Rumah Tahan Covid-19?!

Rumah Tahan Covid-19?!

KALA pandemi Covid-19 semakin ganas dan meluas, keberadaan dan fungsi rumah (house), amat sentral. Diperintahkan kepada semua pihak, agar tinggal di rumah. Bekerja di rumah. Berkomunikasi dari rumah. Segalanya dari rumah sendiri, terhubung dengan kantor atau rumah orang lain.

Sungguh beruntung, orang yang memiliki rumah besar, halaman luas, taman indah, sarana komunikasi lengkap dan canggih. Rumah bisa dihuni banyak orang. Gelak-tawa, senda-gurau, berbagi kasih sayang, bisa berlangsung di rumah. Berbagai kebutuhan bisa didatangkan melalui komunikasi online. Seakan tiada permasalahan, walaupun pandemi Covid-19 menari-nari tiada henti. Barangkali rumah tipe besar ini dapat dikategorikan rumah tahan Covid-19.

Lain halnya, pada orang miskin, kurang beruntung, atau serba kekurangan. Rumahnya sempit. Anak-cucu, menantu, berjubel di ruang yang sama. Tak bersekat. Tanpa ventilasi, tanpa halaman, tanpa perputaran udara. Suasana pengap, dan panas. Secara fisik, segala gerak dan aktivitas serba terbatas. Hanya karena tebalnya modal kesabaran, disertai jembare dada, lantipe akal, dan duga-prayoga, kehidupan menjadi terkelola dengan baik, minim gesekan. Sungguh malang, ketika seorang penghuni positif Covid-19. Bagaimana mungkin isolasi mandiri di rumah sempit? Tak urung, semuanya terpapar juga. Dengan kata lain, rumah tahan Covid-19 sulit ditemukan pada orang-orang miskin.

Dalam perspektif spiritual-religius, dipertanyakan: “Benarkah rumah yang kita huni saat ini merupakan rumah sesungguhnya?” Kalau disadari bahwa kehidupan di dunia hanya sementara, dan ada kehidupan sejati di alam akhirat, maka pertanyaan dapat dimajukan, menjadi: “Di manakah rumah yang sesungguhnya berada? Bagaimana dapat memilikinya?”

Basis keimanan mengajarkan bahwa surga adalah rumah impian. Rumah masa depan. Rumah sejati. Rumah itu, dapat kita miliki sebagai hadiah Ilahi Robi. Di sanalah, puncak kebahagiaan berada. Segala kebutuhan terpenuhi. Syarat perolehan dan kepemilikannya, sungguh mudah. Taqwa. Patuhi segala perintah-Nya, jauhi segala larangan-Nya. Perbanyak amal saleh berfondasi keikhlasan. Segalanya diorientasikan semata-mata karena dan demi ridha Ilahi Robi. Itulah kunci pintu dan sertifikat rumah surga, baik surga dunia maupun surga akhirat.

Tetapi pada zaman modern, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi sudah sedemikian canggih, dogma tentang rumah surga sering dijadikan bahan olok-olok. Kuntowidjoyo (2006) menjelaskan bahwa awal kehidupan modern dapat dilacak pada momentum Rainessan di Eropa Barat, yakni peradaban baru yang mencoba keluar dari Abad Pertengahan. Ciri menonjol modernitas adalah lahir dan berkembangannya aliran antroposentrisme. Aliran filsafat ini memiliki semangat dan dogma, berupa: pengakuan, penghargaan, sekaligus dominasi niali-nilai maupun realitas, yang dibangun oleh manusia sendiri.

Antroposentrisme dengan terang-terangan menolak (bahkan melawan) aliran filsafat teosentrisme. Patut diingat, bahwa pada Abad Pertengahan (dan sebelumnya), para ilmuwan dan agamawan (termasuk manusia pada umumnya), senantiasa meyakini keberadaan wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran. Doktrin keilmuan demikian diolok-olok oleh pelopor dan pengikut antroposentrisme. Dikatakan, sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran yang bersifat abstrak (berdasarkan keimanan) tak sepantasnya diterima, karena tak masuk akal, sulit dicerna indera, sulit diverfikasi, tak mudah pembuktiannya.

Antroposentrisme terang-terangan memisahkan (melakukan diferensiasi) antara agama (termasuk wahyu) dengan realitas semesta (baik ekonomi, politik, hukum, budaya, dan lainnya). Sekulerisasi dilakukan pada semua aspek kehidupan. Sedemikian ganasnya sekulerasi itu, hingga seorang pemikir Islam (Roger Garaudy, 1982) menyebutnya sebagai “pembunuhan” terhadap Tuhan dan manusia (Kuntowidjoyo, 2006: 98).

Di jalan dan di alam proses pencarian rumah surga, aktivitas manusia, umumnya singgah di terminal rumah pencerahan (Prama, 2015). Sebagaimana istilahnya, pencerahan menghadirkan kehidupan yang cerah dan terang, jauh dari kegelapan, kebingungan, dan ketidaktahuan. Pertanyaannya, bagaimana orang bisa sampai di rumah pencerahan?

Caranya sederhana dan mudah. Identikan diri sendiri dengan tukang taman berpengalaman. Olehnya, semua rahmat Tuhan, berupa: tanah subur, bibit pepohonan indah, air, matahari, dan sebagainya, diracik dan dipadukan sedemikian rupa, dalam ukuran proporsional dan harmonis, sehingga seluruhnya tertransformasikan sebagai taman pencerahan. Rumah, dibangun dan didesain sebagai keutuhan taman pencerahan itu. Di dalamnya, suasana kehidupan serba teduh, indah, dan cerah. Mirip dengan pepohonan, ada bunga kamboja yang memerlukan sedikit air, ada bunga lotus yang memerlukan banyak sekali air. Ada pohon durian, dan ada pula pohon sawo. Masing-masing memiliki ciri-ciri unik yang layak dikenali, dan difasilitasi agar tumbuh sehat.

Keasyikan dan seni membangun rumah pencerahan, antara lain terletak pada upaya-upaya memfasilitasi perkembangan semua unsur menuju tingkat kesempurnaan. Tukang taman bijak, tidak pernah sekali-kali membuang sampah. Seburuk apapun suatu barang dikatakan sebagai sampah, mesti didaur ulang menjadi barang berharga. Misal, dedaunan diolah menjadi kompos. Pupuk kompos, ditanam di bawah pohon. Menjadikan pohon cepat besar, cepat berbunga, dan berbuah. Saatnya musim buah-buah  tiba, maka rumah pencerahan bukan sekadar elok dipandang, tetapi juga lezat dilidah. Jiwa dan raga pun tumbuh sehat, lahir-batin. Secara bijak, kompos telah direntang sebagai “kemarahan, ketakutan, iri, dengki, congkak dan sejenisnya”, kemudian ditransformasikan sebagai bunga-bunga pencerahan, berupa kasih-sayang.

Di dalam Islam, dikenal slogan baitii jannati (rumahku adalah surga bagiku). Hakikat rumah (home), bukanlah bangunan fisik semata, tetapi lebih tertuju pada pengertian kemanusiaan, utamanya suasana interaksi dan keberkahan hidup yang dirasakan semua anggota keluarga, sebagai kebahagiaan. Fungsi kemanusiaan ini, tidak semestinya dialihkan ke tempat atau pihak lain. Sekolah atau guru misalnya, bukanlah ganti rumah surga dunia, melainkan sebagai pelengkap peran bapak dan ibu sebagai pendidik utama. Fungsi rumah surga dunia adalah sebagai tempat membangun keutuhan keluarga, ketenteraman, kebersamaan, bermain dan tempat rekreasi, guna membangun kesakinahan, kemawaddahan (cinta kasih) dan kerahmahan (kasih sayang).

Kala pandemi Covid-19, baitii jannati semakin relevan dan strategis sebagai wahana dan pendukung anak-anak belajar secara online, bapak/ibu bekerja secara online, produksi barang dan jasa, sekaligus pemasaran secara online, dan sebagainya. Kini, tak perlu lagi melepas ketegangan atau mencari hiburan di luar rumah. Segalanya dicukupkan dari rumah surga dunia.

Dalam konteks bernegara, masing-masing rumah surga dunia, mestinya menjadi miniatur Indonesia. Luas atau sempitnya rumah secara fisik, akan teratasi dengan luasnya jiwa bangsa. Rumah surga dunia senanatiasa cerah karena cahaya ilmu dan perilaku religius yang diajarkan dan dikembangkan sejak awal dan dikawal sepanjang hayat. Itulah rumah tanah Covid-19. Wallahu’alam. ***

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru besar Ilmu Hukum UGM.