Kembali ke Demokrasi Pancasila
Oleh: Sudjito Atmoredjo
Sebenarnya, para founding fathers secara cerdas telah melakukan mitigasi demokrasi liar, yakni dengan mematok konsep demokrasi ala Indonesia adalah demoraksi Pancasila. Secara singkat dan padat dimaksud demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang mampu mengatasi paham perseorangan dan golongan, dengan mengedepankan sistem perwakilan, yang mengakomodasi segala unsur kekuatan rakyat, yang terepresentasikan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
ARTIKEL ini bernuansa keprihatinan, sekaligus ajakan. Prihatin, karena demokrasi telah dipraktikkan secara brutal dan arogan, pada semua lini kehidupan. Wajar, bila rakyat berakal-sehat menggugat Pemerintah (Presiden), Wakil-wakilnya (DPR), dan Lembaga-lembaga negara lainnya.
Pemerintahan atas negeri ini, secara normatif-konstitusional mesti berkarakter demokratis. Berdasarkan Pancasila. Tetapi, kenyataannya, telah diperalat oleh rezim Jokowi dan kroninya, sebagai upaya pelanggengan kekuasaan. Anak, menantu, adik, dan seluruh keluarganya, ditempatkan dalam posisi strategis. Demi ambisinya, demokrasi dikoyak-koyak, dan dipraktikkan secara brutal, sarat kecurangan dan ugal-ugalan.
Terhadap situasi panas itu, ada pertanyaan mendasar: (1) Mengapa rakyat gandrung demokrasi? Demokrasi macam apa yang cocok untuk Indonesia?. Disadari, jawaban atas dua pertanyaan tersebut, pasti beragam. Artinya, dalam kedangkalan pemahaman tentang esensi demokrasi, kalau pun perjuangan berhasil - rezim Jokowi jatuh, dan pendemo menang - sangat dikawatirkan, tidak mudah dicapai titik konvergensi tentang model demokrasi yang diperjuangkannya.
Kilas balik tentang arti dan esensi demokrasi. Dalam bahasa Yunani, kata ‘demos’ artinya rakyat (people). Dalam konsep negara modern, rakyat yang bersatu sebagai bangsa (nation) merupakan salah satu unsur utama terbentuknya negara. Unsur lainnya adalah wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat.
Dalam pencermatan Yudi Latif (dalam ’Demokrasi Dekaden’, 2024), demokrasi itu ada sisi baik dan buruknya. Celakanya, demokrasi di Indonesia justru berkembang pada sisi buruknya. Bersandar pada pendapat Aristoteles, dinyatakan bahwa pemerintahan yang baik adalah pemerintahan oleh banyak orang. Mengapa? Karena “yang banyak tak mudah terkorupsi, ketimbang yang sedikit”. Seperti samudera, karena banyak airnya, maka tak mudah tercemar. Meski demikian perlu dicegah jangan sampai ada keliaran demokrasi.
Sebenarnya, para founding fathers secara cerdas telah melakukan mitigasi demokrasi liar, yakni dengan mematok konsep demokrasi ala Indonesia adalah demoraksi Pancasila. Secara singkat dan padat dimaksud demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang mampu mengatasi paham perseorangan dan golongan, dengan mengedepankan sistem perwakilan, yang mengakomodasi segala unsur kekuatan rakyat, yang terepresentasikan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Hemat saya, agar bangsa ini mampu berdemokrasi dengan benar dan elegan, kiranya perlu belajar banyak dari ajaran tokoh-tokoh kebangsaan, antara lain, Bung Karno. Pada acara Seminar Pancasila, 21 Februari 1959 di Yogyakarta, Bung Karno memberikan Kuliah Umum (Studium Generale) tentang Pancasila. Peserta seminar mayoritas mahasiswa UGM. Ada pertanyaan, “Pak demokrasi terpimpin itu apa to, Pak?”.
Atas pertanyaan itu, dijelaskanlah esensi demokrasi, secara panjang-lebar. Dengan bijak, dipadankanlah demokrasi dengan konser-musik. Suatu konser-musik, terselenggara ketika puluhan (bahkan ratusan) orang, masing-masing memegang dan memainkan alat-musik. Alat-musik dimaksud, ada biola, gitar, trombon, terompet, jidor, dan lain-lain sebagainya. Meskipun bermacam-macam alat-musiknya, namun karena ketika bermusik, semuanya taat pada perintah dirigen, maka lahirlah suara merdu, berirama, harmonis, enak didengar, sejuk di hati.
