Kedamaian Dunia Pasca Ramadhan

Kedamaian Dunia Pasca Ramadhan

SEMARAK aktivitas bulan Ramadhan berpuncak di hari raya idul fitri. Puasa, telah dituntaskan. Kekhilafan dan kesalahan terhadap sesama, telah saling dimaafkan. Noda dan dosa, telah diampuni Allah SWT. Kembalilah umat Islam ke dalam kefitriannya. Dalam rahmat dan ridha-Nya, seolah terlahir kembali, sebagai manusia suci, bersih, lahir dan batin.

Ucapan Lebaran khas Indonesia, bertaburan di media sosial: “Ja'alanallah minal aidin wal faizin”. Artinya, ”Semoga Allah menjadikan kita termasuk dalam golongan orang-orang yang kembali, dan orang-orang yang memperoleh kemenangan”.

Ajaran religius nan sakral itu, hanya berlaku bagi orang-orang beriman, Islam, yang taat pada akidah dan syariat. Akan tetapi, bagi mereka di luar kategori itu, urusannya menjadi lain, bahkan sering bertolak-belakang 180 derajat. Ambil contoh: pengeboman Israel terhadap Palestina. Ramadhan sebagai bulan suci dan istimewa, ternyata tidak ada makna spiritual-religius sama sekali bagi kaum zionis. Klaim atas wilayah, pengrusakan masjid al-Aqsa dan fasilitas ibadah lainnya, pembunuhan warga Palestina, beserta kedzaliman-kedzaliman lain, dilakukan dengan kesengajaan dan perencanaan.

Nyatalah, masalah keimanan (agama) amat berpengaruh signifikan terhadap perilaku suatu bangsa. Melihat realitas empiris demikian, lantas apa yang mesti kita perbuat? Secara umum, jawabnya: “Mengisi hidup dan kehidupan dengan berbagai amalan saleh, sesuai fitrahnya sebagai abdillah maupun khalifah”. Inilah fitrah dan makna kefitrian manusia.

Kahlil Gibran (2015) dalam puisi-puisi bernuansa religius, menasihatkan: “Cintailah semua orang. Semua makhluk. Cintailah semuanya, seolah kau buat jaring-laba-laba di antara bunga-bunga. Tataplah keindahannya. Hiruplah aroma wanginya. Pastikan, tiada serangga mengganggu, kecuali semuanya elok. Semuanya bersatu dalam kebersamaan, seolah simponi. Semuanya bernyanyi. Mendendangkan himne perjalanan hidup. Hidup sejak hari kemarin, hari ini, dan masa depan, hingga kiamat”.

Dalam kesadaran berdasarkan keimanan, Allah SWT berfirman:“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki, dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS-49: 13).

Hemat saya, pesan moral yang terkandung dalam ayat di atas bersifat universal. Bukan untuk manusia tertentu, melainkan tertuju kepada semua manusia. Tiada sekat ataupun pembedaan karena faktor-faktor: bangsa, agama, etnis, golongan, pangkat, profesi, dan lain-lainnya. Kepada semuanya, disadarkan tentang hak dan kewajiban asasi dalam hidup dan kehidupan.

Pertama: asal-muasal kejadian manusia (sangkaning dumadi) dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Masing-masing tercipta sebagai individu. Kedirian masing-masing, berlanjut keperjodohan. Keduanya terjalin dalam ikatan perkawinan. Sejak saat itulah, karakter individual mulai disatu-padukan ke dalam karakter kolektif-sosial, dalam bentuk keluarga. Seterusnya, berkembang menjadi suku-suku, hingga bangsa-bangsa. Dalam suasana kebersatuan dan kebersamaan, tiada lagi rasa ketakutan, kesepian, kehampaan, atau kedirian. Segalanya tergantikan dengan kehangatan, kemesraan, dan kedamaian.

Kedua, pada saat manusia sudah tercipta (dadi lan urip) dianjurkan saling kenal-mengenal. Perkenalan dimaksud tentang kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pengenalan dilanjutkan dengan sikap saling menghormati, melengkapi, dan melindungi. Interaksi kekeluargaan, sosial-kebangsaan, berlangsung pada semua aspek kehidupan. Jadilah, semua pihak diuntungkan. Tak seorang pun terkorbankan. Kekokohan akidah, progresivitas ilmu, dan kreativitas ketrampilan - sekaligus pendaya-gunaannya secara masif - menjadikan kehidupan semakin beradab, terjauhkan dari konflik.

Ketiga, muara semua amalan (paraning urip) adalah demi rahmat dan ridha Allah SWT. Baginya masing-masing, akan diberikan ganjaran (pahala), berupa kemuliaan hidup, sesuai dengan kadar kualitas dan kuantitas amalannya. Maknanya, kadar ketulusan niat, kesungguhan usaha, ketaatan pada syariat, senantiasa berbanding lurus dengan kemuliaan yang diperolehnya. Boleh jadi, kemuliaan tersebut sebagian diberikan di dunia, dan selebihnya di akhirat. Oleh karenanya, berbaik sangka kepada Allah SWT, mesti menjadi sikap moralitas-religius sepanjang hayat. Dia Maha Mengetahui segala hal yang terbaik bagi hamba-Nya.

Telah menjadi suratan takdir, Adam dan Hawa keluar dari surga dan turun di bumi. Tak perlu pengkambing-hitaman Iblis terkutuk sebagai biang-keroknya. Bukankah telah tersurat dalam kitab suci: ''Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ''Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.'' (QS-2: 30). ''Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain. Dan bagi kamu ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan (QS-2: 36). ''Turunlah kamu semua dari surga! Kemudian jika benar-benar datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.'' (QS-2:38).

Hemat saya, ayat-ayat di atas, relevan dijadikan dasar kajian dan pencerahan terhadap konflik Israel versus Palestina. Berikut penjelasannya.

Pertama, semua anak-keturunan Adam-Hawa (termasuk bangsa Israel dan Palestina) mestinya sadar akan amanahnya sebagai khalifah di bumi. Artinya, senantiasa berusaha agar mampu menjadi wakil Allah SWT dalam pengelolaan bumi, sehingga sifat-sifat-Nya mengejawantah sebagai realitas konkrit dalam kehidupan bersama. Sebanyak 99 sifat Allah SWT (keseluruhannya tercakup dalam asma ul husna), mestinya tergambarkan sebagai wujud kehidupan semua makhluk di bumi. Persoalannya: sudahkah bangsa Israel, bangsa Palestina, dan bangsa-bangsa lainnya, menjadi khalifah yang baik?

Kedua, telah menjadi sunatullah bahwa kehidupan di bumi tak mungkin bebas dari permusuhan antarmanusia. Permusuhan itu dalam banyak sebab, berakar pada klaim atas tempat tinggal (wilayah negara) dan/atau kesenangan hidup yang didambakan.

Nyatalah, Israel dan Palestina bersengketa atas wilayah pendudukan. Penyebutan Palestina, biasanya mengacu pada wilayah geografis yang terletak di antara Laut Mediterania dan Sungai Yordan. PBB pernah mengusulkan untuk membagi Palestina menjadi dua bagian yakni, negara Yahudi merdeka dan negara Arab merdeka. Sementara Kota Yerusalem yang diklaim sebagai ibu kota oleh orang Yahudi, akan menjadi wilayah internasional dengan status khusus. Palestina keberatan atas usulan PBB, maupun deklarasi Israel sebagai negara merdeka.

Pendudukan Israel di wilayah Palestina semakin menjadi-jadi. Orang Yahudi Israel, terus membangun pemukiman di wilayah pendudukan. Akibatnya, konflik dan kekerasan terjadi saban hari, selama beberapa dekade. Penyelesaian secara damai sebagaimana diusulkan Palestina, selalu disambut dengan tepuk sebelah tangan.

Ketiga, dalam amatan para pakar, Israel (beserta Amerika dan sekutunya) mendasarkan diri pada kepentingan duniawi, sementara Palestina berdasarkan pada kitab suci (Al-Quran). Persoalan religius, politik,  kekuatan militer, sumber daya alam, persaingan ekonomi, ideologi, dan lain-lain, menjadikan kompleksitas permasalahannya sepadan dengan benang kusut. Sungguh tak mudah diurai. Perebutan wilayah itu, gilirannya telah menjadikan konflik Israel versus Palestina sebagai problema internasional.

Bila data dan analisis ini benar, maka dapat diprediksi, konflik amat sulit terselesaikan. Bangsa Palestina akan berjuang hingga titik darah penghabisan. Mati syahid, dirindukannya, karena membela agama. Diyakininya, kehidupan di dunia hanyalah fana, sementara kehidupan akhirat bersifat abadi dan genuine.

Keempat, konflik Israel versus Palestina telah melukai rasa kebangsaan, khususnya umat Islam. Dalam bingkai sesama muslim, luka dan duka Palestina merupakan bagian penderitaan umat Islam sedunia. Dalam keterbatasannya - walaupun hanya dalam bentuk kutukan, ataupun donasi sekadarnya - umat Islam membela Palestina dan mengutuk kedzaliman Israel.

Dalam rangka memompakan semangat perjuangan, kiranya patut diingatkan bahwa Allah SWT senantiasa bersama orang-orang bertaqwa. Ketika petunjuk-Nya sudah datang, tiadalah pilihan lain, kecuali ikutilah petunjuk tersebut. Pastilah kemenangan diperolehnya. Tak perlu rasa takut dan rasa sedih. Demikianlah janji Allah SWT. Persoalannya, sudahkah umat Islam (khususnya bangsa Palestina) mampu menjabarkan dan mentransformasikan petunjuk-Nya sebagai bagian (alat) perjuangan melawan kaum zionis?

Konflik Israel versus Palestina, dikhawatirkan berlanjut menjadi perang dunia III. Kehawatiran demikian, wajar, dan mungkin saja terjadi. Alangkah ngerinya, kalau negara-negara lain - Rusia, Uni Eropa, Uni Arabia, dan negara-negara besar - terlibat. Korban jiwa dan harta benda, pastilah berjatuhan dalam jumlah besar.

Dalam perspektif religius, sehebat apapun perang dunia pernah (dan mungkin akan) berlangsung, semua itu tergolong perang kecil. Dipahamkan bagi pengikut Rasulullah SAW, bahwa perang Badar itu amat berat, tetapi masih ada peperangan yang lebih berat, ialah perang melawan hawa nafsu.

Puasa pada bulan Ramadhan disebut sebagai perang melawan hawa nafsu. Setelah puasa Ramadhan dituntaskan, mestinya bangsa Palestina (beserta muslim di seluruh dunia), semakin percaya diri untuk memenangkan perang melawan kaum zionis. Dalam naungan pertolongan-Nya, didukung kebersatuan, kebersamaan, kekompakan, dan kelihaian penggunaan peralatan perang serba canggih, Insya Allah kemenangan diperoleh dan kedamaian dunia terwujud. Wallahu’alam. ***

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru besar Ilmu Hukum UGM