UU 13/2012 Diubah? Ahli Hukum Tata Negara Ungkap Urgensinya

Kita sudah konsultasi dengan Gubernur dan Wakil Gubernur untuk merapikan perdais.

UU 13/2012 Diubah? Ahli Hukum Tata Negara Ungkap Urgensinya
Public Hearing rencana perubahan Perdais 2/2015, Senin (20/5/2024), di gedung DPRD DIY. (sholihul hadi/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Sejumlah ahli hukum tata negara memberikan masukan terkait dinamika Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Mereka juga mengungkap urgensinya apakah undang-undang tersebut perlu diubah atau tidak.

Masukan, saran maupun pendapat tersebut disampaikan melalui Public Hearing Panitia Khusus (Pansus) DPRD DIY Perdais 2/2015, Senin (20/5/2024), di gedung DPRD DIY Jalan Malioboro Yogyakarta.

“UU 13/2012 perlu diubah untuk menjamin kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan serta sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 88/2016,” ungkap Andy Omara dari Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM).

Selaku narasumber, dia menjelaskan pada putusan MK 88/2016 dinyatakan frasa yang memuat antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri dan anak dalam pasal 18 ayat (1) huruf m bertentangan dengan UUD dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Seperti diketahui, sejumlah kalangan menilai hilangnya frasa tersebut membuka peluang atau kesempatan perempuan mengisi jabatan Gubernur DIY. Dengan kata lain, jabatan Gubernur DIY tidak harus laki-laki.

Dua pandangan

Andy Omara juga menyampaikan makna dari putusan MK. Disebutkan, pasal 18 (1) huruf m UU 13/2012 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal tersebut tidak dapat digunakan walaupun UU 13/2012 belum diubah.

Pertanyaannya, lanjut dia, terdapat dua pandangan mengenai perubahan UU 13/2012. Pertama, putusan MK tersebut bersifat self-executing sehingga tidak perlu tindak lanjut dari pembentuk UU.

“Mengapa? Karena putusan MK menyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan tidak secara langsung memerintahkan pembentuk UU untuk melakukan perubahan,” ucapnya.

Kedua, menurut Andy Omara, putusan MK perlu ditindaklanjuti pembentuk UU sebagaimana dijelaskan dalam pasal 10 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Pertanyaanya lagi, lanjut dia, bagaimana jika belum dilakukan perubahan atas UU 13/2012? “Pasal 18 (1) m UU 13/2012 tetap tidak bisa digunakan sebagai dasar hukum karena sudah ada putusan MK yang membatalkan pasal tersebut,” ujarnya pada public hearing yang dipimpin Heri Dwi Haryono selaku ketua pansus.

Daya ikat

Andy Omara menambahkan, urgensi perubahan UU 13/2012 untuk mengantisipasi dan menghindarkan perbedaan pandangan yang mungkin terjadi antara self-executing-nya putusan MK de kedua, fakta bahwa UU 13/2012 masih memuat frasa lama yang sudah dibatalkan MK.

Narasumber lainnya, Andi Irmanputra Sidin, menyampaikan pandangannya mengenai eksistensi Putusan Mahkamah Konstitusi. Ahli Hukum Tata Negara yang juga Vice President Kongres Advokat Indonesia itu antara lain membahas mengenai daya ikat Putusan MK. Di dalam pasal 47 UU MK disebutkan Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.

Sedangkan Heri Dwi Haryono menyatakan masukan, saran dan pendapat dari ahli maupun masyarakat akan digunakan sebagai bahan diskusi pansus DPRD DIY terkait dengan rencana perubahan Perdais No 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan, Pelantikan, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Gubernur & Wakil Gubernur.

“Ada hal-hal menarik untuk kita diskusikan agar perubahan perda lebih ada kepastian hukum. Kita sudah konsultasi dengan Gubernur dan Wakil Gubernur untuk merapikan perdais agar tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari,” ujarnya.

Saat sesi dialog sekaliugs menjawab pertanyaan mengenai kesiapan DPRD DIY seputar rencana perubahan Perdais itu, Heri Dwi Haryono di hadapan peserta rapat dengar pendapat berasal dari kalangan kampus, Pura Pakualaman, Keraton Yogyakarta serta dinas dan instansi terkait menyatakan DPRD DIY tidak bisa masuk ke ranah Keraton Yogyakarta maupun Pura Pakualaman. (*)