Perang Tarif dan Ujian Kemandirian Nasional

Oleh: Boy Anugerah

Hasil negosiasi antara delegasi Indonesia dengan US Trade Representative (USTR) dan US Secretary of Commerce menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia belum cukup berani untuk menunjukkan independensi atau kemandirian ekonomi. Diplomasi ekonomi yang dijalankan oleh delegasi Indonesia masih bersikap akomodatif dan menunjukkan kelemahan daya tawar Indonesia. Permintaan delegasi Indonesia agar komoditas ekspor unggulan Indonesia dikenakan tarif impor yang rendah harus dibayar mahal dengan komitmen Indonesia untuk menaikkan volume ekspor dari AS pada sektor energi dan agrikultur sebagai kompensasi. Hal ini secara otomatis menjadi penghambat terhadap komitmen pemerintah Indonesia untuk mewujudkan swasembada energi dan swasembada pangan nasional. Tak hanya itu, poin-poin negosiasi yang disodorkan oleh AS juga terkesan hendak menggerogoti transisi ekonomi Indonesia menjadi negara yang berdaulat secara ekonomi. AS secara eksplisit menyatakan keberatan terhadap kebijakan pemerintah Indonesia selama ini yang memberlakukan ambang batas TKDN di sektor manufaktur, penggunaan QRIS dan GPN dalam sistem pembayaran nasional, serta sertifikasi halal untuk produk-produk makanan.

Perang Tarif dan Ujian Kemandirian Nasional
Boy Anugerah (Istimewa).

KEBIJAKAN AS yang menerapkan kenaikan tarif resiprokal terhadap produk-produk impor dari Indonesia sebesar 37 hingga 47 persen disikapi secara reaktif oleh pemerintah Indonesia. Hal ini tercermin dari arahan Presiden Prabowo yang mengirimkan delegasi untuk melakukan negosiasi secara langsung dengan pemerintah AS. Bayangan akan dampak buruk terhadap perekonomian nasional dari kebijakan perang tarif tersebut telah membuat pemerintah Indonesia seakan menegasikan beberapa langkah besar di bidang ekonomi yang telah diambil seperti kerja sama strategis yang dibangun dalam kerangka BRICS, begitu juga halnya dengan pendalaman-pendalaman terhadap potensi sumber daya nasional yang diwujudkan dalam bentuk target-target permbangunan nasional seperti swasembada energi dan pangan nasional.

Dampak perang tarif

Dapat dimafhumi, bahwa kebijakan kenaikan tarif yang diberlakukan terhadap produk-produk dari Indonesia berpotensi mengganggu stabilitas perekonomian nasional. Kenaikan tarif secara teoretis akan berdampak pada turunnya volume perdagangan, sulitnya produk nasional untuk masuk ke pasar AS karena kurang kompetitif dibandingkan produk dari negara lain, turunnya devisa sebagai pendapatan negara, ekonomi biaya tinggi bagi para eksportir nasional, peningkatan biaya produksi dari para pelaku usaha, hingga yang paling terasa adalah potensi pemutusan hubungan kerja bagi tenaga kerja di sektor-sektor terkait. Namun demikian, dalam sirkumstansi yang sulit seperti saat ini, berpikir dengan kepala dingin dan taktis merupakan kunci untuk mendapatkan solusi jangka panjang. Tekanan yang diluncurkan AS melalui kenaikan tarif ini sejatinya dapat menjadi pemantik bagi Indonesia untuk mengoptimalkan kerja sama global south yang telah diinisiasi melalui komunitas BRICS, demikian pula halnya dapat berlaku sebagai pendorong untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya nasional demi menegasikan dependensi dan mewujudkan kemandirian ekonomi.

Hasil negosiasi antara delegasi Indonesia dengan US Trade Representative (USTR) dan US Secretary of Commerce menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia belum cukup berani untuk menunjukkan independensi atau kemandirian ekonomi. Diplomasi ekonomi yang dijalankan oleh delegasi Indonesia masih bersikap akomodatif dan menunjukkan kelemahan daya tawar Indonesia. Permintaan delegasi Indonesia agar komoditas ekspor unggulan Indonesia dikenakan tarif impor yang rendah harus dibayar mahal dengan komitmen Indonesia untuk menaikkan volume ekspor dari AS pada sektor energi dan agrikultur sebagai kompensasi. Hal ini secara otomatis menjadi penghambat terhadap komitmen pemerintah Indonesia untuk mewujudkan swasembada energi dan swasembada pangan nasional. Tak hanya itu, poin-poin negosiasi yang disodorkan oleh AS juga terkesan hendak menggerogoti transisi ekonomi Indonesia menjadi negara yang berdaulat secara ekonomi. AS secara eksplisit menyatakan keberatan terhadap kebijakan pemerintah Indonesia selama ini yang memberlakukan ambang batas TKDN di sektor manufaktur, penggunaan QRIS dan GPN dalam sistem pembayaran nasional, serta sertifikasi halal untuk produk-produk makanan.

Respons Indonesia

Menyikapi kebijakan AS yang menjadikan tarif perdagangan sebagai senjata geopolitik, pemerintah Indonesia perlu bersikap cermat dan terukur. Kepentingan nasional secara jangka panjang harus diletakkan sebagai orientasi yang harus selalu dijaga dan senantiasa untuk dicapai. Dalam konteks diplomasi, pemerintah Indonesia perlu bersikap cerdik dan taktis. Kemitraan strategis dalam berbagai forum global seperti ASEAN dan BRICS perlu dioptimalkan agar menjadi pasar-pasar baru untuk produk dan komoditas unggulan nasional. Indonesia perlu mengoptimalkan neraca perdagangan nasional dengan Brazil di sektor pertanian, Rusia di sektor energi dan pertahanan, India di sektor teknologi, Tiongkok di sektor industri garmen atau tekstil, dan Afrika Selatan di sektor tambang. Relasi perdagangan yang simetris dan mutualis dengan negara-negara Selatan tersebut berpotensi untuk menjadi pangsa pasar baru bagi produk-produk nasional yang berkontribusi terhadap aliran devisa dan bahkan penciptaan lapangan kerja yang masif di dalam negeri. Yang lebih prospektif, Indonesia dapat selangkah lebih maju apabila menerapkan mekanisme kerja sama Global South berbasis maritim, mengingat atribut nasional yang menjadi keunggulan Indonesia adalah penguasaan terhadap jalur-jalur perdagangan strategis dan bertaraf internasional.

Dari sisi kebijakan luar negeri, diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia harus mampu mendudukkan posisi Indonesia sebagai subjek internasional dan entitas politik yang setara dengan AS. Kebijakan kenaikan tarif tidak semata ditujukan pada Indonesia, tapi juga berlaku secara global. Intensi AS untuk merestrukturisasi sistem internasional dari multipolar semu menjadi unipolar perlu dicegah dan ditolak mentah-mentah. Rivalitas AS dan Tiongkok yang dimanifestasikan dalam bentuk perang dagang jangan sampai menjadi pusaran proksi yang menyeret negara-negara lain termasuk Indonesia untuk memilih; berdiri bersama AS atau Tiongkok. Dalam konteks ini, Indonesia perlu berkhidmat pada prinsip politik luar negeri yang bersifat bebas dan aktif, yang selama ini menjadi arah kebijakan nasional. Indonesia perlu menyampaikan pesan secara global bahwa tatanan dunia yang damai dan adil tetap menjadi objektif utama dalam politik luar negeri Indonesia, tidak semata-mata kepentingan nasional. Untuk dapat berlaku objektif, maka kemandirian nasional dengan pemanfaatan sumber daya nasional untuk menciptakan keunggulan komparatif dan kompetitif di perdagangan internasional menjadi kata kunci. **

Boy Anugerah

Pengamat Hubungan Internasional