Harga Properti Makin Tak Terjangkau, Sindikasi Desak Pemerintah Campur Tangan

Harga Properti Makin Tak Terjangkau, Sindikasi Desak Pemerintah Campur Tangan
Diskusi tentang perentanan kehidupan yang diselenggarakan Sindikasi. (istimewa)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA—Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), mendesak pemerintah daerah untuk ikut campur tangan dalam upaya menjaga para pekerja dari ancaman perentanan kehidupan. Campur tangan pemerintah ini dibutuhkan, agar para buruh atau pekerja mampu bertahan di tengah beban hidup yang semakin berat.

Dalam diskusi yang berlangsung di Kantor PKBI Yogyakarta, sejumlah narasumber mengungkapkan sulitnya para pekerja meniasati hidup di Yogyakarta. Nurrul Nelwan seorang pekerja film misalnya, mengatakan dirinya sulit bertahan hidup dengan rata-rata [endapatan sesuai Upah Minimum Regional (UMR) Yogyakarta, yaitu Rp 2,2 juta perbulan (sekarang Rp 2,7 juta).

Terlebih, pendapatan senilai ini pun tidak pasti, lantaran bergantung pada ketersediaan dana yang dimiliki oleh institusi seni tempatnya bekerja. 

“Institusi seni bergantung pada skema pendanaan dari stakeholder nasional (termasuk pemerintah) dan internasional, yang hanya berfokus pada produksi dan tampak di atas panggung/layar. Kerja-kerja hantu di balik layar seperti pengelolaan atau pengarsipan, seringkali tidak ditanggung oleh skema pendanaan seni budaya dan menempatkan pekerja seni di wilayah kerja ini dalam posisi rentan,” kata Nelwan.

Kerentanan ekonomi dari para pekerja kreatif (tidak hanya seni budaya) ini pun, diperburuk dengan harga kontrakan yang terus melambung di Yogyakarta setiap tahunnya. Sehingga gaji sebesar UMR, sebagian besar harus dipakai untuk membayar biaya hunian.

Pengalaman Nurrul ini diperkuat oleh paparan Adhytia Finlan yang membahas soal kependatangan di Yogyakarta. Ia menyebutkan bahwa harga tanah di Yogyakarta dibentuk oleh mekanisme pasar bebas. Tanah Yogyakarta sebagai komoditas akan terus naik harganya. Sehingga agar dapat mengakses tanah sebagai hunian, Ini membuat para pekerja harus terus menjual tenaganya sebagai komoditas dengan standar upah yang tidak kunjung naik.

Finlan menyebutkan survei standar hidup layak buruh DIY menurut Majelis Pekerja Buruh Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (MPBI DIY) di tahun 2023, adalah Rp 4,1 juta. Mirisnya dengan harga tanah di Yogyakarta sekarang, orang-orang yang dapat memiliki properti hanyalah yang bergaji minimal Rp 16 juta rupiah perbulan.

“Tentu saja ini jauh dari standar UMR Jogja 2024 yang ditetapkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X di bulan Januari 2024 sebesar Rp 2.125.897 juta rupiah,” bebernya.

Kondisi ini menunjukkan bahwa perentanan pekerja di Jogja bekerja secara sistemik, didukung oleh kebijakan UMR yang rendah hingga ketiadaan regulasi yang melindungi hak dasar pekerja seperti akses untuk hunian. Pekerja dikondisikan harus bersandar pada gaji yang tidak tetap untuk memenuhi hak dasarnya sebagai manusia.

Terkait kondisi ini, Sindikasi meminta agar pemerintah daerah lebih mendorong kepedulian terhadap hajat hidup kaum buruh dan pekerja. Perentanan pekerja yang berlangsung secara sistemik ini, tidak bisa dibiarkan terus menerus. 

“Kami menuntut pencabutan UU Cipta Kerja dan meminta Pemda DIY menaikkan UMP dan UMK DIY minimal 15 persen,” kata Divisi Kesekretariatan Sindikasi DIY Syaifatudina.

Selain itu, Sindikasi juga meminta pemda untuk menyediakan transportasi layak bagi pekerja/buruh, yang melintasi sentra-sentra pekerja serta menyediakan program penguatan koperasi pekerja/buruh.

“Untuk DIY, kami berharap ada upaya mendistribusikan Sultan Ground dan Paku Alam Ground untuk perumahan pekerja/buruh,” tulis Sindikasi dalam rekomendasinya.

Selain itu, tak kalah penting adalah adanya keseriusan pemerintah untuk menghapuskan sistem kontrak, outsourcing, serta sistem pemagangan yang eksploitatif bagi pekerja dan perlu membangun ekosistem ekonomi kreatif dan kebijakan yang menyejahterakan dan melindungi seniman, pekerja seni, dan pekerja ekonom kreatif lainnya.

Sindikasi juga menyoroti tajam akan nasib ibu dan anak. Mereka meminta segera disahkannya RUU PPRT dan Kesejahteraan Ibu dan Anak. Kemudian untuk buruh migran, Sindikasi mendesak pemerintah meningkatkan perlindungan bagi pekerja/buruh migran dari perdagangan manusia, kondisi kerja yang buruk, dan ketidakpastian hukum.

“Ini saja belum cukup. Pemerintah musti mewujudkan jaminan sosial semesta seumur hidup, merealisasikan pendidikan gratis dan mempercepat pelaksanaan reformasi agrarian dan mengontrol harga sembako agar terkendali dan terjangkau masyarakat,” lanjut Sindikasi dalam catatannya. (*)