Benang Kusut, Usia Sekolah dan Pendidikan Inklusif

Benang Kusut, Usia Sekolah dan Pendidikan Inklusif

PEMBANGUNAN pendidikan di Indonesia selalu dihadapkan oleh beberapa permasalahan, di antaranya belum terciptanya pendidikan yang inklusif, angka partisipasi sekolah yang cenderung stagnan, ketimpangan pendidikan yang masih tinggi dan infrastruktur pendidikan yang belum memadai. Permasalahan tersebut tidak hanya dialami oleh Indonesia, tetapi juga negara-negara lain terutama negara berkembang. Dilatarbelakangi permasalahan tersebut, para pemimpin dunia sepakat untuk merumuskan gagasan dalam pembangunan pendidikan dalam tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) yang ke-4, yaitu menjamin kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta meningkatkan kesempatan belajar.

Pendidikan yang inklusif dapat diartikan bahwa setiap orang berhak mendapat kesempatan yang sama dalam pelayanan pendidikan pada semua jenjang. Kenyataan di lapangan, masih terjadi gap antara "si kaya" dan "si miskin" dalam mengenyam pendidikan. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2019 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan, bahwa status ekonomi berpengaruh terhadap rata-rata lama sekolah. Dalam Susenas, analisis status ekonomi bisa dibagi dalam 5 kuintil. Kuintil 1 merupakan 20 persen rumah tangga dengan pengeluaran terendah, terus meningkat hingga kuintil 5 yang merupakan 20 persen rumah tangga dengan pengeluaran perkapita tertinggi. Rata-rata lama sekolah penduduk pada kuintil 1 (20% termiskin) sebesar 6,82 tahun (setara kelas 6 SD) sedangkan untuk kelompok penduduk kuintil 5 (20% terkaya) selama 11,04 tahun (setara kelas 11 SMA). Penduduk pada kuintil 1 yang menamatkan SMA atau sederajat hanya sebesar 15,7% sedangkan penduduk kelompok kuintil 5 yang lulus SMA atau sederajat mencapai 36,7%.

Inklusivitas yang kurang juga terlihat dari angka partisipasi murni (APM). APM merupakan indikator yang bisa digunakan untuk mengukur kesesuaian umur penduduk yang mengenyam pendidikan pada suatu jenjang dengan standar umur yang seharusnya. Dengan kata lain, APM merupakan salah satu alat ukur untuk mengetahui inklusif tidaknya layanan pendidikan. Apabila dilihat dari status ekonomi, penduduk ekonomi rendah cenderung mempunyai nilai APM yang rendah yang sekaligus menandakan sedikitnya persentase jumlah anak yang menempuh jenjang pendidikan sesuai dengan standar umur yang seharusnya. APM pada jenjang SMA untuk penduduk pada kuintil 1 hanya 49,95%, jauh lebih rendah dibandingkan penduduk pada kuintil 5 yang mencapai 66,27%.

Permasalahan kurang inklusifnya pendidikan di Indonesia mengakibatkan pemerintah melakukan inovasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) untuk meningkatkan kesetaraan pendidikan antar kelas ekonomi. Inovasi ini salah satunya dilakukan dengan memasukkan variabel umur dan jarak sebagai dasar seleksi masuk jenjang sekolah SD, SMP dan SMA negeri. Terlebih dengan tidak adanya UN di masa pandemi covid-19 menguatkan kedua variabel tersebut sebagai dasar seleksi.

Permasalahan timbul bila umur digunakan sebagai dasar seleksi pada semua jenjang pendidikan. Pada jenjang sekolah dasar (SD), pemakaian umur masih relevan karena merupakan starting point pendidikan untuk menselaraskan dengan umur acuan pendidikan. Namun untuk jenjang SMP maupun SMA unsur prestasi layak dipertimbangkan di samping kemudahan akses yang diwakili variabel jarak. Jerih payah siswa dalam belajar perlu diapresiasi dengan memasukkan prestasi sebagai dasar seleksi. Hal ini juga bisa memupuk jiwa bersaing yang berguna untuk masa depan mereka.

Siswa dengan umur tua yang biasa dijumpai pada keluarga kurang mampu merupakan dampak dari status ekonomi orang tuanya. Orang tua dari siswa dengan ekonomi lemah ini sering memanfaatkan anaknya untuk membantu mereka dalam bekerja, sehingga mengganggu tingkat bertahan di sekolah. Pada tahun 2019 persentase penduduk usia SD yang bekerja sebesar 2,42%, SMP 4,58% dan SMA 11,82% (Susenas Maret 2019). Semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin tinggi persentase siswa yang bekerja dan semakin tinggi pula angka putus sekolah maupun angka tinggal kelas yang berakibat menurunnya APM. Keterbatasan fasilitas penunjang pembelajaran juga menjadi faktor kalah bersaingnya siswa berekonomi rendah dibandingkan siswa lainnya. Penguatan sosial ekonomi masyarakat dan peningkatan pemahaman yang benar tentang pentingnya pendidikan menjadi hal yang lebih fundamental untuk dibangun.

Pemberian bantuan lewat jaring pengaman sosial (social safety nets) seperti PKH dan Program Indonesia Pintar (PIP) sebenarnya bisa menjadi sarana untuk mempersempit ketimpangan pendidikan. Siswa penerima PIP diharapkan mempunyai angka bertahan sekolah yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Sementara itu kesulitan siswa miskin untuk masuk sekolah favorit secara perlahan pasti akan hilang seiring dengan penerapan zonasi jarak.

Pada beberapa kasus, umur siswa yang tua tidak identik dengan keluarga menengah ke bawah. Keterlambatan masuk SD juga bisa menjadi salah satu penyebabnya. Demi untuk bisa masuk SD negeri favorit, terkadang orang tua memasukkan anaknya ke sekolah pada usia yang relatif tua.

Inovasi PPDB dengan memasukkan variablel umur ini sebenarnya belum menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya dan juga bukan merupakan solusi jangka panjang. Langkah ini memang bisa meningkatkan nilai APM namun cenderung menurunkan kualitas dan tingkat persaingan antarpeserta didik. Pendidikan inklusif yang digagas dalam SDGs sebenarnya harus terjadi lewat jalur peningkatan status ekonomi dan perluasan kesempatan belajar. ***

Eri Kuntoro, SST, M.Si

Fungsional Statistisi Muda Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul