Dari Kasus TPPU Menuju Sociospiritual-Centrism Bernegara Hukum

Dari Kasus TPPU Menuju Sociospiritual-Centrism Bernegara Hukum

DIRANGKUM dari https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230331155057-532-931998/bea-cukai-akhirnya-respons-nyanyian-mahfud-md-soal-tppu-rp189-t., Menko Polhukam menduga ada tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebesar Rp 189 triliun, ditutupi oleh anak buah MenKeu, berupa penjualan emas batangan impor. Hal itu sampaikan dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI, terkait transaksi janggal Rp 349 triliun, Rabu (29/3/2023). Temuan Rp 189 triliun itu merupakan dugaan pencucian uang cukai dengan 15 entitas terkait impor emas batangan. Surat cukai diduga dimanipulasi dengan keterangan 'emas mentah'. Padahal sudah terbentuk emas batangan.

Ditjen Bea dan Cukai buka suara soal 'nyanyian' Menko Polhukam itu (Jumat, 31/3/2023). Berawal tahun 2016, petugas Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea Cukai di Soekarno Hatta menindak 1 perusahaan ekspor-impor emas. Ditemukan 218 kg emas senilai US$ 6,8 juta. Diduga transaksinya melanggar aturan kepabeanan. Emas disebutnya perhiasan. Padahal wujudnya berupa emas batangan (ingot).

Tahun 2017, kasus dibawa ke pengadilan. Ditjen Bea Cukai kalah. Tindak pidana dinyatakan tak terbukti. Ditjen Bea Cukai pun kasasi. Menang. Tersangka dijatuhi sanksi pidana 6 bulan, denda Rp 2,3 miliar. Perusahaan didenda Rp 500 juta.

Namun, pada tahun 2019, tersangka melakukan peninjauan kembali (PK). Hasilnya, Ditjen Bea Cukai kembali kalah. Lagi-lagi dinyatakan tidak ada tindak pidana. Atas dasar ini, maka Wamenkeu menyatakan ketika tindak pidana asal (TPA) tidak terbukti, maka TPPU tidak maju. Indikasi tidak ditemukannya pelanggaran di bidang kepabeanan ini, dilaporkan oleh PPATK Agustus 2020.

Kasus sebenarnya dan detail, tentu tidak sesederhana uraian di atas. Boleh jadi, kompleks, rumit. Oleh karenanya, dipandang perlu, publik dipahamkan bahwa dimaksud TPPU adalah upaya untuk menyembunyikan asal-usul harta kekayaan yang merupakan hasil kejahatan dengan melalui berbagai cara dan memasukannya ke dalam sistem keuangan, agar harta kekayaan hasil kejahatan tersebut menjadi seolah-olah legal. Agar hasil kejahatan dapat menghasilkan keuntungan di sistem keuangan dan juga untuk menjaga reputasi atau status sosial seseorang atau suatu kelompoknya, maka dilakukanlah TPPU.

Sebenarnya, TPPU sudah lama marak di negeri ini. Akan tetapi tidak mudah pemberantasannya. Penegakan hukum dilakukan, tetapi tidak efektif. Dalam promosi perolehan gelar doktor ilmu hukum di UGM (8/8/2016), dinyatakan oleh promovendus bahwa TPPU merupakan kejahatan sangat luar biasa. Membahayakan sistem keuangan. Bahkan mengancam stabilitas negara.

Penegakan hukum TPPU (khususnya di pasar modal Indonesia) berjalan tidak efektif. Faktor penyebabnya antara lain: aturan-aturannya ketinggalan zaman. Tidak dirampasnya hasil TPPU merupakan kelemahan dari undang-undang TPPU. Selalu ada modus-modus baru. TPPU sedemikian canggih karena sering didukung para pakar ilmu hukum maupun ilmu ekonomi. Oleh karenanya, disarankan agar penanggulangan TPPU dikoordinasikan oleh Presiden, dan disinergikan dengan seluruh instansi terkait.

Deskripsi emprik maupun kajian teoretik ilmiah di atas, disampaikan agar publik semakin paham bahwa kehidupan bernegara hukum di negeri ini terus-menerus dalam ujian berat. Sedemikian banyak regulasi, maupun kasus-kasus hukum, teramat sulit diselesaikan dengan tuntas. Jelas-jelas tumpang-tindih (inkonsistensi), bahkan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, tetapi dinyatakan sah, dan diberlakukan.

Pada ranah birokrasi, hukum dijalankan, tetapi sarat dengan manipulasi dan marak intervensi mafia. Penegakan hukum di lembaga yudikatif, berlangsung prosedural, dan tak kunjung membuahkan keadilan substansial. Terungkap, pada fakta yang sama, pengadilan di tingkat berbeda, ataupun pandangan dari institusi berbeda, menghasilkan kesimpulan bertolak belakang. Satu pihak menyatakan ada TPPU, pihak lain menyatakan tidak ada TPPU.  

Turbulensi hukum

Dengan keterpaksaan layak dinyatakan bahwa keseluruhan hukum, di berbagai dimensinya, berada dalam keacakan (randomness). Turbulensi hukum sebagai sebuah tapal batas antara keteraturan (order) dan ketidakteraturan (disorder) bertebaran di mana-mana. Diterbitkannya undang-undang baru diharapkan muncul kepastian hukum, namun justru muncul kekacauan (chaos). Mengapa? Karena di dalamnya terkelindan permainan, manipulasi, mafia, dan berbagai penyimpangan lainnya.

Betapa sulitnya, undang-undang seperti itu bisa menjadi sarana perwujudan keteraturan, kepastian dan keadilan substansial. Dalam tataran ideal-normatif, diperlukan adanya aturan main yang melarang adanya intervensi terhadap hukum. Secara singkat harus ditegaskan “jangan memainkan permainan ekonomi atau permainan politik dalam hukum!”. Inilah bagian dari idealitas supremasi hukum.

Sungguh, idealitas elegan itu tidak mudah dijadikan realitas. Pada ranah sosial-kebangsaan selalu ditemukan permainan hukum bercampuraduk dengan permainan politik, permainan ekonomi, dan lain sebagainya. Institusi hukum menjadi terperangkap di dalam berbagai trik pemalsuan kebenaran, distorsi realitas, dan disinformasi. Hukum akhirnya hanya menghasilkan dan menyajikan keteraturan formal dan keadilan semu (the virtual justice).

Hemat saya, turbulensi hukum tidak boleh dibiarkan berkembang menjadi negative chaos. Sebaliknya, perlu kebersamaan untuk mengubahnya menjadi positive chaos. Untuk itu, perlu perubahan pada tingkat struktur, sistem, integritas personal, maupun kultur. Selama ini, pemerintah maupun rakyat, seolah-olah keduanya berhadap-hadapan, kompetitif, bahkan konfrontatif, karena masing-masing punya kepentingan berbeda. Kondisi demikian perlu diubah menjadi sociospiritual-centrism.

Artinya, semua pihak harus memandang pihak lain sebagai bagian tak terpisahkan dalam kehidupan bernegara. Dalam bingkai kesadaran kolektif, ada kesediaan untuk saling memberi dan melengkapi. Berbagai kebutuhannya, perlu dikemas dalam bingkai dan naungan nilai-nilai spiritual-religius. Jangan campuradukan yang haq dan yang bathil. Amanahlah pada tugas dan fungsi, sesuai jabatan masing-masing. Jangan korup. Jangan melakukan TPPU.

Allah swt maha kaya. Semua makhlukNya dikaruniai rezeki yang cukup. Maka, jangan serakah. Dalam rangka mewujudkan visi-misi sebagai khalifatullah, falsafah dan kultur sociospiritual-centrism, mestinya tertanam dan merasuk dalam jiwa setiap penyelenggara negara maupun warga negara. Wallahu’alam. ***

 

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM.