Hukum sebagai Kebajikan

Oleh: Sudjito Atmoredjo

MEMANG, kehidupan sosial-kebangsaan serba rumit dan kompleks. Begitu banyak persoalan hukum datang silih-berganti. Begitu banyak orang tak pernah berbuat kebajikan. Kalaupun ada percobaan penyelesaian terhadap persoalan hukum, tujuan dan lingkupnya sebatas penerapan hukum positif pada fakta-fakta fisik-inderawi. Cara/metode penyelesaiannya dominan dengan pola pikir eksak. Perbuatan hukum dan akibat hukum diproyeksikan ke dalam hubungan sebab-akibat. Fitrah interaksi tiga dimensi – manusia, alam, Sang Pencipta – sebagai interaksi yang cair (fluid), utuh (holistic), menyeluruh (comprehensive), direduksi menjadi hubungan parsial, eksak, kaku, dangkal.

Hukum sebagai Kebajikan
Sudjito Atmoredjo. (istimewa).

HUKUM itu ada dan/atau diadakan untuk manusia. Hukum merupakan sarana untuk memanusiakan manusia, agar dapat hidup sesuai fitrahnya. Dengan hukum, manusia dapat mudah menunaikan kewajiban-kewajiban dan sekaligus menjauhi larangan-larangan. Jika hukum dipahami dan ditaati atas dasar kesadaran, maka pastilah kehidupan menjadi tertib, teratur. Berada di jalan lurus, jalan kebenaran. Muaranya diperoleh kebahagiaan dunia-akhirat, terjauhkan dari azab/penderitaan.

Di dalam hukum itu ada nilai-nilai dan norma-norma kebajikan. Dimaksud kebajikan adalah sikap dan perilaku berdimensi ganda, yakni: (1) dimensi vertikal, berupa interaksi antara manusia sebagai makhluk dengan Sang Khalik, dan (2) dimensi horizontal, yakni interaksi antara manusia dengan sesama makhluk lainnya.

Pada dimensi vertikal, telah ada nilai dan norma kebajikan yang berlaku universal. Contoh, kewajiban beribadah kepada Sang Pencipta. Kewajiban itu berlaku bagi semua manusia. Tak boleh ditinggalkan. Bila ada sesuatu udzur (halangan) sehingga kewajiban tak mungkin ditunaikan saat itu, maka wajib diganti dengan wujud lain, atau digantikan pada waktu lain. Bagaimana persyaratan dan prosedur penunaian kewajiban itu telah ada aturannya. Kebajikan serta-merta terwujud ketika manusia taat pada hukum universal itu.

Pada dimensi sosial-kebangsaan, nilai dan norma kebajikan bersifat kontekstual. Artinya, keberlakuannya disesuaikan dengan situasi yang dihadapi oleh  masing-masing manusia. Contoh: bederma. Bagi orang kaya, bederma itu kewajiban. Pada rezeki (harta-benda) miliknya, ada hak orang lain. Hak itu wajib diberikan sepenuhnya. Akan tetapi bagi orang miskin dan fakir, mereka tidak ada kewajiban bederma. Justru merekalah lahan bederma bagi orang kaya. Kebajikan serta-merta terwujud ketika proporsionalitas antara hak dan kewajiban diberikan dan didapatkan manusia atas dasar ketaatan hukum pada urusan masing-masing.

Kebajikan itu amat luas cakupan, jenis, macam-ragamnya. Itulah, maka tiada alasan bagi siapa pun untuk tidak berbuat kebajikan. Menurut Thomas Aquinas (1224-1274), hukum bermuatan kebajikan itu secara lengkap tercakup dalam: lex aeterna, lex devina, lex natura, dan lex humana. Seluruh hukum itu telah ada/hadir sebagai kesatuan utuh, dan menjadi bagian melekat kehidupan manusia.

Berdasarkan lex aeterna, manusia selama hidupnya (abadi, terus-menerus) berinteraksi dengan Sang Pencipta. Atas kebijakan-Nya, keteladanan berinteraksi manusia dengan Sang Pencipta, dengan alam, dan dengan sesama makhluk, telah terpateri dalam hidup dan kehidupan Nabi. Semuanya tertulis dalam lex devina. Manusia tinggal membaca, mengikuti, dan mengaktualisasikan keteladanan Nabi itu dalam konteks zamannya masing-masing. Dengan cara demikian, hidup dan kehidupan mudah dijalani dan tergaransi, tiadalah sesat.

Atas kasih-sayang dan kebijakan-Nya, kepada manusia-manusia ‘terbelakang’ (bodoh, awam, tak berpendidikan) ataupun manusia modern tetapi tak berkesempatan berjumpa langsung dengan Nabi, semuanya dimudahkan memahami dan mengikuti hukum-hukum Tuhan. Hukum disebut terakhir ini, dihadirkan melalui alam. Itulah lex natura (hukum kodrat atau sunatullah).

Alam semesta, dicipta dengan sempurna, seimbang. Semua, taat dan patuh pada kehendak Ilahi. Tiada benih tumbuh menjadi pohon, kemudian berdahan-ranting hingga berbuah, kecuali atas izin Tuhannya. Semua planet di ruang angkasa, beredar secara tertib, teratur, disiplin pada jalur masing-masing. Semua makhluk bernyawa, pastilah akan merasakan mati pada saat yang ditetapkan Allah SWT. Itulah beberapa contoh hukum alam. Semuanya mengejawantah sebagai tanda-tanda kebenaran lex aeterna beserta hukum-hukum derivasinya. Dari sanalah, manusia mudah belajar hukum: dari alam semesta (lex natura), dari masyarakat (sebagai living law), tanpa perlu/harus masuk ke perguruan tinggi hukum. 

Persoalan menjadi rumit dan cenderung sesat ketika dalam kehidupan diberlakukan lex humana. Hukum dibuat oleh manusia. Sebenarnya, tidak bersoal, apabila pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan hukum senatiasa berkesuaian/bersumber/berdasar pada hukum-hukum di atasnya, yakni: lex aeterna, lex devina, lex natura.

Celakanya, hukum-hukum yang lebih tinggi dan terjamin kebenarannya itu, justru ditinggalkan. Nafsu, dijadikan sumber hukum, pendorong dan pemuas kehidupan. Di situlah, dijumpai manusia-manusia berperilaku sombong, serakah, kelewat batas. Mereka berlumuran noda dan dosa. Gemar berbuat licik nir kebajikan. Materi-duniawi, jabatan, dan popularitas dijadikan orientasinya. Dikiranya, kebahagiaan didapat dan melekat pada berjibunnya emas, perak, fulus, tahta, dan gemerlapnya asesoris.

Memang, kehidupan sosial-kebangsaan serba rumit dan kompleks. Begitu banyak persoalan hukum datang silih-berganti. Begitu banyak orang tak pernah berbuat kebajikan. Kalaupun ada percobaan penyelesaian terhadap persoalan hukum, tujuan dan lingkupnya sebatas penerapan hukum positif pada fakta-fakta fisik-inderawi. Cara/metode penyelesaiannya dominan dengan pola pikir eksak. Perbuatan hukum dan akibat hukum diproyeksikan ke dalam hubungan sebab-akibat. Fitrah interaksi tiga dimensi – manusia, alam, Sang Pencipta – sebagai interaksi yang cair (fluid), utuh (holistic), menyeluruh (comprehensive), direduksi menjadi hubungan parsial, eksak, kaku, dangkal.

Layak diingat, pada saat yang tepat - mungkin di dunia atau mungkin di akhirat kelak - catatan tentang kebajikan atau kelicikan, akan diperlihatkan kepada masing-masing. Semua anggota tubuh akan menjadi saksi. Tiada seorang pun - anak, isteri, suami, saudara, pemimpin – dapat mengintervensi. Perhitungan dan penimbangan noda/dosa dan kebajikan berlangsung fair. Keadilan sejati diterimakan, tanpa ada seorang pun dirugikan. Konsekuensinya, nestapa nan berat, tertimpa pada para pendosa; sementara itu kepada para muttaqin diberikan kebahagiaan surgawi terus-menerus, nan elok dan indah.

Pesan moral dari uraian di atas, senyampang mata kepala masih mampu menyaksikan terbitnya matahari di ufuk timur dan tenggelam di ufuk barat, dalam kerangka perwujudan kedamaian dan keadilan sejati di alam nyata maupun alam transendental, maka pencegahan dan penyelesaian segala persoalan hukum, hendaknya dilakukan secara holistik-komprehensif. Dalam ketuntasan persoalan hukum, dapat dikabarkan kepada semua orang bahwa kebajikan ataupun perbuatan licik, curang, dzalim, fasik, segalanya pasti tertimbang di neraca keadilan. Di situlah ada ukuran kebenaran  sejati. Kebajikan ataupun noda/dosa, serta amal perbuatan apapun, tidak ada yang tercecer ataupun tertukar. Dipastikan, perhitungan dan penimbangan berjalan fair.

Alangkah elegan, melalui introspeksi, relung hati bertanya pada diri sendiri, sudahkah kita taat pada hukum dan berbuat kebajikan sepanjang hayat? Renungkanlah. ***

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM