Ibadah dan Kemabruran Haji

Oleh: Sudjito Atmoredjo

MENUJU kerendahan hati, dan mencapai titik kesadaran total sebagai hamba Allah, swt. Itulah esensinya. Tujuan ibadah haji secara keseluruhan bukanlah sekadar melaksanakannya, tetapi untuk terlibat di dalamnya secara sosiologis yang mendalam, sehingga membawa pelaksananya melampaui batas-batas pengalaman sebelumnya.

Ibadah dan Kemabruran Haji
Sudjito Atmoredjo. (istimewa).

DALAM suasana khidmat dan sukacita, para calon haji berpamitan. Mohon doa agar perjalanan hajinya lancar. Agar diberkahi kesehatan prima. Mampu menunaikan rukun, wajib, dan sunat-sunatnya secara lengkap dan sempurna. Muaranya mendapatkan haji mabrur.

Haji merupakan rukun Islam kelima. Betapa sedih bila hitungan lima itu tidak tercukupi. Pasti. Atas dasar keimanan, setiap muslim/muslimah berkeinginan menunaikan ibadah haji. Dipersiapkanlah berbagai bekal yang diperlukan. Bekal spiritual terbaik adalah taqwa. Adapun bekal materiil, berupa: ilmu, sarana, prasarana dan kesempatan.

Bila semua persiapan sudah matang. Situasi sudah memungkinkan.  Maka tiada alasan apapun untuk menunda-nunda ibadah haji. Ibadah haji layak diutamakan daripada urusan-urusan lainnya.  Panggilan Allah swt untuk haji, wajib direspons dengan niat ikhlas dan suci. Bersihkan dari niat lain. Ini penting. Demi diterimanya jamaah haji sebagai tamu Allah yang dimuliakan dan dicukupkan segala kebutuhannya (dunia maupun akhirat).

Demi kekusukan ibadah haji, layak diingatkan beberapa pantangan dan keutamaan amalan, sebagai berikut (QS.al-Baqarah: 197):

Pertama jangan rafas. Rafas, adalah perbuatan jorok (saru). Teramat rentan, selama perjalanan, sesama jamaah haji berbincang-bincang berbagai hal. Agar suasana terasa segar, suasana cair, sering terpeleset (kebablasan) ke dalam kata-kata jorok. Ingatlah. Hal demikian dilarang. Manfaatkan energi kesehatan dan kesempatan untuk dzikir, talbiyah, dan amalan-amalan suci lainnya.

Kedua, jangan fasik. Fasik adalah pelanggaran terhadap norma-norma kehidupan. Pahami dan patuhilah semua hukum-hukum agama, hukum negara, kesepakatan-kesepakatan dalam regu/rombongan, kelompok terbang (kloter), ataupun petunjuk/arahan petugas haji. Jangan sekali-kali norma-norma itu dilanggar. Apalagi sampai menimbulkan kerusakan. Kepatuhan terhadapnya, akan membuahkan suasana nyaman, tertib dan teratur dalam kebersamaan.

Ketiga, jangan jidal. Jidal adalah perdebatan atas suatu hal yang rentan menimbulkan perpecahan. Bila di luar hukum-hukum yang sudah baku, seseorang yakin pada kebenaran sendiri, maka tak perlu ada pemaksaan pendapat pada orang lain. Biarlah orang lain berbuat/beramal, sesuai keyakinannya. Kesudahan segala amalan ibadah, dipasrahkan pada Allah (tawakaltu ilallah). Jamaah haji, perlu berwawasan luas dan bersikap toleran.

Telah jamak, setiap calon jamaah haji, mempunyai berbagai harapan terhadap Allah swt. Berdoalah kepadaNya. Ungkapkan segala permasalahan. Mohonlah bantuan penyelesaiannya, agar kehidupan menjadi ayom, ayem, tentrem, dalam ridhaNya. Haji merupakan saat dan kesempatan berdoa yang makbul.

Terkait dengan luas, ragam, dan kompleksnya permasalahan kehidupan, maka (hemat saya) doa-doa berikut layak diprioritaskan.

Pertama, doa agar Allah swt memelihara diri dan keluarga kita, dari azab neraka. Wahai orang-orang beriman, lindungilah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS.At-Tahrim: 6).

Doa ini relevan dalam konteks kekinian. Ketika kehidupan serba hedonistik dan materialistik, sungguh, banyak godaan, tantangan, dan hasutan untuk berbuat fasik. Banyak orang, berlomba-lomba demi/dalam kemewahan, popularitas, dan kekuasaan. Jangan sampai diri dan keluarga kita terjerumus ke dalam situasi itu. Jemaah haji perlu peduli, berusaha, dan minta perlindungan Allah swt, agar kita semua tetap berada di jalan lurus (sirat al mustakim), dan terbebas dari azab neraka (dunia-akhirat).

Kedua, telah jamak dan benar, jamaah haji berdoa dengan doa sapu jagat. Rabbanaa, aatinaa fid dunyaa hasanah, wa fil aakhirati hasanah, wa qinaa 'adzaaban naar. Artinya: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka." Itu bagus. Mestinya demikian. Akan tetapi, ada sementara jemaah haji hanya berdoa sebatas kebutuhan duniawi saja (QS.al-Baqarah, 200). Barangkali, karena terselimuti persoalan duniawi serba kompleks, hingga lalai terhadap kehidupan akhirat yang lebih baik dan kekal. Kasihan. Mereka ini sungguh rugi.

Ketiga, jangan lupa titipan doa dari teman, saudara, keluarga. Itu bagian dari amanah. Semuanya, perlu ditunaikan. Dengan perantaraan doa jamaah haji, tamu Allah, orang-orang saleh/saleh, insyaAllah doa dikabulkanNya. 

Kemabruran haji tidak dapat diukur dengan persentase terkabulkannya doa. Tidak pula identik dengan pertambahan harta-kekayaan, kelanggengan kekuasaan, ataupun pertambahan gelar-gelar. Indikasi kemabruran haji terlihat pada pertambahan kuantitas dan kualitas amalan-amalan salehnya.

Dinyatakan oleh Ali Syari’ati dalam buku Hajj: Reflections on its Rituals (terj.1983) bahwa esensi ritual haji adalah evolusi eksistensial manusia menuju Allah. Haji, adalah drama simbolik dari filsafat penciptaan anak-cucu Adam. Haji, memuat kandungan objektif dari setiap sesuatu yang relevan dengan filsafat itu: haji sama dengan penciptaan, sama dengan sejarah, dan sama dengan monoteisme.

Dalam haji, Allah adalah sutradara. Temanya: aksi/amalan. Lokasi-lokasinya: tempat-tempat suci, yakni: Mesjid Haram, Mas’a, Arafah, Masy’ar dan Mina. Simbol-simbolnya: Ka’bah, Shafa, dan Marwa. Waktunya: siang dan malam, sejak terbit hingga tenggelamnya matahari. Pakaian dan ornamennya: Ihram, Halq, dan Taqshir.

Siapa aktornya? Engkau sendiri (jamaah haji). Engkau berperan sebagai Adam, Ibrahim, dan sekaligus Hajar. Di situ hanya ada satu “hero”, yakni: kemanusiaan.

Gelombang haji adalah gerakan pulang (bertamu) kepada Allah Yang Maha Mutlak. Dzat yang tidak memiliki keterbatasan. Pulang (bertamu) kepada Allah adalah sebuah gerakan menuju kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan, pengetahuan dan nilai absolut.

Tujuan ibadah haji secara keseluruhan bukanlah sekadar melaksanakannya, tetapi untuk terlibat di dalamnya secara sosiologis yang mendalam, sehingga membawa pelaksananya melampaui batas-batas pengalaman sebelumnya.

Dalam perspektif metafisik dan naturalistik, haji sama seperti alam, yakni: gambaran Islam yang utuh. Bukan Islam sebagai “kata-kata”. Bukan pula Islam Kartu Penduduk (KTP). Muslim/muslimah yang hajinya mabrur, aksinya/amalannya mampu menyelam ke dalam lautan kehidupan. Semakin dalam/jauh seorang muslim/muslimah menyelam, akan ditemukan kesadaran bahwa manusia hanyalah hamba Allah. Mesti disiplin menghambakan diri kepada Sang Pencipta secara total (kafah).

Manusia, segalanya, serba terbatas. Ilmu dan kebesaranNya, sungguh tak terbatas. Oleh karenanya, tiada pantas, dan tiada dibenarkan, seorang hambaNya, bersikap angkuh, congkak, sok kuasa, sok tahu, sok berilmu. Haji mabrur justru semakin rendah hati (tawadu’)

Saudara-saudaraku calon jamaah haji. Keluarga, masyarakat, dan bangsa, selalu menyertaimu, dalam bingkai peribadatan. Semoga menjadi haji mabrur. Kemabruran yang membawa berkah  bagi kehidupan bersama. Aamiiin. ***

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM.