Menakar Keanggotaan Indonesia di BRICS
Oleh: Boy Anugerah
Bergabungnya Indonesia sebagai anggota penuh BRICS selain menciptakan peluang dari sisi ekonomi dan perdagangan, juga memiliki risiko-risiko ekonomi politik yang harus diwaspadai dan dicermati secara saksama. Geopolitik dunia saat ini didominasi oleh pertikaian antara Amerika Serikat vis a vis Tiongkok dan Rusia. Amerika Serikat dan Tiongkok bertikai di Indo Pasifik dan melakukan perang dagang dalam satu dekade terakhir. Amerika Serikat juga bertikai dengan Rusia dalam hal invasi Rusia ke Ukraina sejak 2022. Bergabungnya Indonesia dengan BRICS berpotensi memicu tekanan geopolitik dari Amerika Serikat dan sekutunya yang dapat menghambat arus konektivitas barang dan jasa ke Indonesia, serta mempengaruhi volume perdagangan satu sama lain.
KETUA BRICS 2025, Brasil, mengumumkan status Indonesia sebagai anggota penuh di BRICS pada 6 Januari 2025. Status Indonesia mengalami peningkatan dari sebelumnya yang hanya sekadar sebagai negara mitra (partner country). Indonesia sendiri melalui Menlu RI Sugiono menyatakan keinginan untuk bergabung menjadi anggota pada KTT BRICS di Kazan, Rusia, 24 Oktober 2024 yang lalu. Pengumuman status sebagai anggota penuh ini disambut dengan baik oleh Pemerintah Indonesia. Kemenlu RI menyampaikan ucapan terima kasih dan apresiasi kepada Rusia selaku Ketua BRICS 2024 atas dukungan dan kepemimpinannya dalam memfasilitasi bergabungnya Indonesia ke BRICS, serta kepada Brasil sebagai Ketua BRICS 2025 yang telah mengumumkan keikutsertaan Indonesia.
Kemenlu RI sebagai leading sector di bidang diplomasi menyatakan bahwa keanggotaan ini merupakan hasil keterlibatan aktif Indonesia dengan BRICS selama beberapa tahun terakhir, termasuk saat menghadiri KTT BRICS di Johannesburg, Afrika Selatan pada 2023, dan Kazan, Rusia pada 2024. Partisipasi yang dilakukan oleh Indonesia tersebut merupakan perwujudan amanat konstitusi untuk berperan aktif menjaga tatanan global. Kemenlu RI menyebutkan, bahwa Indonesia sebagai negara dengan perekonomian yang terus tumbuh dan beragam, berkomitmen untuk berkontribusi secara aktif dalam agenda BRICS, termasuk mendorong ketahanan ekonomi, kerja sama teknologi, pembangunan berkelanjutan, dan mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim, ketahanan pangan, dan kesehatan masyarakat. Indonesia menganggap penting BRICS sebagai wadah untuk menguatkan kerja sama Selatan-Selatan, memastikan suara dan aspirasi negara- negara Global South terdengar dan terwakili dalam proses pengambilan keputusan global.
Perspektif analisis
Bergabungnya Indonesia ke dalam blok kerja sama BRICS ini dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang; Pertama, sistem internasional (baca; pola relasi antarnegara di dunia) saat ini bersifat semi-multipolar yang ditandai dengan menguatnya pengaruh dan intervensi negara-negara besar dunia (major states) terhadap negara lain. Dari sisi pertahanan, Amerika Serikat menginvasi Afghanistan pada 2001 dan Irak pada 2003. Amerika Serikat saat ini masih memegang kendali penuh atas blok militer NATO, membentuk aliansi-aliansi baru di Indo Pasifik seperti QUAD (Amerika Serikat, Australia, India, dan Jepang) dan AUKUS (Australia, Inggris, AS). Rusia menginvasi Ukraina sejak 2022, Tiongkok mengobarkan perang di Laut Tiongkok Selatan dan Laut Tiongkok Timur. Di bidang ekonomi, terjadi ketimpangan dalam pola relasi global yang ditandai oleh hegemoni AS dan Eropa yang menguasai dua institusi utama keuangan dunia, Bank Dunia dan IMF. Kerja sama AS dan negara-negara lain yang tergabung dalam G-20 dikalkulasi menguasai 80 persen perekonomian dunia. Dominannya pengaruh negara-negara besar dalam instrumentasi perekonomian global berdampak pada terciptanya pemiskinan struktural dan ketergantungan negara-negara berkembang terhadap mereka (baca; negara besar dan lembaga-lembaga keuangan dunia). Indonesia memandang bahwa kerja sama yang dilakukan dengan BRICS dapat menjadi solusi untuk menciptakan keseimbangan global, ekosistem hubungan kerja sama antarnegara yang lebih adil dan mutualis, serta menghindari ketegantungan terhadap negara- negara maju dan institusi keuangan dunia.
Kedua, dalam studi ilmu hubungan internasional, dikenal istilah balancing of power atau perimbangan kekuatan. Perimbangan kekuatan merupakan mekanisme yang ditempuh oleh negara atau kelompok negara untuk menyeimbangkan pengaruh dan kekuatan satu sama lain. Indonesia menyadari kebangkitan Tiongkok sebagai kekuatan baru dunia dengan pertumbuhan ekonomi dua digit dalam dua dekade terakhir. Indonesia juga menyadari bahwa hanya Rusia satu-satunya negara saat ini yang secara pertahanan dan keamanan (jumlah personel militer dan Alutsista) dapat mengimbangi kekuatan Amerika Serikat. Indonesia juga menyadari statusnya sebagai negara berkembang (negara Selatan) yang memiliki konfigurasi sosial ekonomi serupa dengan Brasil dan Afrika Selatan, baik dalam jumlah penduduk, luas geografi, dan kepemilikan sumber daya alam. Sehingga dengan demikian, penguatan kerja sama dengan Tiongkok, Rusia, Brasil, dan Afrika Selatan dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk menguatkan kapasitas secara sosial dan ekonomi, meningkatkan daya saing, dan lepas landas menjadi negara maju.
Ketiga, mekanisme kerja sama Selatan-Selatan (global south cooperation) dianggap paling sesuai untuk dijalankan oleh Indonesia dalam praksis politik luar negeri dan diplomasi. Negara Selatan (negara berkembang) identik dengan status sebagai negara agraris dan negara maritim, dua atribut yang melekat dan menjadi keunggulan komparatif Indonesia. Dengan banyaknya persamaan di antara negara- negara berkembang, maka pola kerja sama yang akan berjalan dapat berlangsung secara simetris, mutualis, saling menguatkan satu sama lain, meminimalisasi dominasi antarnegara, dan berpeluang untuk menjadi satu kekuatan baru yang diperhitungkan di kancah global, terutama dari sisi ekonomi dan perdagangan. Terbangunnya soliditas antarnegara berkembang dapat mencegah dijadikannya negara-negara berkembang hanya sekadar sebagai pangsa pasar (market) oleh negara maju, tapi lebih bernilai sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru dunia dan pusat alih teknologi apabila bekerja sama dengan negara-negara maju (north countries).
Keempat, Indonesia pada era Presiden Prabowo Subianto memiliki beberapa agenda strategis dan ambisius seperti target menjadikan Indonesia berswasembada pangan pada 2027 dan menjadi lumbung pangan dunia pada 2029; swasembada energi dengan mengarusutamakan produksi dan penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT); hilirisasi tambang, pertanian, perikanan, dan kelautan; serta pertumbuhan ekonomi 8 persen jauh di atas pertumbuhan ekonomi regional dan global (hanya 4 persen plus minus). Dengan mengedepankan pendekatan cost-benefit analysis (dari sisi pembiayaan) dan perspektif geopolitik (basis politik luar negeri bebas aktif), kerja sama dengan negara-negara yang tergabung dalam BRICS seperti Tiongkok, Rusia, dan Brasil dipandang lebih prospektif untuk mengakselerasi pencapaian target-target tersebut. Indonesia dapat belajar banyak dari Brasil misalnya, dalam hal pengembangan EBT berbasis bio-etanol dan bio-diesel. Indonesia dapat belajar banyak dari Tiongkok dalam pengembangan sumber daya maritim dan pengarusutamaan ekonomi biru dalam industrialisasi. Indonesia dapat belajar banyak dari Rusia dalam pengembangan sektor pertanian, terutama mengurangi ketergantungan konsumsi penduduk Indonesia terhadap beras/padi dengan mengembangkan sumber-sumber makanan baru berbasis sagu, gandum, dua komoditas yang menjadi unggulan produksi di Rusia. Indonesia juga dapat belajar banyak dari Afrika Selatan dalam pengelolaan sektor tambang berbasis teknologi tinggi (diketahui bahwa Afsel adalah negara eksportir tambang terkemuka di Afrika seperti emas, berlian, batubara, platinum, dan bijih besi).
