Wakil Ketua KPK Bersalah tanpa Penyesalan

Wakil Ketua KPK Bersalah tanpa Penyesalan

VIRAL di media sosial maupun media mainstream, kabar tentang pelanggaran kode etik yang dilakukan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar. Atas pelanggaran itu, Dewan Pengawas KPK menjatuhkan sanksi berat, berupa:  pemotongan gaji pokok sebesar 40% selama 12 bulan.

Terhadap pelanggaran kode etik, Lili mengakui segala perbuatannya. Tetapi tidak menyesalinya. Sikap demikian, amat menarik dikaji dari dimensi moral-religius.

Dalam Al-Qur’an, perihal penyesalan, tersurat sebanyak 8 kali dengan redaksi “Yaa Laitanii”. Tersurat pula dengan redaksi “Yaa Laitanaa”, sebanyak 2 kali. Jadi, total  hanya ada 10 kali. Jumlah itu tergolong sedikit. Dapatlah ditafsirkan, bahwa amat sedikitlah orang-orang di planet bumi ini yang menyesal ketika telah berbuat salah. Dengan kata lain, sebagian besar manusia, tidak menyesalinya, alias tidak merasa bersalah, bahkan mengklaim apa yang dilakukannya itu “benar”. Itulah contoh keangkuhan, kesombongan.

Di antara sedikit manusia yang menyesali itu, adalah Adam as. Karena bujuk rayu makhluk antagonis (Iblis laknatullah), Adam dan Hawa makan buah khuldi. Pada hal itu dilarang. Ketika tersadar akan kesalahannya, segeralah disesalinya.

Dipanjatkanlah doa: “Qālā rabbanā ẓalamnā anfusana wa il lam tagfir lanā wa tar-ḥamnā lanakụnanna minal-khāsirÄ«n”. Artinya: Keduanya berkata: ‘Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al A’raf: 23)

Inilah contoh keteladanan Adam as tentang akhlak (moralitas). Penyesalan dan permohonan maaf, segera disampaikan kepada Allah SWT. Allah pun memaafkan, karena Dia Maha pemaaf. Mestinya, anak keturunan Adam as, mencontoh sikap elegan Adam as ini. Bukannya mengingkari.

Satu hal, bahwa permaafan atas suatu kesalahan, tidaklah menghapus atau mengurangi sanksi (hukuman). Hukum ditegakkan, tanpa pandang bulu. Adam as dan Hawa dipersilahkan meninggalkan surga, kemudian pindah sebagai penduduk bumi.

Wanita bermoral, bernama Maryam, adalah contoh lain. Dia amat menyesal, dan berharap kematian. Bukan karena kesalahan, melainkan karena khawatir tidak mampu menghadapi fitnah kaumnya, disebabkan melahirkan ‘Isa as tanpa suami.

“Kemudian rasa sakit akan melahirkan, memaksanya ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia berkata: “Wahai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan.” (QS Maryam: 23)

Sedemikian dalam penyesalan atas kehamilannya itu, hingga Maryam putus asa. Kematian dianggapnya lebih baik, daripada penderitaan karena fitnah kaumnya. Namun, karena segalanya atas kehendak-Nya, maka diutuslah Jibril untuk menenangkan dan menyampaikan kabar gembira.

Atas izin Allah SWT, ketika kaumnya memojokkannya, seolah Maryam berzina, dan bayi yang digendongnya merupakan buah perzinaan, maka Maryam hanya diam, dan cukup menunjuk kepada ‘Isa (bayinya) untuk menjawab.

‘Isa berkata: Sesungguhnya aku hamba Allah, Dia memberiku Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (melaksanakan) shalat dan (menunaikan) zakat, selama aku hidup, dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.”(QS-Maryam: 30-32).

Penyesalan-penyesalan lainnya, dilakukan oleh calon ahli neraka. Mereka itu menyekutukan Allah SWT, sombong, menyimpang dari ajaran Rasulullah Muhammad SAW. Penyesalan-penyesalan demikian, terjadi kala masih hidup di dunia, maupun pada hari kiamat nanti. Beberapa kisah itu, tertulis dalam Al Qur’an, ataupun diriwayatkan oleh para ulama, antara lain:

“Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu dia membolak-balikkan kedua telapak tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang telah dia belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur roboh bersama penyangganya (para-para) lalu dia berkata, “Betapa sekiranya dahulu aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun.”(QS Al Kahfi: 42).

Dalam kitab Al-hikam dikisahkan, terdapat seorang laki-laki dari kaum Bani Israil yang dijuluki Khali', yakni orang yang gemar berbuat maksiat dan dosa besar. Suatu ketika ia bertemu dengan Abid (ahli ibadah) yang di atas kepalanya selalu terdapat payung mika menaunginya.

Khali' bergumam, "aku adalah pendosa yang selalu berbuat maksiat, aku akan duduk bersanding dengannya, siapa tau dengan demikian aku mendapat rahmat Allah". Lalu Khali' duduk menyandingi Abid. Tak disangka, Abid tidak nyaman berdekatan dengan Khali' dan meninggalkannya dengan sikap penuh keangkuhan.

Lalu Allah mewahyukan kepada Nabi dari Bani Israil dengan firmannya "perintahkan kepada Abid' dan Khali' untuk sama-sama memperbanyak amal, Aku benar-benar telah mengampuni dosa Khali' dan menghapus semua amal ibadah Abid.

Beberapa kisah di atas mengandung petunjuk bahwa, sebanyak apa pun ibadah seseorang, akan sia-sia, jika di dalam hati terdapat sejengkal kesombongan. Sedangkan rasa menyesal terhadap dosa yang sudah dilakukan, bisa jadi akan mendatangkan rahmat Allah SWT.

Bila ajaran moralitas-religius yang tersirat pada beberapa kisah di atas, direfleksikan pada kasus Wakil Ketua KPK (Lili), kiranya ada beberapa catatan yang patut direnungkan.

Pertama. Patutkah orang sombong menjadi komisioner KPK?. Kalau jawabnya “tidak patut”, mestinya, segera mengundurkan diri, atau dipecat. Hukuman yang dijatuhkan Dewan Pengawas KPK, tidaklah seimbang dengan kadar pelanggaran etikanya. Sebagai negara yang berfalsafah Pancasila, moralitas komisioner KPK itu amat penting. Mana mungkin ada keadilan dan kemanusiaan beradab, bila moralitas-religius diabaikan.

Kedua.  Dalam Code of Conduct for Law Enforcement Officials, Article 1, diatur: “law enforcement officials shall at all times fulfill the duty imposed upon them by law, by serving the community and by protecting all persons against illegal acts, consistent with the high degree of responsibility required by their profession” (Para petugas penegak hukum sepanjang waktu harus memenuhi kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh hukum, dengan melayani masyarakat dan dengan melindungi semua orang dari perbuatan-perbuatan yang tidak sah, konsisten dengan tingkat pertanggungjawaban tinggi yang dipersyaratkan oleh profesi mereka).

Dalam konteks kasus Lili, kata “sepanjang waktu”, dapatlah dimaknakan bahwa Lili, sebelum, selama, dan sesudah terbukti melanggar kode etik, tidak lagi memenuhi syarat sebagai penegak hukum (komisioner KPK). Kalau ternyata, Lili masih bertahan atau dipertahankan pada posisinya, menjadi cetha wéla-wéla, KPK secara internal bermasalah. Secara eksternal masyarakat berhak minta pertanggungjawaban.

Ketiga. Pada ranah moralitas hukum, dikenal legal ethics, yakni: “the standards of minimally acceptable conduct within the legal profession, involving the duties that its members owe one another, their clients, and the courts”. Dicermati seksama, Lili, sebagai komisioner KPK sudah tidak lagi memiliki legal ethics. Kalau standar profesi ini sudah tidak ada, menjadi dipertanyakan, apa yang dijadikan argumentasi untuk mempertahankan Lili?

Keempat. Demi keadilan, hukum wajib ditegakkan, betapapun untuk itu langit runtuh. Slogan ini, perlu dijabarkan menjadi: (1) Keluhuran dan citra baik KPK, hanya akan ada, bila komisioner-komisioner KPK seluruhnya bermoral, profesional, berwawasan kebangsaan; (2) Komisioner KPK amoral, rentan (pernah) berbuat zalim terhadap bangsanya, kesudahannya masuk neraka; sementara itu komisioner KPK bermoralitas Pancasila, adalah pejuang dan pahlawan bagi bangsa, kesudahannya masuk surga; (3) Komisioner KPK bukanlah jabatan yang pantas diperebutkan, diminta, atau dipertahankan, bila baginya tidak melekat moralitas-religius. Amanah jabatan itu amat berat. Seluruhnya, dibebankan baginya. Hanya kepada mereka yang menjabat dan menunaikannya berdasarkan moral, maka Allah SWT akan menurunkan malaikat untuk menolong dan membimbingnya, sehingga dicapai kesuksesan dan kemuliaan. Wallahu’alam. ***

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM