Tanpa Euforia, Sanggar Anak Alam Gelar Refleksi Usia Perak

Kami ingin memberikan kritik terhadap dunia pendidikan, termasuk diri kami sendiri.

Tanpa Euforia, Sanggar Anak Alam Gelar Refleksi Usia Perak
Para orang tua mempersiapkan peringatan ulang tahun ke 25 Sanggar Anak Alam Nitiprayan Yogyakarta. (istimewa)

KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Alih-alih merayakan dengan gegap gempita layaknya pesta ulang tahun umumnya, Sanggar Anak Alam (SALAM) Nitiprayan Bantul justru memilih untuk "bertanya" dan "merenung" pada usia peraknya yang ke-25 tahun.

Komunitas yang menyebut diri sebagai sekolah keluarga dan laboratorium kehidupan ini akan menggelar rangkaian perayaan bertema provokatif: Robohnya Sekolah Rakyat Kami.

"Kami sengaja tidak merayakan dengan euforia. Justru di usia 25 tahun ini, kami ingin menggunakan momentum untuk introspeksi dan memberikan kritik terhadap dunia pendidikan, termasuk diri kami sendiri," ungkap Agus Setyo Bomo, Ketua Panitia Perayaan Ulang Tahun SALAM ke-25 melalui keterangan tertulisnya, Selasa (17/6/2025).

Tema yang diambil dari judul buku novel legendaris AA Navis Robohnya Surau Kami ini bukan tanpa alasan. Menurut Agus, setelah 25 tahun berkecimpung di dunia pendidikan alternatif, SALAM merasa perlu jujur mengakui bahwa jalan yang mereka tempuh tidaklah mulus dan tanpa hambatan.

Pasar pangan

Rangkaian acara yang akan berlangsung 18-20 Juni 2025 di Nitiprayan Bantul, sengaja dirancang untuk menunjukkan keberpihakan SALAM di dunia pendidikan. Mulai dari Pasar Pangan Sehat yang mengkampanyekan kedaulatan pangan, hingga Sarasehan Pendidikan Alternatif yang mempertemukan para praktisi pendidikan seperti Iwan Syahrir (Global Advisory Council do Teach For All), Ibe Karyanto (Sanggar Anak Akar), Bambang Wisudo (Sekolah Tanpa Batas) dan Sri Wahyaningsih (Sanggar Anak Alam).

"Pasar Pangan Sehat bukan sekadar bazar biasa. Kami kurasi pelapak-pelapaknya agar hanya menyediakan produk bahan mentah dan olahan pangan yang sehat, beragam dan dikemas ramah lingkungan," jelas Agus.

Yang tak kalah menarik, rangkaian acara juga menampilkan suara anak-anak melalui pementasan teater kolaborasi kelas minat SALAM. "Kami tidak ingin acara ini didominasi orang dewasa. Anak-anak juga punya kritik dan pandangan mereka tentang pendidikan," tambahnya.

SALAM memiliki konsep unik tentang "sekolah rakyat"  yaitu sekolah dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Menurut filosofi mereka, sekolah rakyat ditopang oleh empat saka guru terdiri orang tua, penyelenggara sekolah, masyarakat dan anak.

Dari pengamatan

"Ketiadaan salah satu saka guru saja, maka akan robohlah sekolah rakyat kami. Itulah yang kami maksud dengan 'robohnya sekolah rakyat'," ungkap Agus menjelaskan makna tema perayaan.

Keprihatinan SALAM muncul dari pengamatan mereka terhadap praktik pendidikan saat ini. Apakah pendidikan hari ini sudah berfungsi sebagai alat pembebasan manusia? Tidakkah pendidikan kini terjebak pada urusan administratif semata? Adakah guru dan murid berada dalam posisi setara dengan ruang belajar yang memadai, bukan sekadar persiapan ujian?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis tersebut, SALAM menyelenggarakan berbagai workshop yang diampu langsung oleh siswa SALAM dengan riset mereka, orang tua SALAM dengan kepakarannya, serta kerabat SALAM dengan isu pertanian.

Puncak acara akan ditutup dengan Tawasulan dan Sinau Bareng bersama Kiai Kanjeng & Sabrang Mowo Damar Panuluh (Noe Letto) sebagai wujud syukur atas perjalanan SALAM dan harapan keberlanjutan ke depan.

Tawaran baru

"SALAM percaya bahwa pendidikan seharusnya membebaskan dan mencerahkan. Di usia 25 tahun ini, kami ingin menunjukkan apa yang telah kami lakukan selama seperempat abad, sekaligus memberikan tawaran baru kepada masyarakat luas," kata Agus.

Rangkaian perayaan 25 tahun SALAM berlangsung tiga hari berturut-turut dan terbuka untuk umum. Bagi mereka yang tertarik dengan pendidikan alternatif, momen ini menjadi kesempatan emas untuk melihat langsung praktik pendidikan yang membebaskan ala SALAM. (*)