Kejujuran dan Kebohongan dalam Kasus Sambo

Kejujuran dan Kebohongan dalam Kasus Sambo

ALANGKAH indahnya Indonesia, bila pada ujung tutup tahun ini, diisi dengan kejujuran. Sayang, keindahan demikian, hanyalah angan-angan belaka. Realitas empiris, entah pada awal, ataukah pada pertengahan, ataukah akhir tahun, senantiasa sarat kebohongan. Pada hal, kebohongan merupakan penyakit jiwa yang amat berbahaya terhadap kenyaman hidup dan kehidupan semua orang. Kehidupan bangsa ini pasti rusak, hancur, dan menderita, bila kejujuran menjadi barang langka, sementara kebohongan terus merajalalela.

Persidangan kasus Sambo, kiranya cukup untuk menggambarkan perdebatan antara kejujuran dan kebohongan di negeri ini. Viral di media bahwa lima terdakwa pembunuhan berencana Brigadir Yosua, menjalani uji poligraf, saat diperiksa oleh penyidik kepolisian Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri beberapa waktu lalu. Hasil uji poligraf kelimanya diungkap oleh ahli poligraf dari Polri, Aji Febrianto Ar-Rosyid, dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Rabu (14/12/2022).

Aji mengatakan, hasil uji poligraf dinilai dengan metode pemberian skor. Richard dan Ricky lebih banyak mengantongi skor plus, artinya terindikasi jujur. Sebaliknya, Sambo, Putri, dan Kuat, banyak mencatatkan skor minus, berarti terindikasi berbohong. Sambo, nilai totalnya minus 8, Putri minus 25. Kuat Ma’ruf dua kali diperiksa. Pemeriksaan pertama hasilnya plus 9 dan kedua minus 13. Ricky juga diperiksa dua kali. Hasil pemeriksaan pertama plus 11, kedua plus 19. Richard plus 13. Dinyatakan oleh ahli poligraf itu, keakuratan tes poligraf mencapai 93 persen.

Perihal keakuratan tes poligraf, beberapa pakar menuturkan sebagai berikut (Media Indonesia, 7/9/2022). Pertama, peneliti deteksi kebohongan Prof. Aldert Vrij mengatakan, ada beberapa aspek yang memungkinkan hasil tes poligraf akurat. Akurasi terbaik, menurutnya, bisa lebih tinggi dari kemampuan rata-rata orang untuk memberitahu jika orang lain sudah berbohong. Jika pemeriksa terlatih, jika tes dilakukan dengan benar, dan jika ada kontrol kualitas yang tepat, akurasi diperkirakan antara 80%-90%.

Kedua, Van der Zee mengatakan, tes poligraf tidak mengukur penipuan atau kebohongan secara langsung, melainkan tanda-tanda kemungkinan bahwa peserta tes bisa menipu pewawancara. Ikut tes pendeteksi kebohongan saja, pada dasarnya bisa meningkatkan rasa stress, dan membuat peserta merasa bersalah, meskipun tidak bersalah. Jadi, meskipun poligraf cukup bagus dalam mengidentifikasi kebohongan, poligraf tidak terlalu bagus dalam mengidentifikasi kebenaran.

Ketiga, Prof. Grubin memaparkan sejumlah alasan kenapa sebuah tes poligraf bisa jadi tidak akurat. Di antaranya, karena pertanyaan dirumuskan dengan buruk, pewawancara salah membaca hasil, dan sulitnya mewawancarai korban. Grubin menjelaskan, jika alat pendeteksi digunakan pada korban, maka ada kemungkinan hasil tes mendapati ia berbohong. Sebab, kondisinya yang emosional saat menceritakan pengalaman traumatis, dapat berisiko terdeteksi sebagai indikasi sedang berbohong. Menguji korban adalah hal yang sangat berbeda, karena sifat pertanyaan detektor kebohongan adalah memicu naiknya respons tubuh.

Dalam perspektif moralitas-religius, kejujuran dan kebohongan merupakan bagian dari integritas, Semakin jujur dan amanah seseorang, maka semakin tinggi integritasnya. Sebaliknya, semakin seseorang banyak bohong dan berkhianat, maka semakin rendah integritasnya. Orang beriman ditandai dengan integritas tinggi. Sementara itu, orang munafik ditandai dengan integritas rendah. “Wahai orang-orang yang beriman, mengapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?; Amat besar kebencian di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. al-Shaff [61] ayat 2-3).

Sebagai insan Pancasilais, tentu percaya bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu memiliki sifat-sifat sempurna. Kita semua, mesti berkehendak, berpikir, dan berperilaku untuk menjabarkan sifat-sifat kesempurnaan itu agar mewarnai seluruh aktivitas kehidupan. Hidup yang benar, bukanlah pilihan atas berbagai kebenaran yang serba nisbi, melainkan perjalanan panjang disertai konsistensi (istiqomah) untuk senantiasa berada di jalan kebenaran dan kejujuran.

Pilihan lain dan sikap lain, yakni dzalim dan dusta (bohong), merupakan perilaku sesat. Kesesatan terjadi, ketika seseorang lebih senang berteman dengan setan, daripada berteman dengan orang saleh. Setan (perusak) selalu mengajak dan merayu manusia, untuk mencitai dunia di atas segalanya. Rambu-rambu kehidupan yang ditetapkan Allah swt, dilanggarnya.

Manusia, sedari awal penciptaan, disifatkan sebagai dhaif (lemah). Dalam sifat demikian, telah berulangkali diperingatkan, agar manusia super hati-hati meniti jalan kehidupan. Kerentanan tersesat amat lebar, ketika kilauan dunia menjadi fokus perhatiannya.  Di antara kelemahan-kelemahan manusia, antara lain:

Pertama, inkosistensi antara ucapan dan perbuatan. “Lidah memang tak bertulang”, demikian ungkapannya. Banyak sekali manusia pandai berbicara, menganjurkan perbuatan baik, dan memperingatkan agar menjauhi larangan-larangan Allah swt, tetapi ia sendiri tidak melaksanakannya. Beberapa waktu lalu, viral di media, bagaimana Sambo memberi wejangan tentang pentingnya kejujuran, kebaikan, kebenaran, kepada anak-anak buahnya. Nama baik Polri perlu dijaga. Betapa indah dan elegan wejangan itu. Tetapi sayang, perilakunya justru bertolak belakang dari wejangannya.

Rasulullah saw bersabda bahwa perbuatan yang paling disukai Allah swt, yaitu beriman kepada-Nya, berjihad, menghapuskan kemaksiatan yang dapat merusak iman, mengakui kebenaran risalah yang disampaikan nabi-Nya. Sabda ini amat relevan diaktualisasikan pada zaman ini. Sayang, sabda ini banyak dilupakan, dan disesatkan. Mengembangkan geng-geng berseragam dinas, atau menjadi backing pertambangan ilegal, atau membunuh anak buah sendiri, atau berbelit-belit dan berbohong di sidang pengadilan, merupakan contoh nyata kesesatan perilaku tersebut.

Kedua, ingkar atas janji yang diucapkannya. Arwah manusia sebelum ditiupkan ke dalam jasad, telah diambil sumpah/janji oleh Allah swt “Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi” (QS.al-A’raaf, 172). Ketika seseorang diangkat pada suatu jabatan tertentu, oleh pejabat atasannya pun dilantik dan diambil sumpah/janji, untuk senantiasa taat pada hukum negara. Tampaknya, janji tinggal janji, bulan madu hanya mimpi. Janji diingkari. Bukankah Rasulullah saw bersabda, “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga: apabila berjanji maka ia menngikarinya, apabila ia berkata maka ia berdusta, dan apabila ia dipercaya maka ia berkhianat. (HR Bukhari-Muslim).

Kiranya tak berlebihan dinyatakan bahwa kemunafikan di negeri ini, telah marak, melanda abdi masyarakat, abdi negara, penyelenggara negara, dan tokoh-tokoh bangsa. Sifat jujur dan amanah pada mereka nyaris sirna. Inikah manusia beradab, ataukah manusia biadab?!

Dikhawatirkan, gelombang rasa kecewa atas situasi dan kondisi demikian, dapat berkembang menjadi sikap saling mencurigai, dendam kesumat, dan anarkhis. Bencana yang hadir silih berganti, sering diduga merupakan azab, cobaan, dan ujian dari Allah swt melalui alam ciptaan-Nya.

Tes kebohongan ataupun tes kejujuran, sebagai upaya mengungkapkan kebenaran materiil kasus Sambo, memang diperlukan. Walau demikian, alat deteksi terbaik adalah hati nurani. Maka, bertanyalah kepada hati nurani, niscaya tersibaklah kebenaran materiil itu. Wallahu’alam. ***

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.h., M.Si.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM.