Seperti Benang Terguyur Air

Masyarakat melalui media, selalu mempertanyakan, apa sanksi bagi Gibran dan Jokowi yang sudah jelas-jelas tidak patuh, membelot, membangkang atau berkhianat kepada PDI Perjuangan? Penegakan disiplin partai sebagaimana yang selalu didengungkan petinggi partai, lebih-lebih Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, seperti benang terguyur air. Susah diluruskan. Tak hanya sekali, Megawati dengan sangat keras mengingatkan para kadernya untuk tidak berpaling ke partai lain, apalagi membelot. Siapa pun yang melanggar aturan akan diberi sanksi keras.

Seperti Benang Terguyur Air

BADAI yang menerpa panggung politik, agaknya belum akan berakhir dalam waktu dekat. Sejak Mahkamah Konstitusi mengambil keputusan yang memungkinkan Gibran Rakabuming Raka ikut dalam kontestasi pemilihan presiden 2024, bibit “puting beliung” di dunia politik terus menguat.

Pada awalnya, PDI Perjuangan belum terlihat cukup gerah. Berbagai pernyataan politik yang mengemuka, nampak seperti tidak cukup jelas dalam hal sanksi kepada Gibran dan tentu juga Presiden Joko Widodo. Namun, semakin hari kegeraman elite politik PDI Perjuangan tak dapat disembunyikan. Berbagai pernyataan petinggi PDI Perjuangan menyiratkan hal itu.

Masyarakat melalui media, selalu mempertanyakan, apa sanksi bagi Gibran dan Jokowi yang sudah jelas-jelas tidak patuh, membelot, membangkang atau berkhianat kepada PDI Perjuangan? Penegakan disiplin partai sebagaimana yang selalu didengungkan petinggi partai, lebih-lebih Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, seperti benang terguyur air. Susah diluruskan. Tak hanya sekali, Megawati dengan sangat keras mengingatkan para kadernya untuk tidak berpaling ke partai lain, apalagi membelot. Siapa pun yang melanggar aturan akan diberi sanksi keras.

Pada Oktober 2022, lebih setahun yang lalu, DPP PDI Perjuangan melalui Ketua Umum Megawati dan Sekjen Hasto Kristiyanto, memberikan sanksi kepada Ganjar Pranowo yang masih berstatus sebagai Gubernur Jawa Tengah. Kesalahan Ganjar, adalah memberi pernyataan kepada media pada 18 Oktober 2022 bahwa ia siap menjadi calon presiden pada Pemilu 2024. Pernyataan ini dianggap salah dalam cara berkomunikasi politik. Sebagai catatan, waktu itu Ketua DPP PDI Perjuangan, Puan Maharani tengah berjuang menaikkan elektabilitasnya sebagai capres melalui berbagai cara. Salah satunya memasang baliho besar di banyak daerah di Indonesia. Dalam konteks ini, pernyataan Ganjar yang memiliki tingkat elektabilitas lebih tinggi daripada Puan, dianggap bisa ditangkap multitafsir oleh rakyat calon pemilih. Thok, jatuhlah sanksi teguran lisan untuk Ganjar!

Bulan Mei 2023, DPP PDI Perjuangan memecat Ketua DPD PDI Perjuangan Provinsi Maluku Murad Ismail yang juga menjadi Gubernur Maluku. Pemecatan itu berawal dari istri Murad Ismail yang semula kader PDI Perjuangan berpindah ke PAN. Aturan PDI Perjuangan menyebut, dalam satu keluarga tidak boleh berbeda partai. Ketika dipanggil ke Jakarta, Murad Ismail marah dan tak mau menerima ketentuan itu. Buntutnya, dia dipecat.

Pada 18 Agustus 2023, kader potensial PDI Perjuangan Budiman Sudjatmiko yang juga menjadi anggota DPR-RI, mendeklarasikan dukungan kepada Prabowo Subianto. Deklarasi itu dilaksanakan di “rumah” Ganjar Pranowo, di Semarang. Langkah politik Budiman menuai surat pemecatan tanpa kompromi.

Giliran Gibran Rakabuming Raka yang membangkang keputusan PDI Perjuangan tentang capres, partai tak memperlakukan Gibran seperti Ganjar, Murad atau Budiman. Mungkin, salah satu yang membuat sulit DPP PDI Perjuangan untuk segera memecat Gibran, karena Walikota Surakarta ini sebelum dicalonkan sebagai bacawapres Prabowo, sudah menemui Puan Maharani dan Arsjad Rasjid yang menjadi Ketua Tim Pemenangan Ganjar. Gibran berpamitan kepada mereka berdua tentang kemungkinan bakal ikut kontestasi Pilpres. Baik Puan maupun Arsjad tak melarang Gibran.

Alhasil, langkah DPP PDI Perjuangan “hanya” sebatas mengirim surat kepada Gibran untuk segera mengundurkan diri dan mengembalikan Kartu Tanda Anggota (KTA) PDI Perjuangan. Itu pun cukup dilakukan melalui Ketua DPC PDI Perjuangan Surakarta. Agaknya, partai ingin menunjukkan bahwa soal Gibran adalah soal kecil. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PDI Perjuangan mengatur, pemecatan seorang kader harus dilakukan oleh DPP. Konon, pemecatan Gibran sudah dilakukan DPP tetapi tertutup dan tidak dipublikasikan. Faktanya, Gibran hanya diberi surat untuk mengundurkan diri dan mengembalikan KTA.

***

BADAI juga melanda Presiden Joko Widodo dan Gibran. Banyak orang menuding Presiden Jokowi melaksanakan politik dinasti. Tudingan ini berkembang menjadi hujatan dan menjadi banyak perbincangan di banyak kalangan. PDI Perjuangan melalui Hasto Kristiyanto misalnya, mulai mengungkit tentang pernah adanya keinginan Joko Widodo untuk menjadi Presiden tiga kali. Tetapi, Hasto menyebut, PDI Perjuangan tidak merespon keinginan itu. Konstitusi yang mengatur Presiden dibatasi dua periode jabatan, ingin dipegang teguh. Muncul juga rencana Jokowi untuk menunda Pemilu atau memperpanjang masa jabatan Presiden. Keinginan ini pun kandas di tengah jalan. Dan politik dinasti dianggap sebagai jalan terakhir Jokowi dalam rangka mempertahankan kekuasaannya melalui anak sulung.

Gibran tak luput dari badai. Sikap dia ketika berlangsung deklarasi capres-cawapres di kompleks Gelora Bung Karno sebelum mendaftar ke KPU, ada bagian yang membuat orang tidak bisa menerima, yakni ketika Gibran menyebut, “Tenang. Tenang Pak Prabowo. Saya sudah ada di sini!” Ucapan ini dianggap merendahkan Prabowo, walau Prabowo merespon ini enteng bahkan memuji pidato Gibran yang agak panjang dengan mengatakan, “Paten nggak Cawapres kita?”

PDI Perjuangan melalui Masinton Pasaribu di DPR-RI berupaya menggulirkan penggunaan hak angket untuk membuyarkan politik dinasti. Namun, gagasan itu belum cukup menggelinding, sudah dimentahkan oleh anggota DPR RI lainnya dengan mengatakan, hak angket tak dapat digunakan untuk merespon putusan Mahkamah Konstitusi yang dianggap salah.

Wacana pemakzulan Presiden, juga menggelinding melalui pendapat beberapa pengamat seperti Connie Rahakundini Bakrie dan Eep Saefulah Fatah. Mereka berdua melihat potensi pemakzulan Presiden cukup besar dan prasyarat yang diperlukan cukup tersedia.

Menghadapi badai yang cukup kencang, Presiden Jokowi merespon dengan cara tak ingin berkomentar. Netralitas yang dikhawatirkan tidak akan pernah ada, dijawab dengan mengundang tiga capres untuk makan siang bersama. Kepada media, Jokowi juga menyebut mendukung tiga capres yang ada. Sedang Gibran, menghadapi badai dengan irit bicara kepada media. Kalaupun terpaksa berkomentar, ia hanya mengulang-ulang pernyataan sebelumnya.

Bagaimana kelanjutan panggung Pemilu yang masuk ke hitung mundur hari dua digit? Konon, badai pasti berlalu. **