Olah Akal dan Olah Rasa, Demi Kita

Oleh: Sudjito Atmoredjo

Di kalangan pemerhati filsafat Jawa, dikenal kata “Ngrumangsani”. Ajaran ini jauh lebih dalam daripada sekadar olah akal, sebagaimana diajarkan Descartes, ataupun kebiasaan orang modern pada zaman edan. Ngrumangsani, merupakan olah rasa. Secara populer, ngrumangsani dapat diterjemahkan sebagai upaya sadar, untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, hingga berlanjut pada upaya menempatkan diri secara elegan dan proporsional. Pada sikap ngrumangsani, tercakup olah akal/berpikir (pemahaman kognitif), olah rasa/emosi (pemahaman afektif), hingga menukik pada intuitif (bisikan hati-nurani). Itulah olah jiwa/rohaniah secara holistik. Daripadanya, apa yang disebut psikomotorik (aktivitas fisik) merupakan ekspresi dari olah rasa dan olah akal, atau olah jiwa secara keseluruhan. Hasil/produknya, berupa peradaban (akhlak) dan kebudayaan (materiil maupun imateriil).

Olah Akal dan Olah Rasa, Demi Kita
Sudjito Atmoredjo. (istimewa).

AKU bukanlah Kau. Pun sebaliknya, Kau bukanlah Aku. Ketika muncul kesadaran bahwa Aku dan Kau berasal dari yang Satu, dan selanjutnya merasa saling membutuhkan, maka Kita menjadi keniscayaan.

Tokoh Rasionalisme, Rene Descartes, terkenal dengan pernyataannya “Cogito ergo Sum” (Aku berfikir, maka Aku ada). Di situ, tiga substansi mendapatkan penekanan (stressing), yakni: Aku, Berfikir dan Ada. Ketiganya bisa tersambung, sebagai satu-kesatuan dan bermakna sosial, bila ada sarana penyambungnya, yakni Kita. Untuk sampai pada kesadaran tentang pentingnya Kita, maka ketiganya (Aku, Berfikir dan Ada) perlu dikaji dan dianalisis secara utuh, komprehensif dan holistik.

Pertama, perihal Aku. Dalam pernyataan Descartes, kuat sekali nuansa Aku. Dalam kehidupan modern, apalagi pada zaman edan (jahiliyah modern), ketika Aku diusik, maka ketersinggungan pun terjadi. Privasi sebagai Aku, seakan sakral. Tak boleh siapa pun menyentuhnya, mengganggunya, apalagi mereduksinya. Konflik sosial-kebangsaan, umumnya muncul/terjadi ketika wilayah Aku diganggu oleh Kau.

Cermatilah dengan seksama. Dalam berbagai kasus di berbagai penjuru dunia. Teramat sering, interaksi antara Aku dan Kau, dilakukan dengan perspektif/sudut-pandang dan kepentingan berbeda. Semakin berbeda perspektif/kepentingannya, akan semakin lebar pula gap/jurang-pemisah antara Aku dan Kau.

Spiritualis Gedeprama (2016) memberi contoh dan nasihat perihal ini. Tatapan mata orang, posisi tubuh orang, kehangatan saat bersalaman, volume suara, penggunaan jenis kata-kata saat berbicara, cara orang membungkukkan badan saat pertama kali berjumpa, adalah sebagian tanda-tanda/cermin karakter masing-masing.

Hal-hal seperti itu, sebaiknya dikenali, diperhatikan, dan disikapi secara bijak. Ketika tanda-tanda (isyarat) itu diabaikan, atau ketika Aku dan Kau berada pada perspektif berbeda, maka amat mungkin, masing-masing berbicara seenaknya, bertindak sekenanya, sesuai seleranya. Masing-masing tidak (mau) tahu, apakah sikap demikian menimbulkan luka di jiwa orang lain.

Di kalangan pemerhati filsafat Jawa, dikenal kata “Ngrumangsani”. Ajaran ini jauh lebih dalam daripada sekadar olah akal, sebagaimana diajarkan Descartes, ataupun kebiasaan orang modern pada zaman edan. Ngrumangsani, merupakan olah rasa. Secara populer, ngrumangsani dapat diterjemahkan sebagai upaya sadar, untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, hingga berlanjut pada upaya menempatkan diri secara elegan dan proporsional.

Pada sikap ngrumangsani, tercakup olah akal/berpikir (pemahaman kognitif), olah rasa/emosi (pemahaman afektif), hingga menukik pada intuitif (bisikan hati-nurani). Itulah olah jiwa/rohaniah secara holistik. Daripadanya, apa yang disebut psikomotorik (aktivitas fisik) merupakan ekspresi dari olah rasa dan olah akal, atau olah jiwa secara keseluruhan. Hasil/produknya, berupa peradaban (akhlak) dan kebudayaan (materiil maupun imateriil).

Ngrumangsani erat kaitanya dengan konsep keharmonisan hidup dengan alam semesta. Orang Jawa memandang alam semesta, bukan sebagai objek yang dapat dieksploitasi sepenuhnya, melainkan sebagai subjek pula. Sesama makhluk di alam semesta terjalin hubungan pansubjektivitas. Seluruhnya terjalin dalam kehidupan integral-sistemik. Ngrumangsani dalam konteks ini berarti memahami serta menghargai hubungan manusia dengan semua makhluk di  alam semesta, seluruhnya.

Tak terbantahkan bahwa sepanjang perjalanan kehidupan manusia - sejak zama tradisional hingga zaman posmodern, sejak zaman normal hingga zaman edan - olah akal/berfikir, olah rasa/ngrumangsani, olah jiwa, hingga olah fisik, senantiasa berkelindan. Telah diwajibkan kepada semua orang untuk ikraq (membaca) semua realitas di alam semesta. Gunakan mata kepala dan tukikkan ke mata hatimu. Gunakan akal-sehatmu, dan tukikkan ke rasa hati-nuranimu. Semuanya, analisislah, hingga ditemukan makna dari setiap realitas/kejadian. Seterusnya, gunakan hasil analisis untuk perbaikan dan kemajuan kehidupan. Demi terwujudnya kebahagiaan semua makhluk.

Demi kehidupan bersama, keharmonisan hidup dan kebhinekaan perlu dirawat. Sebaliknya, konflik sosial-kebangsaan perlu dicegah/dihindari. Untuk segalanya, maka perbanyak belajar dari alam semesta. Daripadanya ada keteladanan kehidupan yang relatif sempurna.

Lihatlah: indahnya kupu-kupu yang terbang ke sana ke mari, burung-burung liar yang bernyanyi, ikan yang berlompatan di kolam, anak-anak yang suka bermain dan bernyanyi, awan dan pelangi di langit. Semuanya, memberi keteladanan perihal makna keberadaan, posisi, kontribusi masing-masing makhluk. Bila Aku dan Kau, mau berolah akal (berfikir dengan akal sehat), berolah rasa (tepa-salira, empan-papan, duga-prayoga), pastilah daripadanya diperoleh kenikmatan dan keindahan hidup bersama.

Dalam penciptaan-Nya tiadalah sesuatu yang sia-sia. Bagi tukang taman dan Pak Tani, rumput liar dianggap menggangu, maka dicabut dan dibuang. Ternyata rumput liar merupakan makanan enak bagi kambing, domba, sapi, dan ternak-ternak lainnya. Sampah dapur, dibuang oleh emak-emak, ternyata ditunggu oleh pemulung untuk dipilah dan dipilih, hingga didaur ulang. Jadilah berbagai produk kerajinan rumah tangga.

Dalam penciptaan-Nya pula, seorang laki-laki dan perempuan dijodohkan. Beranak-pinak. Berkembang hingga terwujud keluarga, masyarakat, suku, dan bangsa-bangsa. Melalui olah akal dan olah rasa, Kita saling mengenal, saling mengisi, saling melengkapi.

Kita, sebagai bangsa, bersepakat mendirikan negara Indonesia. Negara ini perlu dirawat keutuhan dan keharmonisan kehidupannya. Jangan karena Aku (ego kekuasaan), rakyat dan tanah-air dieksploitasi/dikorbankan. Wallahu’alam.

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru Besar pada Sekolah Pascasarjana UGM