Kelima, Indonesia secara historis memiliki rekam jenjang panjang dalam membangun kerja sama Selatan-Selatan. Pada era Soekarno diselenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada 1955 sebagai mekanisme untuk membantu kemerdekaan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika yang masih terjajah. Indonesia juga memelopori Gerakan Non-Blok (Non-Alligned Movement) sebagai respons atas sistem internasional yang bipolar pada masa itu (1945 s.d. 1990), yang mana dunia diwarnai oleh pertikaian antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Presiden Prabowo Subianto yang secara idiosinkratik (latar belakang yang melekat) sangat dipengaruhi oleh konsepsi geopolitik Soekarno (geografische constellatie), terlihat ingin melanjutkan apa yang sudah digariskan oleh Soekarno sejak awal kemerdekaan. Bergabungnya Indonesia sebagai anggota penuh BRICS dapat dibaca sebagai komitmen Indonesia untuk memajukan negara-negara selatan, lepas landas secara bersama-sama menjadi negara maju melalui kerja sama yang harmonis, mutualis, dan kolaboratif, jauh dari spirit untuk mendominasi dan menciptakan ketergantungan politik dan ekonomi satu sama lain.
Risiko-risiko
Bergabungnya Indonesia sebagai anggota penuh BRICS selain menciptakan peluang dari sisi ekonomi dan perdagangan, juga memiliki risiko-risiko ekonomi politik yang harus diwaspadai dan dicermati secara saksama. Geopolitik dunia saat ini didominasi oleh pertikaian antara Amerika Serikat vis a vis Tiongkok dan Rusia. Amerika Serikat dan Tiongkok bertikai di Indo Pasifik dan melakukan perang dagang dalam satu dekade terakhir. Amerika Serikat juga bertikai dengan Rusia dalam hal invasi Rusia ke Ukraina sejak 2022. Bergabungnya Indonesia dengan BRICS berpotensi memicu tekanan geopolitik dari Amerika Serikat dan sekutunya yang dapat menghambat arus konektivitas barang dan jasa ke Indonesia, serta mempengaruhi volume perdagangan satu sama lain;
Amerika Serikat terkenal piawai memainkan teknik decoupling dalam percaturan politik internasional, sebagaimana yang dilakukan selama ini terhadap lawan-lawan politiknya. Decoupling sendiri dimaknai sebagai upaya menjatuhkan lawan dengan menggunakan berbagai isu sensitif yang dapat memantik resistensi dunia internasional. Dalam kasus Tiongkok misalnya, Amerika Serikat kerap menyerang Tiongkok dalam forum-forum internasional dengan menyebut Tiongkok sebagai pelanggar hukum laut internasional, pelanggar hak asasi manusia, serta pelaku aneksasi di Taiwan. Amerika Serikat juga menuduh Tiongkok sebagai dalang di balik kemunculan Covid-19. Strategi decoupling ini terbukti efektif untuk menjatuhkan dan menimbulkan resistensi dunia terhadap Tiongkok. Indonesia memiliki kerentanan untuk dijadikan sebagai target decoupling oleh negara-negara lain dalam hal pelanggaran hak asasi manusia berat pada masa lalu, situasi di Papua yang kerap dijadikan bahan olok-olok di PBB, serta indeks demokrasi yang terus menurun.
Terakhir, Indonesia harus menetapkan blueprint yang jelas mengenai target-target ekonomi perdagangan yang hendak dicapai dari kerja sama BRICS yang akan dijalankan ke depan seperti target perbesaran neraca perdagangan antarnegara, penghapusan tarif perdagangan antarnegara, pengembangan komoditas unggulan untuk diekspor ke negara-negara BRICS, target terukur pertumbuhan ekonomi secara tahunan (target pertumbuhan ekonomi 8 persen), termasuk alih teknologi dan investasi untuk mendukung target-target pembangunan nasional yang dicanangkan. Tanpa blueprint yang jelas, dikhawatirkan Indonesia akan sekadar menjadi pangsa pasar bagi sesama negara BRICS, terutama Tiongkok yang selalu agresif untuk memperbesar neraca perdagangan dan dominasi ekonominya di negara-negara Asia dan Afrika. ***
Boy Anugerah
Alumnus Taplaikbs Diplomat Lemhannas RI-Kemenlu RI 2016, Alumnus Bilateral Seminar Lemhannas RI-CDSS Australia 2017, Alumnus Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran