Masak Ya Kudu Aku Sing Repot
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Sudah empat bulan silam kasus
positif Covid-19 pertama terdeteksi di DIY. Tatanan kehidupan baru atau New Normal mulai membuat euforia banyak
orang. Masyarakat yang selama hampir tiga bulan terpaksa mengerjakan semua
aktivitas dari rumah, merasa terlepas dari bui stay at home dan keluar merayakan transisi tatanan baru kehidupan
di jalanan, pusat perbelanjaan atau obyek wisata.
Mereka mulai
abai dengan esensi tatanan kehidupan baru di masa Covid-19, yang seharusnya
benar-benar berbeda dan dilakukan dengan disiplin. Selain wajib menggunakan
masker saat keluar rumah atau ketika bertemu orang lain, masyarakat juga wajib
menjaga jarak dengan orang lain dan tentu menghindari kerumunan.
Cuci tangan
yang dulu hanya ditekankan pada sebelum dan sesudah makan, kini dirasa tidak
cukup lagi. Bahkan organisasi kesehatan dunia pun melansir bagaimana tata cara
hingga durasi mencuci tangan yang benar guna mencegah penyebaran virus yang
belum ditemukan obatnya ini.
Setali tiga
uang, fasilitas cuci tangan yang terlampau bersemangat disediakan sebagai
fasilitas umum, tidak dibarengi dengan perawatan berkala yang layak.
Tak jauh
dari Tugu Pal Putih Yogyakarta, sebuah anjungan cuci tangan tersedia untuk umum
sejak pertengahan Maret 2020. Sebuah fasilitas umum (fasum) dari kerangka besi
semi permanen itu dibuat kokoh menopang sebuah bak penampung dengan kapasitas
300 liter. Kekecewaan muncul saat mendekati fasum tersebut, botol transparan
tempat menyediakan sabun cair jelas terlihat kosong. Kekecewaan berlipat ganda
saat mengetahui air tidak lagi mengucur saat kran dibuka, bahkan tidak setetes
pun.
Rudi, warga
Cokrokusuman yang belasan tahun menjadi petugas parkir di sekitar Monumen Pal
Putih menceritakan, sejak dibangun Maret silam, anjungan cuci tangan baru
beberapa kali diisi air.
“Itu pun
terjadi waktu di awal-awal saja, dua atau tiga kali petugas mengisi ulang
sekaligus menyemprot tanaman yang tumbuh di sepanjang Jalan Mangkubumi. Sejak
saat itu hingga hari ini tidak pernah diisi lagi,†tuturnya, Selasa (20/7/2020),
kepada koranbernas.id.
Kejadian
yang cukup memalukan pernah dialami Rudi, tatkala dirinya diminta menunjukkan
tempat cuci tangan, yang ternyata tidak berfungsi, kepada sekelompok traveller.
“Iki nek ana selang dawa tak isi dhewe,
tapi masak ya aku sing repot?
Seharusnya ada petugas khusus yang rutin mengisi air dan sabun, ben kran iki ana fungsine,†tuturnya.
Kalau
seandainya ada selang air yang panjang seharusnya dapat diisi air dengan mudah.
Namun ia pun mempertanyakan, apakah harus dirinya yang mengisi bak penampung
air tersebut.
Hal sama
dilakukan oleh pengurus rumah ibadah yang berada di sisi utara Tugu Pal Putih.
Menurut Rudi, di Gereja tersebut selalu ada air dan sabunnya, padahal jenis
penampung airnya sama. “Di sana rajin mengisi air dan sabun, jadi yang mau
makai nggak kecele (nggak kecewa-red),†lanjutnya.
Meskipun
demikian, di sini setiap toko dan penjual angkringan juga sudah menyediakan
tempat cuci tangan masing-masing. “Jadi sebenarnya sudah pada tahu cara menjaga
diri. Saya bisa nunut pada mereka
untuk mencuci tangan atau ke hotel sana,†Rudi mengakhiri ceritanya sambil
menunjuk sebuah hotel yang tak jauh dari pandangan mata.
Warga
mengamati fasilitas wastafel umum di kawasan Malioboro. (muhammad zukhronne
ms/koranbernas.id)
Malioboro lebih baik
Tak jauh di
selatan Tugu Pal Putih, tepat di depan kantor sebuah surat kabar harian,
terdapat anjungan cuci tangan dengan bentuk yang sama. Sayang sekali kosongnya
sabun cuci tangan dan air yang tak lagi mengalir sejak lama juga merupakan
kesamaan yang ironis.
Bahkan di
anjungan cuci tangan ini ditempeli tulisan “air habis†oleh warga yang
beraktivitas di sekitar situ. Inisiatif ini bisa bermakna sindiran atau warga
sudah malas saja menjawab pertanyaan orang-orang yang telanjur bersemangat
ingin mencuci tangan.
Hal senada
terjadi Malioboro, sebagai jantung utama tujuan para pelancong. Di sana
ternyata fasilitas cuci tangan yang ada tak semuanya berfungsi dengan baik.
Padahal jumlahnya cukup banyak dan berjajar setiap 20 meter pada sisi timur dan
barat pedestrian Malioboro.
Dari empat
buah anjungan cuci tangan yang coba koranbernas.id
pantau, hanya satu unit yang mengalirkan air, itu pun sangat kecil.
Faturokhman,
petugas Jogoboro menjelaskan, biasanya yang bertugas mengisi air, sabun dan
menyiapkan tisu basah di masing-masing anjungan cuci tangan adalah tim
infrastruktur. Ia juga mengaku tidak terlalu memperhatikan setiap hari apa
dilakukan pengisian ulang.
“Biasanya
sebelum siang sudah ada petugas yang mengisi kok. Sebagai petugas yang tidak berjaga di pintu masuk kawasan
Malioboro, saya tidak mewajibkan pengunjung untuk mencuci tangan. Karena yang
diwajibkan mencuci tangan hanya pada saat di pintu masuk Malioboro. Di tengah
sini lebih mengingatkan ke penggunaan masker dan menjaga jarak antar
pengunjung,†kata Faturokhman.
Sementara di
kawasan Pasar Beringharjo juga tersedia fasilitas cuci tangan umum yang cukup
bagi pengunjung dan pedagang. Bedanya, di pasar tradisional terbesar di
Yogyakarta ini semua fasilitas cuci tangan beroperasi dengan baik, bahkan oknum
yang suka menghilangkan sabun pun tidak diambil pusing oleh para pedagang
pasar. Mereka yang kebetulan memiliki kios berdekatan dengan fasilitas umum
tersebut bergantian menyediakan sabun cuci tangan jika sabun tersebut hilang.
Sri Purbani,
salah seorang karyawan Ning Batik Yogyakarta menceritakan, sebenarnya Lurah
Pasar juga menyediakan sabun yang setiap hari bisa diambil di kantornya untuk
mengisi ulang sabun cuci tangan jika habis atau hilang. Namun beberapa kios
memilih membeli sendiri sabun tersebut.
“Pertimbangan
lebih simpel dan karena sadar akan kebutuhan saling menjaga kesehatan bersama,
membuat kami merasa tidak keberatan menyediakan sendiri jika sabun itu habis
atau hilang. Bedanya kami biasa membeli sabun batangan, tidak seperti Lurah
Pasar yang menyediakan sabun cair,†tuturnya, Selasa pagi, kepada koranbernas.id.
Perempuan
lulusan Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) ini juga mengaku, fasilitas umum dan
tanggung jawab melaksanakan protokol Covid-19 di tempatnya bekerja cukup baik.
Selain Fasum cuci tangan yang tak pernah kekeringan, pemeriksaan suhu tubuh pun
tak hanya dilakukan di pintu masuk pasar. Petugas kesehatan juga rutin
berkeliling melakukan cek suhu kepada pedagang yang membutuhkan.
“Rata-rata
pedagang sudah menggunakan masker sesuai protokol kesehatan yang dianjurkan
pemerintah. Selain itu masing-masing penjual, setidaknya di Los 18 Selatan
Pasar Beringharjo menyediakan hand sanitizer secara mandiri,†imbuhnya.
“Bisanya ya menyediakan hand sanitizer, nggak mungkin tempat cuci tangan, karena rancang
awal toko yang tidak memungkinkan untuk menyediakan saluran air,†tandasnya. (ros)