Dirigen itu pemimpin konser-musik. Apakah dirigen bisa sesuka hati memilih lagu, dan mengaransemen lagu? Tidak. Sekali lagi tidak. Tidak pernah ada dirigen dipilih melalui voting. Seorang dirigen dipilih karena keahliannya, penampilannya, dan kepemimpinannya dalam bermusik. Dalam memimpin konser, seorang dirigen, pasti berpegang pada satu lembar kertas. Itulah noot. Noot sering disebut pola. Noot itu, dijadikan sandaran bagi dirigen untuk mengikuti aba-aba. Seluruh pemegang alat-musik, maupun pelantun suara (vokalis), taat pada aba-aba dirigen. Keterpaduan seluruh unsur konser, di bawah kepemimpinan dirigen, dan ketaatan pada noot, menjadikan konser-musik tampil elegan-menawan.
Dalam kaitannya dengan demokrasi - dijelaskan oleh Bung Karno - bahwa dimaksud noot adalah Pola Pembangunan Nasional, yang dibuat oleh Dewan Perencanaan Nasional (Depernas). Penyelenggara konser atas dasar Pola Pembangunan Nasional itu adalah rakyat, masyarakat, komponen bangsa, terutama tenaga profesional-fungsional. Komitmen dan orientasinya, tertuju kepada perwujudan negara yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Dalam konser pembangunan negara itu, semua elemen bangsa wajib berusaha memberikan kontribusinya. Insinyur, dokter, ahli ekonomi, sarjana hukum, tukang gerobak, dan lain-lain, semua dan seluruhnya, bersatu, bergerak, bergotong-royong, dalam irama dan kepemimpinan seorang dirigen. Dirigen itu adalah Kepala Negara. Itulah gambaran esensi demokrasi ala Indonesia, demokrasi Pancasila.
Hemat saya, bila dari esensi demokrasi itu diambil mutiara hikmah, dan selanjutnya diaktualisasikan ke masa-masa rezim penguasa saat ini, maka dapatlah diperoleh pelajaran-pelajaran berikut.
Pertama, Kepala Negara sebagai dirigen konser kebangsaan, wajib menjalankan tugasnya sesuai aspirasi rakyat. Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), sebagai noot penyelenggaraan negara, sekalian MPR sebagai pembuatnya, mesti diadakan dan dipulihkan jati-dirinya sebagai Lembaga Tertinggi Negara.
Kedua, Pancasila sebagai roh Staatsfundamental Norm (Pokok-pokok Kaidah Negara Yang Fundamental), wajib dijadikan roh dalam proses penyusunan maupun produk (isi) GBHN.
Ketiga, penyelenggaraan negara atas dasar Rencana Pembangunan Jangka Menengah atau Jangka Panjang yang dibuat Presiden sebagai konkritisasi janji-janjinya saat kampanye, sebenarnya cacat-ideologis dan inskonstitusional. Tidak layak, dan tidak mencukupi, untuk sarana mewujudkan Visi dan Misi negara. Oleh karenanya, praktik demikian wajib diakhiri, diubah, serta dikembalikan ke jalur filosofi, ideologi, dan konstitusi.
Keempat, Kepala Negara, sebagai dirigen konser kebangsaan tidak boleh memimpin negara atas dasar kemauan/kepentingan pribadi, keluarga, golongan, atau kelompok tertentu saja. Segala bentuk penyimpangan, penyalah-gunaan wewenang sebagai Kepala Negara wajib dipertanggung-jawabkan terhadap konstitusi dan hukum negara yang berlaku. Permintaan maaf saja, amat tidak cukup.
Kelima, pada ranah empiris, demokrasi, sebagai sistem pemerintahan yang aslinya berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, ternyata telah berubah total menjadi sistem pemerintahan tunggal, tirani, oligarki. Keseluruhannya menyimpang dan bertolak belakang dari nilai-nilai Pancasila. Karenanya, wajib didekonstruksi dan dikembalikan ke dasar dan makna filosofisnya, yakni Pancasila.
Dari beberapa mutiara hikmah di atas, kiranya perlu diingatkan, agar demo, gugatan, hujatan terhadap praktik demokrasi saat ini, tidak kebablasan dan tidak anarkis. Kedepankan, sikap santun dan tertib. Jangan salah arah. Jangan liberal. Nilai-nilai Pancasila mesti dijadikan sandaran selama revolusi demokrasi berlangsung. Last but not least, jangan lupa, demokrasi Indonesia adalah demokrasi Pancasila. Wallahu’alam.
Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.
Guru Besar pada Sekolah Pascasarjana UGM.