Arti Penting Keakuratan Data Pertanahan

Arti Penting Keakuratan Data Pertanahan

SEBUAH disertasi di bidang pertanahan, ditulis oleh seorang praktisi, yakni Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Diawali dengan deskripsi perihal permasalahan sengketa tanah, masalah pendaftaran tanah, berlanjut pada pembahasan dan tawaran solusinya.

Berdasarkan data pada Kementerian ATR/BPN, bahwa salah satu akar permasalahan sengketa tanah adalah masalah bukti kepemilikan tanah. Menurut Laporan Kinerja Kementerian ATR/BPN Tahun 2020, hingga tahun 2020, terdapat 12.458 kasus sengketa tanah. Jenis sengketa tersebut beragam, seperti 90,8% sengketa terjadi antara perorangan dan perorangan, 4,4% perorangan dengan badan hukum, 2,5% masyarakat dengan Pemerintah/BUMN, 0,5% badan hukum dengan badan hukum, dan 1,8% antar-kelompok masyarakat.

Dalam Infrastructure Outlook 2022, terungkap bahwa jumlah tanah sengketa yang didaftarkan hampir mencapai 90 juta bidang tanah. Adapun tanah yang berkonflik mencapai 8.000 kasus. Data tersebut mengalami penurunan dari tahun 2021. Akan tetapi jika merujuk pada keseluruhan jumlah sengketa, dapat dinyatakan bahwa jumlah sengketa masih sangat banyak. Inilah permasalahan, sekaligus pekerjaan rumah, yang perlu mendapatkan perhatian serius.

Maraknya sengketa pertanahan menngindikasikan adanya masalah keakuratan data pertanahan. Oleh karenanya, demi terwujudnya jaminan dan perlindungan hukum terhadap pemilik hak atas tanah, sistem administrasi pertanahan perlu dikaji ulang dan disempurnakan.

Oleh promovendus dikemukakan contoh kasus. Dalam kasus sengketa kepemilikan tanah antara pemegang sertipikat hasil redistribusi tanah dengan pemegang C1 (rincik) di Kelurahan Parang Loe Kota Makassar, di mana pemilik tanah pemegang sertipikat hak milik atas tanah, dibatalkan kepemilikan sertipikatnya atas gugatan dari pemegang C1 (rincik). Hal ini membuktikan bahwa sertipikat yang telah diterbitkan oleh pemerintah dapat dibatalkan, dan hal demikian menjadi bukti bahwa sertipikat yang diterbitkan oleh pemerintah tidak sepenuhnya menjamin kepastian hukum, khususnya bagi pemegang hak atas tanah.

Berbagai kasus pertanahan lainnya menunjukkan, adanya indikasi bahwa sistem pendaftaran tanah masih bermasalah. Sistem dimaksud adalah sistem pendaftaran negatif, bertendensi positif. Dalam sistem ini, pemerintah cq. Kantor Pertanahan, tidak bertanggung jawab terhadap data dan informasi yang tercantum dalam sertipikat. Pemerintah tidak menjamin kepastian hukum sertipikat sebagai bukti hak atas tanah.

Amat disayangkan bahwa pelayanan pendaftaran hak atas tanah masih dilakukan secara manual, berbelit-belit, lama, mahal, dan tidak transparan. Hal tersebut, bertentangan dengan asas-asas pendaftaran tanah, yaitu: sederhana, aman, terjangkau, mutakhir, dan terbuka.

BPN sebagai lembaga yang bertanggung jawab pada administrasi pertanahan, baik pada pendaftaran tanah untuk pertama kali, maupun pendaftaran pemeliharaan data, dituntut untuk menciptakan sistem yang mampu memberikan jaminan kepastian hukum kepemilikan hak atas tanah, pelayanan efisien, biaya murah, dan transparansi data.

Untuk diketahui, sejak diterbitkannya Permen ATR/BPN No.5 Tahun 2017, Kantor Pertanahan sebagai lembaga vertikal, telah melaksanakan layanan informasi pertanahan secara elektronik, berupa aplikasi layanan informasi pertanahan dengan sistem digital (online). Sejak saat itu, telah ada upaya memperbaiki pelayanan pendaftaran tanah, agar dihasilkan sertipikat yang memberikan rasa aman dan jaminan kepastian hukum.

Sebagai seorang praktisi, promovendus menjumpai realitas empiris, bahwa layanan informasi pertanahan secara elektronik tersebut dalam pelaksanaannya masih jauh dari ideal. Pelayanan yang diberikan masih sebatas pendaftaran perubahan data dan informasi pertanahan, berupa: pemetaan, pengecekan sertipikat, surat keterangan pendaftaran tanah. Sementara itu, untuk proses pendaftaran pemeliharaan data, masih dilakukan secara manual. Akibatnya, pemohon (atau kuasanya) masih harus berinteraksi langsung dengan pelayanan pada Kantor Pertanahan untuk penyerahan dokumen pemeliharaan data pendaftaran tanah. Hal ini memberikan indikasi bahwa pelaksanaan peraturan tersebut, belum sesuai dengan asas-asas pendaftaran tanah yang diatur dalam PP No.24 Tahun 1997. 

Atas dasar realitas empiris itu, maka administrasi pertanahan perlu disempurnakan, khususnya pemeliharaan data dari hasil pendaftaran tanah. Hendaknya dipahami bahwa administrasi pemeliharaan data pertanahan, bukan hanya sekadar mencocokkan data fisik dan data yuridis, tetapi merupakan rangkaian kegiatan komperhensif dan berkelanjutan, dengan melibatkan instansi-instansi lain yang terkait. Keseluruhannya, demi terwujudnya data pertanahan yang akurat (valid), dan benar secara materiil. Keakuratan data pertanahan itu amat penting, dan menjadi prasyarat terwujudnya kepastian hukum. Tanpa keakuratan data, mustahil diwujudkan kepastian hukum. Alih-alih perlindungan hukum, justru karena ketidakakuratan data pertanahan, maka sengketa-sengketa tanah bermunculan. Banyak orang-orang jujur menjadi korban, kehilangan tanahnya, karena data pertanahan dimainkan oleh mafia tanah. Inilah realitas empiris yang dijumpai dalam penelitian di berbagai wilayah di Indonesia.

Untuk mewujudkan keakuratan data pertanahan, oleh promovendus ditawarkan solusi, yakni: penggunaan teknologi berbasis elektronik terintegrasi. Dengan sistem ini, keakuratan data dan seluruh dokumen pertanahan, tersimpan dengan aman dalam data base atau pangkalan data. Data pertanahan senantiasa terkontrol melalui sistem, sehingga tidak mudah dimain-mainkan (dimanipulasikan) oleh mafia tanah. Selanjutnya, berdasarkan keakuratan data pertanahan, dapat diberikan pelayanan prima, cepat, transparan, akurat, tentang data yang diperlukan oleh masyarakat, ataupun instansi lain.

Konsep ideal yang ditawarkan sebagai solusi tersebut, menurut promovendus akan terwujud bila: (1) dilakukan revitalisasi sistem pendaftaran tanah dengan publikasi positif; (2) perbaikan data base sistem pendaftaran tanah; (3) pemeliharaan data pertanahan melalui penggunaan teknologi berbasis elektronik terintegrasi. Terkait dengan tawaran solusi itu direkomendasikan agar segera dikaji ulang pendaftaran tanah manual dalam PP No. 24 Tahun 1997, untuk kemudian disusun peraturan perundangan baru yang mengatur tentang pendaftaran tanah dengan sistem elektronik terintegrasi. Wallahu’alam. **

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, SH, M.Si.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM