Urgensi Kepemimpinan Digital dalam Pilkada
Oleh: Boy Anugerah
Penyelenggaraan Pemilu 2024 di Indonesia menjadi momen yang paling tepat dalam pengimplementasian kepemimpinan digital. Para pemangku kepentingan Pemilu seperti KPU, Bawaslu, DKPP, dan aparat penegak hukum membutuhkan asistensi teknologi digital untuk memudahkan kerja dan mendukung kinerja mereka secara optimal. Hal tersebut hanya akan dapat terwujud apabila sumber daya manusia pada masing-masing lembaga tersebut memiliki kesadaran (awareness) dan kapasitas (capacity) untuk memanfaatkan instrumen teknologi yang tersedia. Pemilu di Indonesia sendiri memiliki tantangan yang tak mudah, yang mana tantangan tersebut hanya dapat direspons dan dimanajemen dengan baik melalui pemanfaatan teknologi Pemilu yang memadai. Sedikitnya ada tiga tantangan yang dihadapi Pemilu di Indonesia.
KEMAJUAN di bidang teknologi informasi dan komunikasi yang dicirikan dengan digitalisasi dan otomasi di segala bidang kehidupan, telah memberikan dampak yang signifikan terhadap praktik kepemimpinan nasional. Kepemimpinan nasional, mulai dari jenjang presiden hingga level kepala daerah, tidak bisa lagi dijalankan dengan praktik-praktik konvensional. Kepemimpinan digital (digital leadership) menjadi karakteristik kepemimpinan yang dibutuhkan untuk mencapai efektivitas dan efisiensi tujuan. Momen penyelenggaraan Pilkada serentak pada November 2024 nanti diharapkan dapat menjadi momentum bagi artikulasi kepemimpinan digital secara optimal untuk menyukseskan pesta demokrasi bagi rakyat.
Definisi
Kepemimpinan digital adalah corak baru kepemimpinan pada era modern. Kepemimpinan jenis ini dimaknai sebagai bentuk kepemimpinan yang mengakomodasi fenomena sosial budaya di masyarakat, yang ditandai dengan masifnya penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Globalisasi yang menghadirkan disrupsi di segala bidang kehidupan tidak bisa direspons dengan cara-cara konvensional. Selain berpeluang menghasilkan kinerja yang tidak efektif dan efisien, juga dapat menurunkan daya saing. Sebagai analogi sederhana, pada masa lalu, seorang pemimpin biasanya mengumpulkan massa di lapangan besar untuk penyampaian visi misi dan gagasan. Dewasa ini, hal tersebut kurang relevan. Penyampaian ide dan gagasan lebih efektif melalui kanal elektronik seperti media sosial untuk menjangkau audiens yang lebih besar.
Penyelenggaraan Pemilu 2024 di Indonesia menjadi momen yang paling tepat dalam pengimplementasian kepemimpinan digital. Para pemangku kepentingan Pemilu seperti KPU, Bawaslu, DKPP, dan aparat penegak hukum membutuhkan asistensi teknologi digital untuk memudahkan kerja dan mendukung kinerja mereka secara optimal. Hal tersebut hanya akan dapat terwujud apabila sumber daya manusia pada masing-masing lembaga tersebut memiliki kesadaran (awareness) dan kapasitas (capacity) untuk memanfaatkan instrumen teknologi yang tersedia. Pemilu di Indonesia sendiri memiliki tantangan yang tak mudah, yang mana tantangan tersebut hanya dapat direspons dan dimanajemen dengan baik melalui pemanfaatan teknologi Pemilu yang memadai. Sedikitnya ada tiga tantangan yang dihadapi Pemilu di Indonesia.
Pertama, Pemilu 2024 yang diselenggarakan secara serentak antara Pilpres dan Pileg merupakan Pemilu tebesar di dunia. Pada gelaran kedua Pemilu Februari lalu, jumlah pemilih mencapai lebih dari 200 juta voters. Partisipasi politik pemilih pun mencapai lebih dari 80 persen. Kedua, pada DPT KPU, jumlah pemilih yang masuk kategori pemilih generasi milenial dan generasi z mencapai lebih dari 50 persen dari total DPT. Pemilih muda ini memiliki karakteristik unik, yakni sangat peka dan terasosiasi dengan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Ketiga, rezim keserentakan Pemilu antara Pilpres dan Pileg merupakan rezim pertama kali yang diselenggarakan di Indonesia. Hal ini tentu menghadirkan tantangan yang tidak mudah bagi penyelenggara Pemilu. Proses kerja yang efektif, efisien, dan berpijak pada problem solving mutlak harus dipenuhi.
Bentuk kepemimpinan digital pada Pilpres dan Pileg Februari lalu dimanifestasikan dalam banyak bentuk. Penyusunan DPT dilakukan dengan merujuk KTP pemilih yang telah diformalisasi dalam bentuk elektronik, sehingga datanya bersifat terintegrasi. Para pemilih akan memilih berdasarkan alamat tetap mereka pada KTP, kecuali dalam kasus-kasus khusus, maka mekanisme pemilihan dilakukan melalui skema alternatif yang disediakan oleh KPU. Pendaftaraan partai politik dan kontestan Pemilu juga dilakukan melalui metode digitalisasi. Salah satunya adalah SIPOL, singkatan dari Sistem Informasi Partai Politik, sebuah aplikasi yang dikembangkan oleh KPU untuk membantu mendata partai politik dan anggotanya yang tersebar di seluruh Indonesia. Selain itu, ada juga aplikasi SIREKAP, yang sedianya diharapkan memberikan asistensi kepada penyelenggara dan kontestan Pemilu, untuk memonitoring perolehan suara kontestan di setiap jenjang Pemilu. Aktualisasi kepemimpinan digital juga dilakukan oleh para calon yang memanfaatkan media sosial, untuk penyampaian visi misi dan gagasan kepada masyarakat.
Kelemahan
Pelaksanaan digital leadership pada Pilpres dan Pileg 2024 kemarin memang bisa disebut berjalan, baik dari sisi konsepsi maupun implementasi di lapangan oleh semua jenjang pemangku kepentingan. Namun demikian, tidak dimungkiri bahwa hasilnya belum optimal, untuk tidak menyebut banyak kekurangan yang harus dibenahi. Yang paling mencolok adalah kebocoran data pemilih dan tidak berfungsinya aplikasi SIREKAP. Kebocoran data pemilih merupakan kasus yang cukup fatal karena data pemilih (DPT) merupakan gambaran demografis dan sosioekonomi riil masyarakat Indonesia, yang bukan untuk konsumsi pihak luar. Yang perlu digarisbawahi, kasus ini merupakan cermin belum berdaulatnya kita akan data yang kita miliki. Hal ini serupa dengan kasus peretasan data pada PDNS yang berujung pemerasan kepada pemerintah baru-baru ini. Kemudian dalam kasus SIREKAP, fungsi asistensi untuk mendukung transparansi dan akuntabilitas Pemilu menjadi sirna, ketika SIREKAP tidak berfungsi. Akibatnya, baik para penyelenggara Pemilu maupun kontestan Pemilu harus kembali ke cara-cara konvensional untuk mengamankan suara.
Persoalan klasik di tiap gelaran Pemilu juga masih terjadi pada Pilpres dan Pileg lalu. Meskipun gelombangnya tidak sekuat pada Pilpres 2014 dan 2019 yang lalu, media sosial masih menjadi sasaran empuk bagi hoaks, ujaran kebencian, dan kampanye negatif oleh pihak-pihak yang belum dewasa dalam ber-Pemilu. Hal ini koinsiden dengan literasi digital politik masyarakat yang belum meningkat. Alhasil, masih ada kelompok-kelompok di masyarakat yang mudah digiring opininya, menjadi objek propaganda pihak-pihak yang takut untuk bersaing secara sehat pada Pemilu. Tentunya ini menjadi catatan serius bagi para pemangku kepentingan Pemilu seperti KPU dan Bawaslu untuk melakukan pencermatan secara saksama di media sosial. Jangan sampai hal tersebut mencederai esensi Pemilu sebagai pesta demokrasi.
Upaya korektif
Belum optimalnya praksis kepemimpinan digital oleh para pemangku kepentingan Pemilu pada Pilpres dan Pileg kemarin, harus segera dibenahi. Pelaksanaan Pilkada serentak pada November nanti harus dijalankan secara lebih baik. Teknologi digital yang digunakan untuk mendukung kerja dan kinerja Pemilu harus dioperasikan secara lebih cermat dan hati-hati, serta memitigasi kekurangan yang ada. Dari gelaran Pemilu pada Februari lalu, ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama, perkuat keamanan siber dalam penyelenggaraan Pemilu. Kebocoran data dan peretasan jangan sampai terulang. Kedua, Polri, BSSN, dan Kemenkominfo RI perlu melakukan patroli siber secara masif untuk mencegah dan menindak para pelaku hoaks dan ujaran kebencian di media sosial. Ketiga, KPU harus mampu menjamin dan bertanggung jawab atas kesiapan operasionalisasi aplikasi-aplikasi penunjang Pemilu. Jangan sampai keberadaan aplikasi-aplikasi yang menggunakan uang rakyat tersebut tidak memberikan nilai manfaat sama sekali. Keempat, perkuat liiterasi digital masyarakat agar tidak mudah menjadi komodifikasi dan objek pecah belah oknum yang tidak bertanggung jawab di media sosial. Terakhir, dibutuhkan partisipasi aktif masyarakat sipil seperti pers dan lembaga survei untuk bersikap non-partisan dalam penyelenggaraan Pemilu melalui produksi karya yang jujur dan beretika. (*)
Boy Anugerah, SIP., MSI., MPP.,
Tenaga Ahli di MPR RI