Pameran Hamong Nagari Ungkap Kisah Luhur Aparatur Keraton Yogyakarta

Kehormatan diri terletak pada ucapan, sementara kehormatan tubuh terletak pada pakaian yang dikenakan.

Pameran Hamong Nagari Ungkap Kisah Luhur Aparatur Keraton Yogyakarta
Peragaan busana abdi dalem Keraton Yogyakarta saat pembukaan pameran Hamong Nagari di bangsal Pagelaran Keraton Yogyakarta. (muhammad zukhronnee muslim/koranbernas.id)
Pameran Hamong Nagari Ungkap Kisah Luhur Aparatur Keraton Yogyakarta

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Gamelan yang biasanya mengiringi suasana ritual keraton tak terdengar sore itu. Bulan Ramadan 1446 H yang sedang berlangsung membuat Keraton Yogyakarta Hadiningrat menyesuaikan tradisi pembukaan pameran tahunannya.

Namun, absennya alunan gamelan tak sedikit pun mengurangi kemegahan pembukaan pameran Hamong Nagari: Aparatur Negara Yogyakarta yang diresmikan langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X, Jumat (7/3/2025).

Menggantikan pertunjukan gamelan, pengunjung disuguh fashion show yang menampilkan 15 jenis busana bersejarah yang dikenakan oleh para aparatur negara Keraton Yogyakarta dari berbagai masa.

Busana-busana yang ditampilkan bukan sekadar pakaian, melainkan simbol status, tugas dan nilai-nilai luhur yang dipegang para abdi dalem selama berabad-abad.

Dwi tunggal

"Wastra dalam tradisi Kraton bukan sekadar pakaian, melainkan simbol, kawibawan dan kawiryan, mencerminkan nilai dwi tunggal Ajining diri, ana ing lathi. Ajining raga, ana ing busana," ujar Sri Sultan Hamengku Buwono X saat membuka pameran.

Filosofi Jawa tersebut menegaskan kehormatan diri terletak pada ucapan, sementara kehormatan tubuh terletak pada pakaian yang dikenakan.

Setiap busana memiliki warna, motif dan aksesori yang mencerminkan fungsi, status, dan nilai-nilai yang dijunjung pemakainya. Ini sejalan dengan konsep among raga, sekaligus among rasa yang disampaikan Sultan -- bahwa eksistensi Keraton termanifestasi dari cara aparatnya membawa diri sekaligus menghayati tugasnya.

Dalam penutupnya, Sultan HB X berharap pameran ini menjadi ikhtiar untuk memahami, menghayati serta meresapi kembali nilai-nilai dharma bhakti yang telah diwariskan sejak ratusan tahun lalu.

Kepemimpinan

"Dalam tatanan Kraton Yogyakarta Hadiningrat, Aparatur Nagari adalah representasi dari harmoni antara kepemimpinan dan rakyat. Mereka adalah perwujudan makna Manunggaling Kawula Gusti, sekaligus penghubung," ujarnya.

Pameran yang berlangsung hingga 25 Agustus 2025 ini mengajak pengunjung menelusuri perjalanan sejarah panjang struktur pemerintahan Yogyakarta sejak didirikan oleh Pangeran Mangkubumi (kemudian menjadi Sultan Hamengku Buwono I) pasca Perjanjian Giyanti.

GKR Bendara selaku ketua pameran menjelaskan sejarah Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari pembentukan kelompok-kelompok aparatur negara sebagai penopang kedaulatan kerajaan.

"Merujuk Serat Perjanjen Poronoto, Pangeran Mangkubumi membangun tata kota kerajaan pasca Perjanjian Giyanti di kawasan yang kini dikenal sebagai Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam proses penataan kota, beliau turut membentuk kelompok-kelompok aparatur negara sebagai bagian dari pemerintahan yang berdaulat," jelasnya.

Kesatuan prajurit

Arsip Yogyakarta tahun 1788 mencatat pada masa Sultan Hamengku Buwono I terdapat setidaknya 15 kesatuan prajurit, beberapa di antaranya seperti Mandung Anirmolo, Blambangang dan Mandroprotomo kini telah punah pasca Perang Jawa.

Selain aparatur militer, dokumentasi detail juga mencatat adanya kelembagaan peradilan, pertanahan, perpajakan dan perekonomian.

Berbicara tentang relevansi struktur aparatur keraton dengan kondisi saat ini, GKR Bendara mengingatkan bahwa berdasarkan Konvensi Montevideo tahun 1937, keberadaan aparatur negara merupakan elemen penting dalam mendukung kedaulatan suatu negara.

"Sebuah negara dianggap berdaulat jika memiliki empat komponen utama, yaitu wilayah yang jelas, masyarakat yang bertekad, pemerintahan yang mumpuni dan pengakuan dari negara lain," ujarnya.

Struktur pemerintahan

Sultan Hamengku Buwono I telah menerapkan sistem pemerintahan yang membagi wilayah Yogyakarta ke dalam kategori Kuthanegara, Negaragung, Mancanegara dan Pesisir, dengan masing-masing kawasan memiliki struktur pemerintahan sendiri. Sistem ini menjadi cikal bakal struktur pemerintahan modern Yogyakarta.

Di balik kemegahan pameran, tersimpan kisah perjuangan dalam mengumpulkan dan memverifikasi data historis. Kanjeng Mas Tumenggung Somarto Wijoyo, Carik Kawedanan Tandayekti Kraton Yogyakarta, mengungkapkan bahwa 15 busana yang dipamerkan hanyalah sebagian kecil dari ratusan jenis busana aparatur keraton yang pernah ada.

"Sebenarnya masih banyak lagi, tapi kami masih mengkaji ulang naskah-naskah yang harus dikembangkan kembali. Jadi, 15 ini adalah yang sudah memiliki data dan fakta yang jelas," ungkapnya.

Ditanya mengenai kendala dalam proses verifikasi, Somarto Wijoyo mengungkapkan sejarah kelam hilangnya banyak manuskrip berharga.

Berbagai rekonstruksi

"Kendalanya ada pada manuskrip atau data yang kami pegang. Karena pada era Raffles banyak yang dibawa ke luar negeri," ungkapnya merujuk pada masa pemerintahan Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur Jenderal Britania Raya di Hindia Timur (1811-1816).

Untuk mengatasi tantangan tersebut, pihak keraton kini mengembangkan master digital dan melakukan berbagai rekonstruksi. Upaya digitalisasi ini menjadi langkah strategis dalam melestarikan warisan budaya yang hampir punah.

Di antara 15 busana yang dipamerkan, terdapat pakaian abdi dalem Kanca Gladak atau Mantri Ngajeng yang bertugas mengurus logistik keraton hingga busana abdi dalem Jager yang bertugas menjaga regol (gerbang) Yogyakarta.

Aspek menarik lain yang terungkap dalam pameran ini adalah nilai inklusivitas yang telah diterapkan Keraton Yogyakarta sejak berabad-abad silam.

Data dan fakta

"Inklusivitas ini sebenarnya sudah lama. Cuma, kita angkat lagi di era sekarang ini. Jadi, itu berdasarkan data dan fakta yang sudah dilaksanakan di Hamengku Buwono sebelumnya," kata Somarto Wijoyo.

Salah satu contohnya adalah abdi dalem Palawija yang tinggal di kampung Palawijan yang berlokasi di sebelah timur Pasar Ngasem.

Menurut Somarto Wijoyo, abdi dalem ini adalah mereka yang memiliki fisik istimewa dan memiliki peranan penting. Penghuni kampung ini memiliki tugas khusus dalam prosesi-prosesi keraton, terutama saat upacara kenaikan tahta. Mereka menjadi penghubung antara sultan dan rakyat secara nasional.

Pameran Hamong Nagari: Aparatur Negara Yogyakarta terbuka untuk umum dan bisa dikunjungi hingga 25 Agustus 2025. Melalui pameran ini, pengunjung tidak hanya disuguhkan informasi sejarah yang kompleks, tetapi juga diajak menyelami nilai-nilai luhur yang melandasi tata kelola pemerintahan Yogyakarta dari masa ke masa. (*)