Kisah Sedih Pemain Sendratari Ramayana Candi Prambanan

Kisah Sedih Pemain Sendratari Ramayana Candi Prambanan

KORANBERNAS.ID, SLEMAN -- “Mangke mawon, Mas, jam 12 langkung wonten griya kula”.

Itulah jawaban dari seberang yang terpaksa menunda niat koranbernas.id menemui Mbah Paimin Budi Wijono di RSPAU Hardjolukito Yogyakarta. Kebetulan Jumat (25/9/2020) pagi itu Mbah Paimin ada jadwal tampil di rumah sakit Kompleks TNI AU Blok O.

Di rumah sakit ini, dia bersama sejumlah rekannya memainkan cokekan, musik tradisional Jawa yang menggunakan seperangkat instrumen antara lain gender, barong, siter, ditambah kendang dan gong.

Jadwalnya rutin setiap Senin, Rabu dan Jumat. Biasanya, Mbah Paimin dan grupnya tampil sekitar dua jam, menjelang Dhuhur baru turun panggung.

Mboten sekeca Mas menawi pepanggihan wonten griya sakit. Amargi kula mboten piyambakan. Menapa malih wonten mrika kula nyambut damel. Mboten sekeca kalian engkang maringi pedamelan,” ungkapnya saat bertemu di rumahnya Dusun Dusun Senden 1 RT 2 Selomartani Kalasan, Jumat (25/9/2020) siang.

Ditemani segelas teh dan sepiring ondhe-ondhe serta kue apem, Paimin lantas mengungkap kisahnya sejak tidak lagi bisa mengisi pentas Sendratari Ramayana lantaran pandemi Covid-19.

Baginya, berhentinya pentas rutin Sendratari Ramayana merupakan pukulan berat. Sebagai pekerja seni yang tidak lagi muda, berhenti pentas seperti kehilangan gairah dan semangat.

Setiap bertemu dengan pekerja seni lainnya, bersenda gurau lantas bersama perform merupakan kebahagiaan yang tidak ternilai. Terlebih kakek dua cucu ini sudah melakoni profesinya sebagai pengrawit Sendratari Ramayana sejak 1986. Perjalanan yang panjang, lengkap dengan suka duka dan berbagai pengalaman pentas bersama puluhan bahkan ratusan pekerja seni lainnya.

Sesuai jadwal, Mbah Paimin dan grupnya tampil tiga kali sepekan. Dua jam pada malam hari. Selama lebih dari 30 tahun, Paimin pulang dan pergi ke Kompleks Candi Prambanan untuk memberikan hiburan kepada pengunjung Prambanan yang ingin menyaksikan sendratari.

“Dulu masih di timur sungai. Tapi seiring waktu, tahun 1992 panggung sendratari dipindah ke barat sungai. Honor yang saya terima juga berubah. Dulu sekali tampil menerima honor Rp 1.500. Tapi ya senang saja. Karena sebelum diberi kesempatan di sana, saya pun sudah sering mengisi acara di dusun. Jadi seperti di-kanggokke (dibutuhkan-red),” tutur Mbah Paimin.

Segala kegembiraan yang sederhana itu sejak Mei lalu menghilang seakan-akan terampas. Jadwal Mbah Paimin untuk unjuk kebolehan memainkan gamelan seketika berhenti. Pihak manajemen mesti mengikuti kebijakan pemerintah menghentikan pementasan Sendratari Ramayana guna mencegah penyebaran virus Corona atau Covid-19.

Akibatnya bukan hanya dirasakan Mbah Paimin. Para seniman dan pekerja seni yang selama ini terlibat pementasan pun harus ikut menanggung dampaknya. Kehilangan pekerjaan dan jadwal manggung berikut honornya.

Ya lumayan Mas. Seminggu saya biasa menerima Rp 225 ribu. Itu belum termasuk sesekali saya juga cokekan di sana. Sekarang sama sekali (tidak menerima honor-red). Mboten saget maringi putu malih. Bahkan kegiatan kemasyarakatan juga sering tidak bisa. Saya juga lebih banyak memanfaatkan waktu membantu istri membuat jajanan dijual keliling kampung. Kadang-kadang juga menerima order memperbaiki sepeda onthel. Kecuali hari Senin, Rabu dan Jumat, masih pentas di Hardjolukito. Di sana saya menerima Rp 150 ribu per minggu,” kata Mbah Paimin yang kini tercatat paling sepuh dalam tim yang terlibat di Sendratari Ramayana.

Sangat sedih

Bramantyo Fendi Prastowo selaku pemeran Rama dalam Sendratari Ramayana juga merasakan dampak serius dari pandemi Covid-19. Meski secara resmi pementasan baru dihentikan Mei 2020, tapi sejak Maret sesungguhnya sudah mulai terasa. Mewabahnya virus Corona mempengaruhi kunjungan wisatawan yang otomatis juga berdampak pada Sendratari Ramayana.

Dia mengaku sangat sedih. Kondisi ini menjadikan seluruh pekerja seni kehilangan pekerjaan. Bukan itu saja, sebagai sosok yang dituakan di dalam grup karena perannya sebagai tokoh Rama, Fendi juga merasakan dampak lain berupa sulitnya berlatih.

Lama tidak pentas secara teknis jelas akan berpengaruh pada keterampilan para penari, kekompakan dan lain sebagainya. Sebelum pandemi, latihan dilakukan bersama-sama di sela-sela jadwal pentas. Dengan cara ini, seluruh pekerja seni mampu menggalang soliditas dan saling pengertian, yang akan sangat bermanfaat saat pentas yang sebenarnya.

“Tapi sejak pandemi, jangankan pentas latihan saja sangat sulit dilakukan. Harusnya bisa bersama-sama, tapi ini terpaksa latihan sendri. Itu saja mungkin banyak yang tidak berlatih. Karena berlatih sendiri ya tidak enak. Kalau tidak segera berakhir, saya khawatir saat pentas nanti pasti akan banyak kendala dan kekurangan. Badan kaku dan nafas juga pasti berbeda. Perlu waktu yang tidak sebentar untuk bisa tampil maksimal sebagaimana sebelum pandemi,” keluhnya.

Sejauh yang dia tahu, nasib para pekerja seni yang terlibat di Sendratari Ramayana sebagian besar banting stir menekuni jual beli online. Sebagian lagi memilih bertani, bekerja serabutan. Selebihnya bahkan menganggur.

Sangat jarang yang bisa mendapatkan pekerjaan pengganti sesuai bidang yang selama ini mereka geluti. Bahkan, Fendi sendiri yang selama ini memerankan Rama, nyaris tidak mendapat job dari luar.

“Dulu ada saja kerja sampingan. Misalnya performance saat pembukaan acara. Entah seminar, kongres atau acara-acara seremoni lainnya. Tapi sekarang sama sekali. Saya masih beruntung, bersama beberapa kawan sudah tercatat sebagai karyawan tetap di sini (PT TWC),” kata Fendi yang kini menempuh studi pascasarjana. Di balik semua kisah pasti ada hikmah.

Sumber penghidupan

General Manager Unit Teater dan Pentas, Chrisnamurti Adiningrum, mengungkapkan  Sendratari Ramayana selama ini memang menjadi bagian dari sumber penghidupan banyak orang.

Pihaknya bermitra dengan 14 grup, masing-masing beranggotakan sekitar 80 hingga 100 pekerja seni. Artinya, Sendratari Ramayana menjadi tempat bergantung hidup lebih dari 1.000 orang.

Sendratari Ramayana memang menjadi salah satu bagian dari PT TWC yang paling banyak melibatkan personel saat pementasan. Bukan saja para pekerja seninya mulai penari dan pengrawit, tetapi juga bagian teknis, make up hingga personel kebersihan.

Repotnya, meski sendratari ada versi panjang dan versi pendek, tetap saja keterlibatan sekian banyak personel tidak bisa dikurangi.

“Sekali show kita melibatkan setidaknya 150 personel. Bisa lebih. Jadi memang biaya operasional kita juga sangat mahal, walaupun harga tiket kita juga tidak murah,” kata Chrisna.

Sendratari Ramayana, menurut Chrisna, menjadi bagian penting dari PT TWC. Bukan saja melengkapi wisata candi tapi juga menjadi bagian dari upaya melestarikan warisan budaya di Indonesia. Itulah mengapa manajemen bermitra dengan sekian banyak grup, termasuk dari kalangan mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Yogyakarta.

“Sejak awal sendratari dipentaskan tahun 1961, memang membawa misi pelestarian budaya. Artinya, kita tidak melulu berpikir komersial,” katanya.

Manajemen berupaya keras mencari solusi mengatasi pandemi Covid-19. Berbagai upaya dilakukan agar pentas tetap bisa dilakukan. Salah satunya dengan mengadakan pementasan daring.

“Tapi ya tidak mudah. Kita mengadakan pementasan dengan protokol kesehatan, termasuk membatasi jumlah penonton. Otomatis tiket yang kita jual juga terbatas, sementara keterlibatan personel tetap. Kita pernah show sekali dan live di youtube. Penontonnya memang banyak. Saat live ada sekitar 5.000 yang menonton. Tapi tanpa ada sponsor, rasanya sangat sulit. Sangat berat di ongkos,” papar Chrisna.

Sejak pandemi, tidak ada pemasukan dari Sendratari Ramayana.  Satu-satunya sumber pendapatan berasal dari restoran. Itu pun tidak beroperasi sampai malam hari, untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19.

“Ssejauh ini, seperti halnya PT TWC, kami sudah siap seandainya boleh untuk pementasan lagi. Secara internal kita sudah menyiapkan prosedur protokol kesehatan. Tapi kami harus menunggu izin dari Satgas Covid-19. Tanpa izin, kami tidak akan beroperasi seperti semula. Jangan sampai menjadi klaster baru,” kata Chrisna. (*)