Maklumat dari Tempat Tertinggi
Oleh: Sudjito Atmoredjo
Ada maklumat menarik dari A’raf, bahwa, “Harta yang kamu kumpulkan dan apa yang kamu sombongkan, (ternyata) tidak ada manfaatnya buat kamu”. Dalam penderitaannya, penghuni neraka minta belas kasihan penghuni surga, “Tuangkanlah (sedikit) air kepada kami atau rezeki apa saja yang telah dikaruniakan Allah kepadamu”. Dijawablah oleh penghuni surga, “Sungguh, Allah telah mengharamkan keduanya bagi orang-orang kafir, yaitu orang-orang yang menjadikan agamanya sebagai permainan dan senda gurau, dan mereka telah tertipu oleh kehidupan dunia”.
PERSOALAN-PERSOALAN sosial-kebangsaan di negara kita, akhir-akhir ini sedemikian akut. Persoalan 8 (delapan) tuntutan Forum Purnawirawan Prajurit TNI, persoalan dugaan ijazah palsu mantan Presiden ke-7, kasus-kasus korupsi, gratifikasi, “perampokan” tambang-tambang, “penjualan” sumber daya alam beserta wilayah tanah-air kepada investor dan bangsa asing. Sungguh. Seluruhnya, sulit diselesaikan tuntas, bila hanya didasarkan hukum negara (legalistic approach) saja. Konstitusi beserta berbagai peraturan perundang-undangan di bawahnya, terasa dangkal, kering, dan rapuh, untuk digunakan sebagai alat perwujudan keadilan individual maupun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Persoalan semakin akut, ketika oknum-oknum aparat penegak hukum, dan oknum politikus, serta berbagai pihak, bermain-main (akal-akalan), tanpa hirau aspek moral, ikut serta mengeruk keuntungan pribadi dari setiap kasus. Alih-alih kasus-kasus terselesaikan tuntas, justru rakyat sebagai korban-korbannya, semakin bertambah jumlahnya.
Analisis dan refleksi atas kisah terurai di bawah ini, hemat saya, patut digunakan sebagai optik lain dalam melihat persoalan sosial-kebangsaan di atas. Bila Anda percaya dan setuju dengan optik ini, syukurlah. Namun, bila Anda tidak setuju, ingkar, bahkan memandangnya sebagai kemubadziran, terserahlah. Tidak ada paksaan. Segalanya akan terpulang pada diri kita masing-masing.
Kisah dimaksud tersurat dalam Kitab Suci. Bahwa di antara penghuni surga dan neraka, ada tabir, dan tempat tertinggi (A’raf). Di A’raf itu ada orang-orang yang saling mengenal, baik penghuni surga maupun neraka. Orang-orang di A’raf itu sangat berkeinginan masuk surga. Tetapi, tak cukup amalannya. Belum ada rahmat Allah Swt. Mereka takut/gelisah. Khawatir terlempar ke neraka.
Ada maklumat menarik dari A’raf, bahwa, “Harta yang kamu kumpulkan dan apa yang kamu sombongkan, (ternyata) tidak ada manfaatnya buat kamu”. Dalam penderitaannya, penghuni neraka minta belas kasihan penghuni surga, “Tuangkanlah (sedikit) air kepada kami atau rezeki apa saja yang telah dikaruniakan Allah kepadamu”. Dijawablah oleh penghuni surga, “Sungguh, Allah telah mengharamkan keduanya bagi orang-orang kafir, yaitu orang-orang yang menjadikan agamanya sebagai permainan dan senda gurau, dan mereka telah tertipu oleh kehidupan dunia”.
Hemat saya, maklumat dari A’raf, dan dialog penghuni surga dan penghuni neraka tersebut, mengandung petunjuk yang jelas tentang beberapa hal berikut:
Pertama, tiadalah cukup amalan-amalan manusia dijadikan modal untuk masuk surga. Terhadap nasib dan kegelisahan golongan yang pas-pasan amalannya, Tuhan berfirman, “Masuklah kamu ke dalam surga! Tidak ada rasa takut padamu, dan kamu tidak pula akan bersedih hati.” Ternyatalah, hanya karena rahmat-Nya, seseorang bisa masuk surga. Oleh karenanya, senyampang (mumpung) masih ada kesempatan hidup, raihlah rahmat Allah dengan beramal-saleh sebanyak-banyaknya. Hindari perbuatan tercela. Basuhlah segala noda/dosa dengan istighfar. Segeralah bertobat.
Kedua, suatu kewajaran, kelaziman, dan jamak, orang berlomba-lomba mengumpulkan harta-duniawi. Bangga menjadi penguasa dan kaya-raya. Sedih menjadi orang miskin. Seluruh harta, tiadalah dibawa mati. Semuanya di tinggal di dunia. Mahkota kekuasaan dan harta-duniawi, hanya perhiasan sesaat/sementara, ketika pemiliknya masih hidup di dunia. Oleh karenanya, tiadalah alasan untuk bersedih-hati menjadi orang miskin. Tiadalah dibenarkan, penguasa dan orang kaya bersikap congkak/sombong.
Ketiga, tiadalah air ataupun rezeki dapat diperoleh penghuni neraka, kecuali azab, berupa api panas, sebagai bantal dan selimutnya. Makanannya zaqqum (pahit dan berduri), dan minumannya nanah. Itulah gambaran penderitaan. Sebaliknya, bagi penghuni surga, kehidupannya penuh nikmat. Suasana nyaman. Berlimpah makanan-minuman segar. Tiadalah barang sedikit pun, nikmat itu dapat dibagikan kepada penghuni neraka.
Keempat, agama adalah tiang kehidupan. Sungguh, taat pada agama, menjadi garansi diperolehnya kenikmatan hidup sejati. Sayang, di dunia ini, jumlah orang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt, sedikit. Sebagian besar, adalah orang fasik, kafir, munafik. Agama dijadikan sebagai permainan dan senda-gurau. Mereka gemar mengganggu peribadatan orang beriman. Sikap dan perilakunya hina/tercela. Biarlah mereka berbuat demikian. Tetaplah kita teguh/istiqomah dalam agama yang lurus dan benar.
Kelima, sungguh banyak, orang-orang terjangkiti penyakit wahn (cinta dunia berlebihan). Demi pemenuhan nafsu-duniawinya, mereka tak segan-segan berbohong, mendzalimi, menipu manusia lain. Berbagai siasat, rencana jahat, dilakukannya. Mereka kong-kalingkong, kolusi, atau bersekongkol. Mereka merasa kuat, perkasa, dan paling berkuasa. Pada hal, sebenarnya, mereka lemah, lengah, lalai, dan lupa, bahwa Tuhan ada di sisi mereka. Tuhan, tahu segala perilaku yang tersembunyi maupun terbentang secara terang-benderang. Malaikat di kanan dan di kirinya, mencatat/merekam segala perbuatannya. Catatan itulah yang kelak ditimbang dan dimintakan pertanggungjawabannya. Bagaimana mungkin perbuatan jahat dapat diingkari ketika semua anggota tubuh menjadi saksinya?!
Dari tempat tertinggi (A’raf), telah tampak jelas bahwa tiadalah berguna penyesalan bagi orang-orang jahat. Tiadalah pertolongan/syafaat baginya. Sia-sialah permohonan untuk kembali ke dunia, walau dengan tekad berbuat baik.
Kepada Saudara-saudaraku. Siapapun terlibat dalam berbagai kasus/kejahatan di negeri ini. Silahkan, Anda renungkan dan ambil hikmah dari kisah spiritual-religius di atas. Terbuka pilihan. Berbuat baik sesuai petunjuk Allah Swt. atau mengumbar nafsu-duniawi, hidup egois, hedonis, materialis, dan sekuler. Itu pilihan.
Ingat. Bernegara hukum dan berkonstitusi tanpa didasarkan pada Kitab Suci adalah kesesatan. Keniscayaan bahwa hukum dan pengadilan Tuhan, pasti tegak berlaku. Tanpa diskriminasi. Segala konsekuensinya terpulang pada masing-masing. Kewajiban kami, hanya menyampaikan peringatan, kebenaran, ajakan untuk menjalani kehidupan dan mengelola negara, sesuai fitrah, yakni: sebagai abdillah dan sekaligus sebagai kalifatullah fil ardl.
Wallahu’alam. **
Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.
Guru Besar pada Sekolah Pascasarjana UGM