Hukum dan Nikmat Kehidupan

Oleh: Sudjito Atmoredjo

SATJIPTO Rahardjo (2000) mengajarkan, bahwa hukum itu untuk manusia. Dalam pengertian demikian, hukum hendaknya dibuat, dilaksanakan dan ditegakkan, demi manusia, agar manusia dapat memperoleh kenikmatan hidup secara optimal, sekaligus terjauhkan dari azab/penderitaan, sekecil apapun. Jangan sekali-kali hukum justru diadakan dan digunakan sebagai alat untuk mencelakakan atau mencari-cari kesalahan manusia lain. Dalam perspektif filsafat Pancasila, hukum nir kemanusiaan itu amat ditabukan.

Hukum dan Nikmat Kehidupan

SATJIPTO Rahardjo (2000) mengajarkan, bahwa hukum itu untuk manusia. Dalam pengertian demikian, hukum hendaknya dibuat, dilaksanakan dan ditegakkan, demi manusia, agar manusia dapat memperoleh kenikmatan hidup secara optimal, sekaligus terjauhkan dari azab/penderitaan, sekecil apapun. Jangan sekali-kali hukum justru diadakan dan digunakan sebagai alat untuk mencelakakan atau mencari-cari kesalahan manusia lain. Dalam perspektif filsafat Pancasila, hukum nir kemanusiaan itu amat ditabukan.

Dalam ranah hidup dan kehidupan, antara nikmat dan azab, keduanya bisa hadir pada setiap manusia. Kehadirannya bisa silih berganti. Frekuensi dan kerentanan kehadirannya, sangat ditentukan oleh manusia sendiri dalam menyikapi berbagai aspek kehidupan.

Dalam bahasa hukum yang amat halus, telah dipermaklumkan oleh Allah swt, bahwa seungguhnya, jika manusia bersyukur atas nikmat Allah, dijanjikanNya, nikmat itu akan ditambah dan dilipatgandakan. Dalam pada itu, kalau manusia ternyata dusta, kufur, ingkar atas nikmat-nikmat yang telah dikaruniakanNya, pastilah azab pedih, penderitaan, kehinaan, dan kesengsaraan hidup akan menimpanya.

Dari permakluman tersebut, tersirat petunjuk, arahan, dan pesan moral bahwa untuk menggapai nikmat kehidupan, hanya ada dua pilihan. Syukur atau kufur. Kiranya tidak sulit untuk menentukan pilihan atas dua alternatif itu. Akal sehat, pastilah membimbingnya untuk memilih bersyukur. Sungguh amat bodoh dan amat rugi, bila ternyata karena sesuatu sebab, manusia salah pilih, bukan bersyukur, melainkan justru ingkar terhadap nikmat Allah tersebut.

Dalam ranah hukum, setiap pilihan, senantiasa berkonsekuensi pada akibat hukum. Nikmat dan azab itu akibat hukum. Di situlah hukum berkorespondensi dengan keadilan, keseimbangan, dan proporsionalitas. Seberapa kadar kesyukuran atau kekufuran, masing-masing akan berkonsekuensi pada kadar kenikmatan ataupun kadar azab.

Perihal kadar kualitas, kuantitas, macam-ragam dari nikmat, telah dipermaklumkan oleh Allah secara langsung dalam firmanNya: “Wa in ta'uddụ ni'matallāhi lā tuḥṣụhā, innallāha lagafụrur raḥīm”. Artinya, “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS al-Nahl: 18)

Walau kenikmatan hidup itu sedemikian luas, banyak dan beragam, akan tetapi teramat mudah bagi setiap manusia untuk merasakannya. Ambil contoh, nikmat sehat. Nikmat kehidupan paling nikmat di dunia ini adalah nikmat sehat. Ada ungkapan, “berkat sehat, tidur menjadi nyenyak, makan pun serba enak”. Secara empiris, apa pun yang kita miliki di dunia – harta, tahta, gelar, popularitas, dan lain sebagainya - tak akan bisa dinikmati, jika pemiliknya sakit (tidak sehat).

Nikmat sehat bukanlah suatu kemewahan seperti emas dan perak, jabatan dan popularitas. Nikmat sehat merupakan mahkota tubuh, mahkota jiwa-raga. Saat seseorang terbaring karena sakit, pastilah muncul kesadaran bahwa kesehatan itu sangat berharga. Penyesalan tiadalah berguna, ketika orang mengabaikan kesehatan dirinya pada saat-saat sebelumnya. Sikap abai terhadap kesehatan identik dengan rajin  menabung masalah untuk masa depannya.

Sedemikian tinggi nilai nikmat sehat itu, hingga Rasulullah saw memberikan gambaran dalam sabdanya: “Siapa saja di antara kalian masuk waktu pagi dalam keadaan sehat badannya, aman dalam rumahnya, punya makanan pokok pada hari itu, maka seolah-olah seluruh dunia dikumpulkan untuknya.” (HR Ibnu Majah).

Dalam perspektif sosiologi hukum, dalam hadist itu terdapat pesan moralitas-religius, agar setiap manusia menjaga dan merawat kesehatannya. Pesan moral demikian, menjadi salah satu asas dari lima prisip-prinsip pengamalan hukum.

Pertama, kewajiban setiap manusia untuk menegakkan hukum agama. Agama itu tiang kehidupan. Kehidupan akan terasakan sebagai nikmat bila hukum ditaati secara utuh dan menyeluruh. Jauhi dan tabukan pemberlakuan hukum sekuler.

Kedua, setiap manusia wajib memeliharaan kesehatannya, lahir maupun batin. Sungguh dilarang, siapa pun melakukan tindakan yang membahayakan kesehatan atau keselamatan jiwa-raga. Justru diperintahkan agar jiwa-raga perlu dirawat, jangan sampai rusak, jangan sampai sakit (tidak sehat).

Ketiga, setiap manusia wajib memelihara akal-sehatnya. Akal, sebagai karuniaNya, hanya bermakna dalam hidup ini, bila akal digunakan secara benar, sesuai dengan kendali kalbu. Tabukan penggunaan akal atas dominasi nafsu.

Keempat, setiap manusia (khususnya yang sudah berkeluarga) wajib senantiasa memelihara diri dan keluarganya dari azab neraka. Di sinilah kesehatan bukan sekadar urusan diri pribadi, melainkan terentang luas hingga aspek sosial (keluarga, masyarakat, dan bangsa). Kesehatan pada seluruh aspek kehidupan itu hendaknya menjadi perhatian bersama.

Ke lima, kesehatan harta-benda. Dalam pengertian ini, hanya harta-benda halal, yang dicari, dan dikonsumsi, hingga manfaatnya berkah bagi kesehatan jiwa dan raga manusianya. Demi kebersihan dan kehalalan harta-benda, maka diwajibkan daripadanya dikeluarkan zakat mal, sesuai syariatnya.

Nikmat kehidupan akan hadir ketika hukum diamalkan atas dasar niat dan kesadaran, serta demi keharmonisan hidup sepanjang hayat. Nikmat kehidupan itu kalaupun masih sering terselubung atau tersembunyi, tetapi pastilah pada saat yang tepat akan hadir, menghiasi jiwa-raga. Secara puitis, saat dimaksud adalah ketika angin bertiup menebar kabar kesejukan; ketika bibir mampu bicara soal masa lalu, masa kini, dan masa depan; saat ketika mata mampu melihat alam terbentang sebagai keindahan; saat ketika manusia sibuk berlomba-lomba dalam amal kebajikan.

Nyatalah, hukum dan nikmat kehidupan bukanlah barang yang terpisah dan masing-masing terisolasi dalam wadah tersendiri. Keduanya, tertanam dalam kehidupan pribadi, masyarakat, dan bangsa. Benih-benih kebajikan, akan tumbuh berkembang menjadi pohon kehidupan yang berdahan-ranting, serta berbuah pada nikmatnya hidup bersama.

Dari waktu ke waktu, hukum dan nikmat kehidupan senantiasa berkelindan. Kadang pasang, kadang surut, bahkan hampa. Seluruhnya merupakan gambaran dinamika perilaku manusia dalam menjalani dan memaknai kehidupan secara utuh, menyeluruh, dari dunia hingga akhirat. Renungkanlah. Wallahu’alam. **

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM