Nicholas Saputra Kampanye Isu Lingkungan Lewat Narasi Empatik
Memang sulit membuat satu isu bisa relevan dengan jutaan orang, bekerja dengan komunitas kecil akan lebih mudah.
KORANBERNAS.ID, JAKARTA -- Aktor dan aktivis lingkungan Nicholas Saputra mengajak komunitas-komunitas di Indonesia aktif dalam kampanye isu sosial dan lingkungan dengan pendekatan berbasis narasi empatik.
Hal ini disampaikannya dalam acara Cerita untuk Cipta: Dari Narasi Menjadi Aksi yang diselenggarakan oleh Purpose Indonesia, Selasa (3/6/2025), di Jakarta.
Acara ini menjadi momen refleksi lima tahun inisiatif Purpose dan para mitra membangun gerakan berbasis cerita, komunikasi strategis dan aksi komunitas.
“Memang sulit membuat satu isu bisa relevan dengan jutaan orang, tapi bekerja dengan komunitas kecil akan lebih mudah karena itu isu yang betul-betul kita ketahui,” ujar Nicholas.
Ada godaan
Dia menyebutkan kampanye semacam ini menjadi bentuk antitesis dari dominasi algoritma media sosial. “Namun tetap saja ada godaan untuk di-like oleh dua juta orang,” tambahnya.
Dalam forum yang diikuti berbagai tokoh dari sektor riset, media, komunikasi dan advokasi tersebut, narasumber menyampaikan pentingnya narasi empatik menjadi benang merah.
Yanuar Nugroho selaku pendiri NALAR Institute dan Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), menyoroti kecenderungan penyederhanaan masalah publik lewat populisme.
“Persoalan kompleks kini diringkas secara sentimental dan emosional, yang justru memunculkan disonansi kognitif,” jelasnya.
Emosi publik
Menurut dia, narasi empatik dapat menjadi pendekatan strategis untuk menjembatani ketegangan antara informasi rasional dan emosi publik.
“Komunikasi publik harus menyentuh sisi emosional, bukan hanya logika,” tambah Yanuar, yang juga pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan Visiting Senior Fellow di ISEAS-Yusof Ishak Institute serta University of Manchester.
Evi Mariani selaku Pemimpin Umum Project Multatuli menekankan adanya ketimpangan dalam ekosistem informasi publik.
“Di satu sisi kita dibanjiri informasi, tapi pada sisi lain banyak isu penting yang justru tidak terdengar. Khususnya isu lingkungan yang sering bersinggungan dengan kepentingan oligarki dan pendengung digital,” ungkapnya.
Kolaborasi
Dia menyebut ini sebagai tantangan besar bagi jurnalis, aktivis sosial dan content creator. “Solusinya adalah membangun kolaborasi strategis antar-kekuatan masyarakat sipil, kekuatan kecil yang saling terhubung dan bekerja bersama,” ujarnya.
Michelle Winowatan selaku Impact Strategy and Partnership Lead Purpose, menyampaikan gerakan sosial kini menghadapi tantangan serius berupa disinformasi dan kebisingan digital dari buzzer. “Kita butuh komunikator yang kredibel dan dipercaya,” tegasnya.
Berdasarkan survei Purpose, masyarakat Muslim Indonesia cenderung paling percaya pada pemuka agama dalam hal isu lingkungan.
Michelle menekankan pendekatan hyperlocal sebagai strategi efektif di tengah keberagaman Indonesia. “Masyarakat kita sebenarnya punya pengetahuan dan kapabilitas, namun sering terhambat secara struktural," jelasnya.
Perubahan
Melengkapi diskusi, Longgena Ginting selaku Indonesia Country Director Purpose menegaskan bahwa gerakan sosial yang berdampak dibangun lewat narasi yang kuat, komunikasi yang strategis dan keterlibatan komunitas.
“Gerakan sosial adalah nadi dari perubahan sistemik. Dan senjata utamanya adalah komunikasi yang dibangun dengan strategi dan empati,” ujarnya.
Longgena memperkenalkan pendekatan movement generosity, yakni berbagi pengetahuan, pengalaman, hingga kegagalan antargerakan untuk saling menguatkan. “Meskipun alat dan kanal kampanye berubah, esensi komunikasi tetap relevan,” ujarnya. (*)