Disiplin dan Sinergi, Kunci Sukses Melawan Corona

Disiplin dan Sinergi, Kunci Sukses Melawan Corona

SEPERTINYA tak mudah bagi banyak orang untuk memahami situasi yang sedang kita hadapi ini. Virus corona dapat menyebar melalui percikan droplet yang masuk ke mata, hidung atau mulut dapat menimbulkan beragam gejala klinis hingga yang paling parah adalah kematian. Ada 11.000 lebih pasien yang dinyatakan positif tertular virus corona di negeri ini dan 79 orang di antaranya tersebar di Yogyakarata. Data ini memperlihatkan bahwa virus corona tidak bisa dianggap remeh.

Contoh kasus di negara lain, seharusnya dapat dijadikan pembelajaran. Sejak awal terjadinya wabah ini, masih banyak orang termasuk pejabat-pejabat, yang terkesan meremehkan. Bahkan menjadikan wabah ini sebagai bahan candaan dengan melontarkan pernyataan-pernyataan tak masuk akal. Lalu, mengapa banyak orang yang menganggap remeh wabah ini? Dari antara banyak hal, mungkin ancaman kematian yang rendah menjadi alasan terkuat menganggap remeh penyakit ini. Mari kita lihat negara dengan populasi terpadat di dunia yaitu China, dari 81.000 kasus positif tertular, “hanya” sekitar 3.200 orang yang meninggal, hal ini menunjukan persentase kematian “hanya” sekitar 4%. Berbeda lagi dengan Jepang dan Korea yang angka kematiannya lebih rendah dibanding dengan China. Total jumlah pasien meninggal di Jepang hanya sekitar 2,6% bahkan di Korea Selatan lebih rendah lagi, yakni sekitar 1,5%. Tetapi keadaan berbanding terbalik bila kita lihat kondisi di Iran, Italia dan Amerika. Di Iran angka kematian akibat covid-19 sekitar 6,3% dengan jumlah kasus positif sebesar lebih dari 89.000 sedangkan di Italia persentase kematian akibat covid-19 mencapai 13,5% dengan jumlah kasus positif lebih dari 195.000 dan di Amerika angka kematian covid-19 lebih dari 53.000 dengan jumlah kasus positif sebesar 944.000 .

Amerika saat ini adalah negara dengan keadaan paling parah setelah China, tempat awal virus corona menyebar. Bahkan sekarang China sudah mencabut aturan lockdown yang sempat diberlakukan selama 76 hari. Tentu keputusan pencabutan lockdown dilakukan setelah mempertimbangkan banyak hal, termasuk jika kita lihat ada lebih dari 77.000 pasien yang berhasil sembuh dan catatan nihil angka kematian untuk 10 hari beruntun. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit covid-19 ini dapat disembuhkan, asal pasien mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat.

Lalu, apa yang membuat situasi satu negara berbeda drastis dengan negara lain? Pada dasarnya adalah usaha preventif maupun mitigasi yang dilakukan secara jelas, terstruktur dan terukur. Pertama, aspek kesehatan menyangkut kesiapan tenaga medis. Hal ini tentu menjadi faktor terpenting, bagaimana sebuah negara dapat menangani dan memberikan tindakan yang tepat bagi ODP, PDP maupun pasien positif covid-19. China yang disebut sebagai sumber penularan penyakit, tidak menyadari adanya bahaya besar mengancam. Bahkan warganya pada tahap awal terkesan menyepelekan dan berkeliaran ke seluruh dunia. Tetapi begitu disadari, pemerintah langsung mengambil langkah cepat dan tepat sasaran. Dengan sumber daya berskala besar, China, Italia dan Iran bergerak cepat. Penduduk juga saling bersinergi dan sangat disiplin mematuhi anjuran, larangan dan ketetapan pemerintah. Hasilnya dalam kurun waktu 2-3 bulan angka kesakitan dan kematian dapat ditekan bahkan mencapai zero case.

Bagaimana dengan kita? Mari kita akui bahwa kita memiliki banyak keterbatasan, baik dalam hal aspek kesehatan yang sangat terbatas dan perilaku masyarakat. Artinya kita akan sampai pada suatu titik, di mana kapasitas pelayanan medis kita menjadi jauh dari cukup, sehingga apabila situasi ini terjadi, akan banyak orang tertular tetapi tidak mendapatkan penanganan tepat. Sekarang kita sudah dalam situasi serius. Mengapa? Karena dalam waktu singkat lonjakan kasus positif covid-19 di Indonesia sehari mencapai 300 orang. Lalu, apa yang terjadi? Ada sejumlah orang yang sudah tertular tapi tidak sadar karena tidak memiliki gejala dan ia beraktivitas seperti biasa, menularkan virus yang ia bawa kepada banyak orang. Padahal sejatinya rantai penularan covid-19 ini dapat diputus melalui dua kunci utama yaitu kedisiplinan dan sinergi masyarakat.

Masyarakat memegang peran sangat penting dalam memutus rantai penyebaran virus corona. Penting bagi setiap orang untuk tinggal di rumah, sesuai dengan anjuran pemerintah. Kalau tinggal di rumah, orang yang tertular tidak akan menyebarkan penyakitnya pada orang lain. Orang yang sakit akan diisolasi dan disembuhkan sedangkan anggota keluarga atau orang yang pernah memiliki kontak langsung dengan pasien positif selama 2 minggu terakhir, juga harus melakukan karantina mandiri secara penuh selama dua minggu. Hal ini akan menekan laju penyebaran virus corona, sehingga jumlah pasien tertular tidak akan bertambah. Masalah kita adalah terlalu banyak orang yang bandel dan melawan larangan pemerintah. Bersikap tidak peduli dan seolah-olah tidak takut apabila terkena covid-19. Terlalu banyak orang-orang yang yakin bahwa ia tidak akan tertular, konyolnya pernyataan seperti ini dibumbui faktor imunitas, umur dan beragam alasan lainnya yang terdengar tidak masuk akal. Padahal, belum ada penelitian ilmiah yang menyatakan bahwa seseorang dapat kebal covid-19 karena faktor di atas.

Apakah lockdown menjadi jawaban atas permasalahan di atas? Tentu tidak. Kita tidak memiliki cukup perbekalan untuk melakukan hal itu, alih-alih sukses menekan angka kematian, kita justru dapat menimbulkan masalah baru. Lalu apa yang dapat kita lakukan? Kita dapat mencontoh beberapa wilayah di Yogyakarta yang menerapkan “lockdown” mandiri, gunanya untuk membatasi kontak dan pergerakan keluar dan masuk warganya. Bahkan di beberapa wilayah Yogyakarta telah memiliki posko screening yang terletak di depan jalan masuk utama, di mana setiap orang yang masuk ke wilayah tersebut harus melalui pengecekan suhu dan diwajibkan untuk mencuci tangan. Hal yang dapat kita lakukan adalah pembatasan sosial dengan meminimalisir kegiatan di luar rumah atau kegiatan yang menghadirkan lebih dari 10 orang. Tidak dapat dipungkiri akan banyak orang kehilangan pekerjaan, bosan dan sebagainya, tetapi ini adalah satu-satunya cara yang dapat kita lakukan.

Ringkasnya, kita harus berkorban sekarang. Kalau tidak, kita akan berkorban lebih besar lagi. Masyarakat harus saling bersinergi dalam menyampaikan pentingnya pembatasan sosial, dimulai dari keluarga, kelompok ibadah, serta institusi pemerintah harus disiplin dalam melakukan anjuran pemerintah mengenai pembatasan sosial. Kedisiplinan dan sinergi masyarakat akan menentukan berapa lama kita akan berada dalam kondisi krisis ini. Juga akan menentukan berapa banyak korban jiwa yang akan jatuh. Penting setiap orang untuk menyadarkan orang-orang di sekitarnya agar banyak orang mengetahui hal ini. Karena hanya kepada diri kita sendiri, nasib jutaan warga di Indonesia tercinta ini dipertaruhkan. Mari kita berdoa bersama agar Indonesia dapat segera pulih dari kondisi krisis ini dengan jumlah angka kesakitan dan kematian yang dapat ditekan. Bersama-sama kita jaga kesehatan dan lakukan pembatasan sosial! **

Angelita Abri Berliani KY

Mahasiswa Fakultas Bioteknologi Universitas Kristen Duta Wacana