UUPA, Rempang, dan Amanah Kebangsaan
Oleh: Sudjito Atmoredjo
Warga Rempang (dan nasionalis lainnya), bertanya-tanya, investasi itu untuk kepentingan siapa? Mengapa rakyat disingkirkan? Padahal, kedaulatan atas tanah air di tangan rakyat. Bukan di tangan penguasa. Mestinya, investasi didesain sesuai dengan jiwa UUPA. Bila ada kasus, diselesaikan berdasarkan hukum agraria nasional. Bukan berdasarkan kekuasaan.
PADA tanggal 24 September 2023, UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) berusia 63 tahun. Salah satu pertimbangan dibuatnya UUPA adalah agar hukum agraria di alam kemerdekaan merupakan alat penting untuk membangun masyarakat adil dan makmur. Untuk itu, maka hukum agraria ”lama” yang tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi pemerintah jajahan, diganti dengan hukum agraria nasional sebagai wujud penjelmaan cita-cita kemerdekaan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila.
Apa yang terjadi akhir-akhir ini? Dalam banyak hal, UUPA justru dilupakan, disingkirkan. Pada kasus Rempang (dan kasus-kasus lain serupa), terindikasi ada inkonsistensi (bahkan kontradiksi) antara visi dibuatnya UUPA dengan praktik investasi. Pemerintah tanpa hirau terhadap UUPA, bersikeras, investasi harus jalan. Tak boleh dihalangi siapa pun.
Warga Rempang (dan nasionalis lainnya), bertanya-tanya, investasi itu untuk kepentingan siapa? Mengapa rakyat disingkirkan? Padahal, kedaulatan atas tanah air di tangan rakyat. Bukan di tangan penguasa. Mestinya, investasi didesain sesuai dengan jiwa UUPA. Bila ada kasus, diselesaikan berdasarkan hukum agraria nasional. Bukan berdasarkan kekuasaan.
Tersirat pada Pasal 1 UUPA, bahwa bangsa Indonesia berdaulat penuh atas wilayah negaranya. Bangsa adalah kesatuan dari seluruh rakyat. Keberadaan bangsa adalah sebagai pendukung (unsur) terbentuknya Negara. Adapun yang dimaksud wilayah mencakup: bumi, air, ruang-angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dari Sabang hingga Merauke. Objek sedemikian luas itu dalam ranah akademik disebut agraria.
Bangsa Indonesia, dan wilayah negaranya, adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa. Hubungan berbagai entitas itu bersifat abadi. Artinya, selama bangsa, tanah, air, ruang-angkasa, dan Negara masih ada, maka hubungan itu terus berlangsung, termanifestasikan dalam bentuk kedaulatan. Konsekuensinya, sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, alinea ke-4, maka: (1) Pemerintah wajib melindungi bangsa dan seluruh wilayahnya, serta-merta menjaga kelestariannya, dan mengelolanya untuk sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat; (2) Menolak segala bentuk penjajahan/kolonialisasi bangsa lain terhadap Negara Indonesia.
Amanah kebangsaan dalam UUPA itu, secara legal-filosofis maupun legal-positivis, benar, sah, masih berlaku. Tiada cacat barang sedikit pun. Karenanya, wajib ditunaikan secara konsisten. Pekerjaan rumah bagi seluruh komponen bangsa (warga Negara maupun penyelenggara Negara) adalah mengaktualisasikan secara konsisten amanah kebangsaan itu ke dalam sistem hukum nasional dan praktik kenegaraan. Artinya, segala aktivitas, tanggung jawab penyelenggaraan Negara, wajib diorientasikan demi terwujudnya kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat secara merata. Caranya, dengan mensistemasikan seluruh norma-norma dan perilaku hukum, agar sinkron, implementatif, dengan jiwa UUPA.
Di dalam Pasal 13 ayat (1 dan 2) UUPA, Pemerintah diamanahkan agar mendesain usaha-usaha dalam lapangan agraria sedemikian rupa, hingga daripadanya diperoleh produksi tinggi dan kemakmuran rakyat. Diamanahkan pula untuk memberi jaminan bagi setiap warga negara, derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Dalam konteks demikian, wajib dilakukan pencegahan terhadap usaha-usaha suatu organisasi-organisasi dan perseorangan, yang bersifat monopoli swasta.
Dalam skala lebih luas, ada amanah agar dibuat agrarian planning, dari tingkat pusat (nasional) hingga daerah-daerah (provinsi, kabupaten/kota). Dalam agrarian planning, diatur persediaan, peruntukan, dan penggunaan bumi, air, serta ruang angkasa, secara menyeluruh dan terpadu. Agrarian planning - sebagai dokumen - difungsikan untuk sarana perwujudan sosialisme Indonesia. Tercakup di dalamnya ketersediaan tanah-tanah untuk keperluan negara, keperluan peribadatan, keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan, keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan, keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan (Pasal 14 UUPA).
Sayang. Berseiring dengan pergantian rezim pemerintahan, belum pernah terlihat ada upaya sungguh-sungguh, komprehensif, dan sistemik, untuk menunaikan amanah kebangsaan itu. Dulu, pernah ada program green growth economy (pertumbuhan ekonomi hijau). Program itu terakomodasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Di situ, ada kebijakan bauran antara substansi, kelembagaan, dan pembiayaan ekonomi. Tercakup upaya-upaya pengintegrasian sektor industri ekonomi, dengan penggunaan sumber daya alam, pengurangan polusi, dan mitigasi bencana akibat perubahan iklim. Tolok ukur keberhasilan program adalah kehidupan masyarakat menjadi lebih makmur, lebih sejahtera, dibandingkan sebelumnya.
Kini, program green growth economy tidak jelas juntrungnya. Bagus dalam konsep, tetapi amburadul pada ranah implementasi. Mengapa terjadi? Dari banyak studi ditemukan indikasi, karena program-program ekonomi konvensional (kapitalis) lebih diunggulkan oleh pemerintah. Karakter populis pada UUPA, tidak dijabarkan ke dalam norma hukum maupun perilaku ekonomi. Keberpihakan terhadap ekonomi kapitalistik, dan serta-merta penganaktirian green growth economy merupakan bukti nyata bahwa aktualisasi amanah kebangsaan masih jauh panggung dari api.
Hemat saya, aktualisasi amanah kebangsaan dalam UUPA wajib dilakukan berdasarkan asas-asas berikut:
Pertama, asas kesadaran kolektif bahwa aktualisasi amanah kebangsaan mesti didasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Sikap dan perilaku, berawal dari niat baik untuk menggapai ridha Tuhan Yang Maha Esa, dan demi kejayaan negeri. Tiada ucapan dan perbuatan kecuali sungguh-sungguh, konsisten, demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kedua, asas penolakan ajaran kosmopolitisme. Adalah tidak benar dan tendensius, kalau orang-orang Tionghoa mengatakan tidak ada asas kebangsaan, dan hanya ada asas warga dunia serta perikemanusiaan. Sejak tahun 1945, pernyataan itu sudah dibantah oleh Bung Karno. Bantahan itu, sampai sekarang masih relevan untuk menghadapi maraknya orang-orang Tionghoa ke Indonesia akhir-akhir ini.
Ketiga, asas kepekaan sosial-kebangsaan. Penyelenggara negara, mesti peka terhadap penderitaan rakyat. Mampu mengendalikan diri hidup berfoya-foya. Ikut-serta berkontribusi dalam pemberantasan kemiskinan. Bertekad dan semangat menjaga harga diri bangsa dan kedaulatan negara.
Keempat, asas kekompakan. Realitas empiris mengindikasikan bahwa bangsa ini dirundung malang, karena mismanajemen pemerintahan. Akibatnya, bangsa terpecah-belah. Negara terjerat utang dan tuna kedaulatan. Bila hukum agraria nasional diimplementasikan sebagai simponi kehidupan, didendangkan sedemikian kompak, pastilah kasus Rempang terselesaikan secara damai. Muncul keharmonisan. Semua insyaf, bangkit, bersemangat melepaskan diri dari belenggu oligarkhi dan neokolonialisme. Seluruhnya, bersatu-padu, cancut tali wanda, memulihkan kedaulatan bangsa atas sumber daya alam di seluruh wilayah negeri. Wallahu’alam. ***
Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.
Guru Besar Ilmu Hukum UGM