Belenggu Plagiarisme dan Kampus Jujur

Belenggu Plagiarisme dan Kampus Jujur

HARI Kamis (28/1/2021) menjadi catatan hidup paling impresif bagi Muryanto Amin. Angka di atas menunjukkan waktu penanda dirinya dilantik oleh Ketua Majelis Wali Amanat Universitas Sumatera Utara (MWA USU) sebagai Rektor USU ke-16 periode 2021-2026 di Jakarta.

Betapa sosok Muryanto Amin yang sebelumnya menjabat Dekan FISIP USU itu seolah menjadi bulan-bulanan dari pihak yang bersepakat untuk tidak sepakat atas pelantikan rektor terpilih USU tersebut.

Ketidakhadiran Gubernur Sumatera Utara dan absennya 9 anggota MWA bagian bukti Muryanto Amin tak mendapatkan dukungan sepenuhnya secara internal. Namun demikian, anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.

Berapapun besarnya terpaan yang menghantam Muryanto Amin, agenda pelantikan dirinya sebagai Rektor USU tetap berlangsung. Dunia tahu, pelantikan Muryanto Amin menyisakan kontroversi, bahkan mantan Rektor USU, Runtung Sitepu tak akan pernah memberikan ucapan selamat atas pelantikan Rektor baru USU.

Dia bersikeras, Muryanto masih dijatuhi sanksi atas tudingan self plagiarism atas karyanya sendiri di salah satu jurnal internasional.

Melihat dan membaca kemurungan USU, Kemendikbud membentuk tim analisis independen yang terdiri atas beberapa kampus besar di negeri ini. Hasilnya, Dirjen Dikti Kemendikbud, Nizam menyatakan kalau Muryanto Amin clear dan tidak melakukan self plagiarism. Meski demikian, Kemendikbud buru-buru akan membuat aturan baru tentang plagiarism.

Regulasi tersebut ditunggu dan penting bagi khalayak, agar ada pencerahan sehingga dapat dipastikan koridornya, mana-mana atau apa-apa yang nantinya disebut sebagai plagiarism. Kemudian mungkin saja, sanksi apa saja yang bakal diterapkan ketika ditabrak.

Kemelut USU sekurangnya menjadi pelajaran berharga bagi siapa pun untuk tidak main-main dengan praktik plagiarism. Meski begitu, tudingan atau tuduhan plagiarism harus dapat dibuktikan dengan acuan regulasi yang jelas. Jangan hanya gegara pemilihan rektor berubah untuk mencari dan atau memetakan kambing hitam baru.

Apa yang dipertontonkan pada kisah USU di atas, sebetulnya bisa dihindari kala keduanya maupun pihak lain memediasi. Pun, ada opini maupun hak jawab dari masing-masing yang berkepentingan. Namun demikian, jalan musyawarah menjadi ideal di sini.

Budaya akademik, seperti kawan diskusi dan lawan berpikir dan bertukar gagasan berikut tetumpukan argumen dan eviden ilmiah patut digelorakan, bukan sebatas ada riak gelombang di USU menguar. Barangkali ada benarnya pernyataan Fahri Hamzah baru-baru ini, konflik itu dimulai dari kegagalan mendamaikan narasi.

Panen kita yang lain dari kasus USU, yakni sejak sangat awal kita edukasi anak-anak kita dengan spirit dan nilai kebenaran nir kebohongan. Capaian, hasil maupun angka akademik yang cepak atau di bawah standar jauh lebih baik ketimbang perolehan IPK tinggi tapi diperoleh dengan cara tidak kstaria, misalnya mencontek, mendompleng jawaban kawan atau memelihara joki. Termasuk melakukan praktik plagiarism.

Itu semua harus dihapus dari dasar otak kaum muda kita, sehingga bukan menjadi generasi parasit dan instan. Itulah kemudian pada anak muda layak kita tekankan, “Jangan berlayar kalau kau takut gelombang, jangan jatuh cinta kalau kau takut sengsara,” seperti liriknya Megy Z.

Bukan Seremoni

Belenggu plagiarism mesti kita hunus dari pikiran kita, dada kita dan kita harus berani melakukan transformasi menuju sosok inklusif, bertanggung jawab dan mengandalkan potensi atau kemampuan diri sendiri. Menjadi hebat tak harus berplagiarisme, tapi berkilau tak perlu menjadi setan plagiat atau tak butuh pura-pura.

Kisah pilu menyangkut isu plagiarism pernah menimpa sosok-sosok besar di negeri ini, sebut saja rektor, dosen dan lainnya. Bahkan kita perlu mencontoh sikap mental Menteri Pertahanan Jerman Karl-Theodor zu Guttenberg, yang mengundurkan diri setelah dia dilaporkan menulis tesis doktor yang sebagian besar adalah hasil contekan pada tahun 2006.

Kemudian Presiden Hongaria, Pal Schmitt yang meletakkan jabatan tahun 2012 setelah gelar doktornya yang diraihnya tahun 1992 dibatalkan pasca temuan bahwa terbukti ada unsur plagiarisme sebagian dari disertasinya setebal 200 halaman.

Melongok ke belakang, Ki Hajar Dewantara dengan ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa dan tutwuri handayani-nya akan tersedan jika dia masih hidup ketika menyaksikan potret muram kampus kita, pendidikan kita yang getol memelihara sindrom kepiting (saling jegal dan melemahkan).

Teladan apa lagi yang akan kita taburkan pada anak bangsa, kala terus terjebak dengan kepentingan dan konflik yang menjulur. Kampus yang damai dan jujur adalah mimpi kita hari ini. Tanpa topeng, tanpa bopeng. Semoga deklarasi anti plagiarism 10-11 tahun silam bukan seremoni belaka.**

Marjono

Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng