Pandemi dan Pembiasaan Baru pada Layanan Pendidikan Anak Usia Dini

Pandemi dan Pembiasaan Baru pada Layanan Pendidikan Anak Usia Dini

MEMASUKI tahun 2020 dunia dikejutkan dengan menyebarnya virus yang sangat mudah menular yang bernama Covid 19 (Corona Virus Disease). Virus ini begitu mudah penyebarannya, karena mobilitas manusia yang tinggi pada saat ini. Korban yang begitu tinggi hampir merata dialami di setiap negara. Cepatnya penambahan korban dari virus ini, sangat berdampak pada roda kehidupan manusia, baik itu di sektor ekonomi maupun pendidikan. Banyak negara yang mulai menerapkan kebijakan dalam negeri terkait stabilitas keamanan guna menekan laju penularan Covid 19. Menurut laporan UNESCO, 102 negara sudah memberhentikan kegiatan belajar dan mengajar di sekolah secara nasional. Hal ini berdampak pada 849,4 juta anak dan remaja, tulis UNESCO di laman resminya. Di China sebagai negara asal penyebaran virus corona, sekolah-sekolah sudah mulai diliburkan sejak diberlakukannya kebijakan “lockdown” wilayah pada Januari 2020.

Seiring meningkatnya korban virus Covid 19, protokol kesehatan pun diterapkan dengan diberlakukannya berbagai aturan ketat; misalnya warga tidak boleh beraktifitas dengan berkerumun dalam suatu tempat. Selain itu pemerintah setempat juga menutup akses publik dan layanan-layanan yang bersifat mengundang massa untuk berkerumun. Di Indonesia virus Covid 19 mulai terdeteksi awal Maret 2020. Hal ini tentu saja menjadi alarm warning bagi pemerintah untuk segera menindaklanjuti dengan menyusun berbagai kebijakan. Skema protokol kesehatan mulai disusun dengan mempertimbangkan jumlah penambahan korban positif yang meningkat dari hari ke hari. Tingginya angka kenaikan orang yang terpapar virus ini memaksa setiap daerah menyusun protokol kesehatan untuk menekan laju penyebaran virus Covid 19.  Istilah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) mulai diperkenalkan oleh pemerintah pusat dan diterapkan di berbagai daerah yang disinyalir menjadi cluster penyebaran virus ini. Roda ekonomi dan tentu saja layanan pada sektor pendidikan menjadi yang terdampak langsung dengan penerapan kebijakan ini. Sekolah-sekolah dilarang menyelenggarakan layanan pendidikan karena dikhawatirkan akan menjadi cluster baru penyebaran virus Covid 19 di masyarakat.

Langkah kebijakan untuk menyelenggarakan pembelajaran daring ini menjadi kunci tetap terlaksananya layanan pendidikan di berbagai jenjang pendidikan. Para guru hendaknya dapat menyesuaikan diri dengan pembelajaran daring, karena diperlukan juknis yang harus efektif dan dapat diterima dengan mudah oleh warga belajarnya. Pada jenjang PAUD, tentu saja menjadi hal yang sangat mutlak diperlukan karena anak usia dini mempunyai kecenderungan untuk susah menerapkan protokol kesehatan yang sudah disusun oleh pemerintah.  Dalam hal ini pemerintah diharapkan mampu memberikan akses yang baik bagi seluruh lapisan masyarakat, baik yang kaya atau yang miskin dan yang di perkotaan ataupun di pelosok, bukan semata-mata untuk anak-anak dari keluarga yang berada saja, terlebih pada masa pandemik seperti saat ini banyak sekali masyarakat yang kurang mampu merasa berat bila harus mengalokasikan anggaran rumah tangga untuk membeli kuota internet.  Hal ini tentu saja menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat bagi stakeholder dalam dunia pendidikan anak di Indonesia, untuk menyediakan layanan pendidikan yang mudah diakses, informatif dan tidak membebani bagi warga belajar.

Selain berbagai masalah yang timbul saat belajar dari rumah, satu alasan utama yang membuat anak-anak tidak kerasan belajar dari rumah adalah rindu suasana sekolah. Hal ini cukup beralasan karena pada jenjang PAUD interaksi dan bermain dengan teman adalah suatu hal yang mutlak diperlukan. Interaksi yang dibangun di lingkungan sekolah akan berdampak pada kondisi psikologis siswa dalam keseharian. Pada dasarnya para  siswa rindu teman-teman sekolah, rindu dengan para guru yang selama ini mengajar mereka. Tidak ada yang menampik, perkembangan teknologi memungkinkan pendidikan kita melakukan pembelajaran jarak jauh. Secara teori memang bisa, tapi praktiknya tidak semudah yang dikatakan para ahli. Interaksi anak yang dibatasi selama berbulan-bulan menyebabkan gairah untuk belajar juga akan hilang. Bagaimana seandainya mereka diharuskan belajar dari rumah sampai akhir tahun? Menyikapi hal ini hendaknya ada skenario pembelajaran bagi siswa saat pandemik berlangsung. Pasalnya, pandemi Covid-19 tidak dapat diprediksi kapan berakhir. Sekalipun saat ini kurva kasus positif tengah melambat, bukan berarti kehidupan kita bisa berjalan normal secepatnya.

Pembelajaran daring pada awalnya mempunyai tantangan yang cukup berat bagi pendidik. Hal ini karena mereka tidak terbiasa menggunakan teknologi informasi dalam hal pembelajaran. Terlebih lagi pada jenjang PAUD yang banyak membutuhkan interaksi belajar sembari bermain dalam mengembangkan kecerdasan dan ilmu pengetahuan baru bagi peserta didiknya. Sebenarnya era teknologi memberikan ruang yang cukup luas bagi tenaga pendidik untuk menciptakan kreasi pembelajaran tanpa terikat ruang dan waktu. Hal ini tentu saja menjadikan tantangan baru bagi tenaga pendidik. Di lapangan banyak dijumpai bahwa materi pembelajaran yang disampaikan belum membuat anak menjadi tertarik pada materi yang disampaikan. Belum siapnya kurikulum pendidikan yang mengakomodir model pendidikan menjadi salah satu penyebab guru merasa kebingungan untuk sekadar membuat RPP mingguan yang sesuai dengan platform yang ada.

Berbicara sarana prasarana agar kegiatan pembelajaran daring dapat berjalan baik, tentu saja tidak terlepas dari kondisi geografis yang ada. Hal ini cukup menjadi kendala serius. Karena itu, tak heran banyak masyarakat yang tinggal di daerah terpencil minim akan pengetahuan teknologi maupun informasi-informasi terbaru.Tidak semua peserta didik itu memiliki perangkat elektronik, seperti piranti komunikasi berbasis android (gawai) dan perangkat lunak lainnya (komputer) dikarenakan keterbatasan anggaran. Faktanya juga, terdapat banyak di daerah pedesaan yang atas imbauan guru untuk belajar di rumah, anak-anak malah tetap bersuka ria menggunakan waktu liburnya untuk bermain. Tenaga pengajar juga tidak bisa berbuat banyak untuk memaksa siswa memiliki gawai/komputer sebagai media belajar-mengajar.Ketiga, tenaga pendidik (guru) yang masih minim pengetahuan soal teknologi, seperti mengotak-atik perangkat lunak (komputer) maupun gawai berbasis android. Akibatnya, bila keadaan terpaksa guru dituntut menerapkan metode kelas daring, siswa kadang gagal memahami konsep ajaran guru. Soal pelaksanaan pembelajaran formal atau metode tatap muka, kita akui bahwa tenaga pendidik atau guru itu tidak bisa diragukan kemampuannya. Akan tetapi, dalam menerapkan konsep pembelajaran berbasis daring, kebanyakan tenaga pendidik atau guru masih gagap teknologi (gaptek).

Esensinya, para guru diwajibkan mempersiapkan diri sedini mungkin guna beradaptasi dengan era modern demi kemajuan pendidikan terlebih pada masa pandemi seperti sekarang ini. Dengan kemampuan adaptasi, siswa pada dasarnya akan lebih  intens dan menumbuhkan kreativitas dalam pembelajaran. Akan tetapi di tengah keadaan yang genting karena gencarnya pandemi Covid-19, metode belajar jarak jauh tetap harus dipatuhi sebagai solusi keberlangsungan pendidikan. Meskipun kita akui dalam implementasinya masih kurang efisien, namun bukan berarti peserta didik terlalu dipaksakan menunaikan pola atau metode yang dicanangkan pemerintah. Proses belajar mengajar secara online memang tidak membutuhkan banyak waktu sebagaimana kelas tradisional.  Justru itu, karena tidak butuh banyak waktu, komitmen dan dedikasi yang kuat sangat diperlukan.  Kelas online membutuhkan lebih banyak pekerjaan, lebih banyak perhatian, dan lebih banyak komitmen daripada kelas tatap muka. Bagi guru, mereka harus mempersiapkan materi dan memikirkan apakah materi itu bisa sepenuhnya dipahami siswa tanpa harus mereka dampingi secara langsung.

Peran sentral seorang guru juga sangat vital karena dia harus mengajar melalui video dengan berbagai aplikasi (zoom, google meet, dll). Dalam realitanya suasana yang terbangun bukan kondisi kelas seperti biasanya. Apalagi jika terkendala dengan jaringan internet, maka bisa jadi proses pembelajaran tidak akan efektif seperti jika di dalam kelas.  Teknologi memang memberikan kemudahan untuk manusia dalam menghadapi kehidupan sehari-hari, namun tetap saja tidak serta merta bisa menggantikannya. Baik murid maupun guru sebenarnya tetap butuh untuk pertemuan kelas secara nyata bukan hanya virtual atau lewat online. Akan tetapi tentu hal tersebut tidak bisa dilakukan saat ini karena memang situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan. Selain itu, peran utama dari seorang guru bukan hanya pengajar yang menyampaikan materi saja kepada murid, namun juga sebagai pendidik, yaitu mengajarkan juga tentang pendidikan karakter pada siswa tersebut. Jika peran guru hanya dilihat sebatas penyampaian materi, maka mungkin teknologi bisa menggantikannya karena tinggal ketik suatu kata maka akan muncul ratusan bahkan ribuan informasi dari berbagai sumber. Akan tetapi, peran guru yang utama justru mendidik karakter murid tidak hanya secara kognitif (pengetahuan) tapi juga secara afektif (sikap), dan yang menjadi pertanyaan besarnya ialah bisakah teknologi menggantikan peran seorang guru atau pendidik dalam mendidik murid secara karakter? ***

Syahria Anggita Sakti M.Pd

Dosen FKIP/PG PAUD Universitas PGRI Yogyakarta