Penggunaan Tempurung Kelapa untuk Penyajian Jamu Tradisional

Penggunaan Tempurung Kelapa untuk Penyajian Jamu Tradisional

TIDAK mau mengambil risiko terkena efek samping dari obat-obatan modern, dapat dikatakan sebagai salah satu penyebab jumlah konsumsi jamu terus meningkat. Masyarakat saat ini mulai kembali beralih menggunakan produk alami, sehingga banyak orang mengkonsumsi jamu tradisional untuk menjaga kesehatan tubuhnya. Jamu (herbal medicine) sebagai salah satu bentuk pengobatan tradisional, memegang peranan penting dalam pengobatan penduduk di negara berkembang. Diperkirakan sekitar 70 ± 80% populasi di negara berkembang memiliki ketergantungan pada obat tradisional (Wijesekera, 1991; Mahady, 2001). Di samping itu harus diakui bahwa pemasyarakatan pengetahuan akan khasiat berbagai jenis tumbuhan yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit yang ada, seperti yang disampaikan Prof Hembing, seolah telah membuka kesadaran masyarakat kita bahwa obat modern tidaklah segalanya bagi penyakit.

Jamu di Indonesia pertama kali muncul di lingkungan istana, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Dahulu resep jamu hanya dikenal di kalangan keraton dan tidak diperbolehkan keluar dari keraton. Sampai permulaan abad XX tradisi meracik jamu tersebut masih menjadi sesuatu yang ekslusif dan hanya dikerjakan oleh kalangan tertentu saja. Tetapi seiring perkembangan zaman, orang-orang lingkungan keraton mulai mengembangkan dan mengajarkan bagaimana meracik jamu kepada masyarakat di luar benteng keraton dan menyebar di seluruh wilayah di Jawa, sehingga keberadaan jamu sangat identik dengan masyarakat Jawa (Ardiyantika, 2014). Pelestarian jamu tradisional yang sudah ribuan tahun berkiprah menemani masyarakat bisa terhimpitkan seiring berjalannya waktu. Namun berbeda dengan Dusun Kiringan, hampir semua rumah masih memproduksi jamu sehingga dikenal sebagai “Dusun Jamu”.