sengketa jual beli tanah dan bangunan antara pasutri Agus Artadi dan Yenni Indarto dengan pembeli Gemawan Wahyadhiamika sudah diputus hakim. Walau dalam tahapan sidang yang berlangsung sejak pertengahan 2020 dinilai penuh dengan kejanggalan, sepertinya tidak membuat putusan hakim itu melegakan pasutri Agus Artadi dan Yenni Indarto.

Dalam putusan sidang yang dilaksanakan Kamis (17/12/2020) di Pengadilan Negeri Yogyakarta, para terdakwa dianggap bersalah telah melakukan perbuatan pidana dalam pasal 167 ayat (1) jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana, dan dihukum dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan.

"Namun putusan hakim tersebut menyimpang dari kebenaran materiil yang terungkap di persidangan, sehingga setelah putusan, para terdakwa menyatakan banding atas putusan tersebut," kata Oncan Poerba, ketua tim kuasa hukum terdakwa dalam keterangan tertulisnya, Jumat (18/12/2020).

Alasan dan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan, lanjut Oncan, tidak mempertimbangkan alasan pembelaan para terdakwa, bahkan jauh menyimpang dari alasan pembelaan yang diajukan para terdakwa. Sehingga putusan tersebut dinilai tidak tepat serta keliru. Sebab dalam putusan disebutkan bahwa kepemilikan atas tanah dan bangunan di Jl. Magelang No.14 telah menjadi milik sah dari pembeli (Gemawan & Yulia) berdasarkan sertifikat Hak Guna Bangunan yang sudah balik nama ke atas nama pembeli.

Padahal dari bukti di persidangan, jual beli yang dilakukan dalam akta Notaris/PPAT tercantum dengan nilai Rp 3 miliar, sedangkan harga sebenarnya terbukti Rp 6,5 miliar. Selain itu, jual beli sedang terikat dalam jaminan, bahkan terbukti ada kekurangan pembayaran.

"Dengan demikian jual beli tersebut harusnya dinyatakan cacat hukum dan tidak sah. Tapi dalam putusan ini malah dianggap sah karena ada kesepakatan pembeli dengan penjual," lanjut Oncan.

Sekalipun ada kesepakatan, namun perbuatan itu seharusnya tidak melanggar kepentingan peraturan perundangan yang berlaku. Karena itu, sekalipun sertifikat tanahnya sudah menjadi atas nama pembeli, namun hal itu tidak dapat dijadikan sebagai dasar acuan atas kepemilikan dari objek tanah dan bangunan tersebut.

"Hal ini dikarenakan jual belinya saja sudah didasari dari suatu perbuatan yang sudah cacat hukum sejak dari semula, yaitu tidak terang, tidak tunai, dan tidak riil," imbuhnya.

Oncan melanjutkan, jual beli itu tidak sah karena sertifikat tanahnya masih dalam jaminan di Bank BPD DIY, sehingga sejak dari proses jual beli hingga pada balik nama sertifikat ke atas nama pembeli, sejak dari awal harusnya sudah dinyatakan tidak sah dan cacat hukum.

"Karena itu, majelis hakim dalam menjatuhkan dengan alasan putusannya para pihak dianggap telah bersepakat, akan tetapi justru dengan kesepakatan tersebut telah terjadi pelanggaran terhadap undang-undang. Artinya tidak memenuhi kepentingan hukumnya," kata Oncan.

Disebutkan dalam putusan, Oncan melanjutkan, bahwa para terdakwa telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan menempati dan tidak menyerahkan objek tanah dan bangunan tersebut kepada pembeli.

Menurut kuasa hukum terdakwa, alasan hukumnya yang sedemikian itu tidak benar, karena sertifikat tanahnya didasari dari suatu perbuatan hukum yang tidak sah dan cacat hukum bahkan diproses secara amburadul.

Willyam H Saragih SH, salah satu tim kuasa hukum menambahkan, bahwa para terdakwa sejak awal tidak pernah meninggalkan objek tanah dan bangunan yang ditempatinya tersebut, sehingga perbuatan para terdakwa tidak pernah terbukti memenuhi unsur pasal 167 KUHP. Apalagi ketentuan pasal 167 KUHP itu ditujukan untuk melindungi orang atau pihak yang secara nyata-nyata sedang menempati objek bangunan dari gangguan orang lain (dari pihak luar).

"Jadi ini tidak bisa disebut sengketa hak kepemilikan, hak penguasaan, ataupun sengketa pengosongan rumah antara penjual dan pembeli," tegasnya.

Oleh sebab itu, lanjut Willyam, para terdakwa tidak sepatutnya dapat dihukum pidana dengan alasan karena tidak mengosongkan dan menyerahkan objek tanah dan bangunan kepada pembeli. Karena persoalan itu sudah menyangkut tentang sengketa dalam ranah hukum perdata, bukan hukum pidana.

"Apalagi tidak satu pun saksi yang terbukti memenuhi unsur pasal 167 KUHP. Karena itu seharusnya para terdakwa haruslah dibebaskan," imbuhnya.

"Bagaimana mungkin sesuatu yang yang tidak sah dan mengandung cacat hukum dapat dipertimbangkan sebagai alasan hukum untuk kebenaran dalam menjatuhkan putusannya. Sebab kebenaran itu telah ada sebelum putusan pengadilan, namun terkadang dengan adanya putusan pengadilan, justru menghilangkan kebenaran tersebut," tutupnya. (*)