Puasa dan Hikmah Kebangsaan

Puasa dan Hikmah Kebangsaan

APALAH artinya puasa, bila kehidupan bersama dalam ranah kebangsaan tidak menjadi semakin nyaman dan tenteram? Boleh jadi, puasa sekadar rutinitas. Atau mungkin, puasa sekadar untuk menggugurkan kewajiban. Sungguh celaka, bila puasa hanya kepura-puraan, demi citra semata.

Pertanyaan dan pernyataan di atas sengaja dijadikan awal pembicaraan tentang puasa, agar hikmah puasa ramadhan tahun ini benar-benar dapat terejawantahkan dalam kehidupan bersama seluruh komponen bangsa Indonesia. Artinya, melalui puasa ramadhan, dapat dihasilkan perubahan signifikan perilaku bangsa, ke arah terwujudnya perilaku taat pada perintah-perintah-Nya, sekaligus terjauhkan dari segala bentuk pelanggaran terhadap larangan-larangan Allah SWT. Dalam kalimat singkat dan padat, target puasa ramadhan yakni menjadi orang bertaqwa, benar-benar dapat diraih. Tersirat dalam firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, [QS. al-Baqarah (2): 183]

Telah menjadi pemahaman dan keyakinan umat Islam, bahwa puasa ramadhan adalah salah satu bentuk ibadah yang sudah ditentukan syarat dan rukunnya. Oleh sebab itulah, maka pelaksanaanya terikat pada berbagai syarat dan ketentuan yang ditetapkan Allah SWT. Begitu pentingnya kaidah demikian, maka para ulama mengingatkan bahwa berbagai pandangan, pendapat, ataupun tafsir dan takwil mengenai tuntunan ibadah puasa ramadhan, tidak boleh diikuti, kecuali berdasarkan dalil yang bersumber dari al-Qur`an dan as-Sunnah, penunjukan keduanya.

Puasa ramadhan harus diniatkan karena perintah dan demi ridha Allah SWT semata. “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar)” [QS. al-Bayyinah (98): 5].

“Dari Umar r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya semua perbuatan ibadah harus dengan niat, dan setiap orang tergantung pada niatnya …” [Ditakhrijkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Iman]. Bahkan, Nabi Muhammad saw bersabda pula bahwa puasa tidak sah jika tidak didahului dengan niat. “Dari Hafshah Ummul Mu’minin r.a. (diriwayatkan bahwa) Nabi SAW bersabda: Barangsiapa tidak berniat puasa pada malam hari sebelum fajar, maka tidak sah puasanya.” [Ditakhrijkan oleh Al-Khamsah, lihat Ash-Shan‘aniy, II, 153].

Sudah tentu, tuntunan berpuasa ramadhan bersifat universal. Artinya, berlaku umum, bagi muslimin/muslimat manapun, tak terikat batas negara atau bangsa tertentu. Dalam pengertian demikian, maka upaya mengambil hikmah puasa ramadhan bagi bangsa Indonesia, dapat dikategorikan sebagai upaya membumikan tuntunan puasa ramadhan, sesuai atau dalam konteks jati diri bangsa Indonesia.

Untuk memahami jati diri bangsa Indonesia, perlu diawali dari firman Allah SWT: “Wahai manusia, sesungguhnya, Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang wanita, dan menjadikanmu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” [QS. al-Hujarat (49): 13].

Terpulang pada firman Allah SWT di atas, memang benar, bangsa Indonesia terdiri dari berbagi suku bangsa. Jumlahnya sedemikian banyak. Karakter dan budayanya berbeda-beda. Walau demikian, perbedaan-perbedaan tersebut, telah diupayakan diminimalisir, untuk selanjutnya dicari kesamaan-kesamaannya, sebagai sarana perekat kesatuan antar-mereka. Momentum Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928, dijadikan tonggak komitmen persatuan antar-berbagai suku bangsa itu menjadi bangsa Indonesia. “Kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe berbangsa satoe bangsa Indonesia”. Itulah komitmen kebangsaan yang memiliki nilai historis tinggi dan mulia.

Persatuan sebagai bangsa itulah yang kini perlu (wajib) diaktualiasikan sebagai bentuk saling menghormati, saling mengakui, bahkan saling melindungi antarsuku, antar-pemeluk agama yang berbeda-beda, utamanya ketika umat Islam sedang menunaikan ibadah ramadhan. Umat Islam yang lurus dalam menjalankan agamanya, pastilah bersikap toleran dan berwawasan kebangsaan. Itulah jati diri umat Islam. Tak perlu umat agama lain, atau siapa pun, mengajari umat Islam soal-soal beribadah pada bulan puasa, apakah soal: berbuka, shalat taraweh, zakat, toleransi, dan lain-lain. Umat Islam sudah dewasa, tahu diri, tak minta-minta dihormati ketika sedang berpuasa. Justru, sikap ramah, sopan, santun, lemah-lembut, sebagai karakter islami, dipupuk melalui puasa ramadhan.

Dalam pada itu, komponen bangsa non muslim/muslimah, hendaknya mengenal dan memahami karakter islami itu dengan sikap serupa. Artinya, sikap ramah, sopan, santun, lemah-lembut, semestinya juga dibuktikan dalam perilaku keseharian. Bila semangat kebangsaan demikian terjaga, sangat diyakini, upaya-upaya mengadu domba antar-umat beragama dapat dicegah dan ditangkal.

Hendaknya dipahami bersama, bahwa dalam ranah kebangsaan, bulan ramadhan, bukanlah sekadar milik umat Islam saja, melainkan milik komponen bangsa seluruhnya. Semuanya, mestinya, berupaya untuk meningkatkan kesalehan individual, kesalehan sosial-kebangsaan, hingga upaya peningkatan ketaqwaan kepada Allah SWT. Khusus untuk umat Islam, puasa ramadhan, hendaknya dijadikan momentum, sarana pelatihan, untuk penajaman empati, kepekaan sosial-kebangsaan, dan membangun solidaritas terhadap sesamanya.

Berkaitan dengan pemikiran di atas, sekaligus refleksi atas situasi kebangsaan Indonesia hari-hari ini, maka izinkan saya menyampaikan pesan-pesan moral-kebangsaan sebagai berikut: Pertama, luruskan niat puasa ramadhan karena dan demi Allah SWT. Jangan sekali-kali terkomtaminasi noda-noda politik, kesukuan, ego-keagamaan, dan ego-ego lainnya.

Kedua, internalisasikan spirit dan nilai-nilai puasa ramadhan pada masing-masing individu, dan oritentasikan untuk kemaslahatan bangsa.

Ketiga, aktualisasikanlah nilai-nilai islami, agar nilai-nilai tersebut mewarnai rona kehidupan bangsa, sehingga terjalin hubungan harmonis antar-sesama komponen bangsa.

Keempat, apapun yang selama ini terserak dan terkoyak sebagai keretakan bangsa, perlu dirajut, ditenun, dan dijahit lagi, agar terjalin sebagai persatuan bangsa. Sungguh tak elok, bila sesama umat Islam saling berolok-olok soal-soal khilafiah, hanya karena perbedaan organisasi, partai, atau kelompok tempat bernaung. Belum sempurnalah iman seseorang, hingga mencintai saudaranya (bangsanya) sebagaimana mencintai dirinya sendiri.

Wallahu’alam.***

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM