Prima Sari Merasa Prihatin, Kesehatan Mental Remaja di Yogyakarta Rendah
Pada 2022 Gen Z menjadi generasi yang paling banyak merasa memiliki masalah kesehatan mental.
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Pemerhati masalah sosial, ekonomi dan kesehatan, Dra Prima Sari, merasa prihatin penderita gangguan mental di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memempati urutan kedua di Indonesia setelah Provinsi Bali. Tekanan hidup hingga impitan ekonomi yang dialami sebagian masyarakat menjadi salah satu alasannya.
Padahal, Yogyakarta yang diberikan julukan Kota Pelajar memiliki jumlah remaja dan pelajar yang cukup banyak. Artinya, kesejahteraan dan kesehatan remaja menjadi pembahasan penting terkait dengan kondisi remaja DIY.
“”Namun, kenyataannya masih banyak kasus kesehatan mental dan tingkat kesehatan mental yang rendah pada remaja DIY. Berdasarkan data Dinas Kesehatan tahun 2016, jumlah kasus kesehatan mental di DIY tahun 2016 sebanyak 12.322 dari total penduduk 3,594 juta orang yang mengalami gangguan kesehatan mental berat,” ujarnya kepada wartawan, Jumat (5/1/2024).
Menurut dia, kesehatan mental dipengaruhi oleh peristiwa dalam kehidupan yang meninggalkan dampak yang besar pada kepribadian dan perilaku seseorang. Peristiwa-peristiwa tersebut dapat berupa kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan anak atau stres berat jangka panjang.
ARTIKEL LAINNYA: Anggaran Pendidikan Kabupaten Purworejo Rp 642 Miliar
“Jika kesehatan mental terganggu, maka timbul gangguan mental atau penyakit mental. Gangguan mental dapat mengubah cara seseorang dalam menangani stres, berhubungan dengan orang lain, membuat pilihan, dan memicu hasrat untuk menyakiti diri sendiri, bahkan bunuh diri,” ungkapnya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Kapolda DIY Irjen Suwondo Nainggolan tatkala memberikan Pidato Kebangsaan di Universitas Amikom Yogyakarta 23 Agustus 2023, jumlah kasus bunuh diri di provinsi ini selama 2023 cukup signifikan mencapai 36 kasus.
Adapun rinciannya, yang berusia di bawah 20 tahun terdapat dua kasus, jumlah kasus bunuh diri pada orang yang berusia 20-40 tahun sebanyak 14 orang. Kemudian, orang-orang yang berusia 41-60 tahun sebanyak delapan kasus dan di atas 60 tahun sebanyak 12 kasus.
Motif bunuh diri beragam, mulai dari gangguan mental, sakit menahun, depresi, hingga asmara. Semestinya para mahasiswa menghubungi orang tua mereka jika ada masalah sebab orang tua adalah orang yang paling memahami anaknya.
ARTIKEL LAINNYA: Dari Aksi Bersih Sampah di Pantai Pandansari Bantul, Satu Truk Terkumpul
Sejumlah faktor dalam Indeks Kebahagiaan di DIY angkanya juga dinilai lebih buruk dari rata-rata nasional. Ini tak hanya menyangkut aspek ekonomi melainkan juga kesehatan dan pendidikan.
Disebutkan, berdasarkan survei terhadap penanganan kesehatan mental pada remaja yang dilakukan Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) tahun 2021, penyelesaian masalah yang paling sering dilakukan adalah bercerita pada teman (98,7 persen), menghindari masalah yang dihadapi (94,1 persen) dan mencari informasi tentang cara mengatasi masalah dari internet (89,8 persen).
Namun, sebagian juga berakhir dengan menyakiti diri mereka sendiri (51,4 persen) atau bahkan menjadi putus asa disertai keinginan mengakhiri hidup (57,8 persen).
Lebih lanjut Prima Sari menyampaikan, pada 2022 Gen Z memang menjadi generasi yang paling banyak merasa memiliki masalah kesehatan mental dibandingkan generasi X dan generasi milenial.
ARTIKEL LAINNYA: SMPN 1 Sedayu Bantul Merayakan HUT ke-51
Setidaknya terdapat 59,1 persen Gen Z yang merasa memiliki masalah kesehatan mental, sementara generasi milenial hanya sebanyak 39,8 persen dan Gen X 24,1 persen.
Apakah dari data tersebut menunjukkan bahwa Gen Z memiliki mental yang lemah? Faktanya, kata dia, setiap generasi memiliki risiko yang sama untuk mengalami masalah mental. Hanya saja, Gen Z hidup di era internet yang membuat mereka lebih mudah mencari informasi terkait kesehatan mental.
Informasi tersebut kemudian membuat Gen Z lebih melek, dalam tanda kutip, dengan kondisi mental yang dimilikinya. Mungkin saja generasi terdahulu sebenarnya merasakan apa yang dirasakan oleh Gen Z.
Akan tetapi, mereka belum mengetahui istilah-istilah terkait kesehatan mental seperti anxiety, burnout, panic attack dan sejenisnya. Selain itu, adanya pandemi selama 2019 hingga 2022 juga berpengaruh pada kondisi mental khususnya pada remaja.
ARTIKEL LAINNYA: Polri Cegah Penggunaan Knalpot Brong untuk Kampanye Terbuka
Ini terjadi karena waktu yang umumnya digunakan untuk mengenal banyak orang, mencoba berbagai hal baru dan memasuki tahap peralihan dari anak-anak ke remaja dan remaja ke dewasa terpaksa dihabiskan dengan berdiam diri di rumah.
Prima Sari menambahkan, kondisi yang cukup mencekam pada masa pandemi, keterbatasan interaksi secara langsung, banyaknya kabar duka, dan ketidakpastian akan segala sesuatu rentan memicu berbagai masalah kesehatan mental pada generasi Z.
Media sosial dan Gen Z bagaikan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Sayangnya, jika tidak digunakan secara bijak, informasi pada media sosial bisa berpengaruh terhadap kesehatan mental generasi Z.
“Apa yang terlihat di media sosial sering kali menjadi standar dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Padahal, apa yang terlihat di media sosial tak jarang hanyalah sisi baik dari satu hal saja,” kata Prima Sari.
ARTIKEL LAINNYA: Kemenag Mengeluarkan Imbauan untuk Mewujudkan Pemilu Damai
Prima Sari yang juga calon legislatif DPR RI dari Partai Demokrat untuk Daerah Pemilihan (Dapil) DIY ini mengatakan salah satu dampak media sosial pada remaja yaitu stres karena mereka tidak bisa mengikuti “standar” orang lain.
Hal ini juga yang membuat risiko masalah kesehatan mental lebih tinggi pada generasi Z. Oleh karena itu, penting untuk menyaring informasi yang beredar di internet. Bagi orang tua, apalagi dengan anak-anak di bawah umur, hendaknya memberikan pendampingan kepada anak saat menggunakan internet.
“Bekali anak dengan mengajarkannya cara menggunakan internet dengan bijak serta bermain media sosial dengan aman. Media sosial sering kali juga digunakan sebagai tempat curhat untuk menyalurkan emosi negatif. Sayangnya, hal ini sering kali menjadi bumerang bagi kesehatan mental generasi Z,” tambahnya.
Apa yang ditampilkan pada media sosial, menurut Prima Sari, tidak lepas dari berbagai konsekuensinya. Semua orang perlu sangat berhati-hati dalam berkomentar, posting maupun berbagi informasi di dunia maya.
ARTIKEL LAINNYA: Keripik Belut Khas Sleman Jadi Buruan Wisatawan untuk Oleh-oleh
“Jika menghadapi suatu permasalahan, pertimbangkan kembali sebelum Anda membagikan segala sesuatu ke media sosial. Akan lebih baik jika dicari penyebab utama dari masalah yang sedang dihadapi dan berusaha memperbaikinya dari sana ketimbang berkeluh kesah atau curhat pada media sosial”, kata Prima Sari.
Adanya fenomena peningkatan kasus gangguan jiwa pada remaja dan penanganan permasalahan mengenai kesehatan mental remaja belum efektif dan tidak merata dipahami oleh semua kalangan, Prima Sari menyatakan, hal ini tentu menjadi masalah yang penting dan berdampak terhadap perkembangan psikologis remaja di Yogyakarta.
“Peningkatan gangguan mental berkaitan dengan ketidakinginan remaja untuk mencari bantuan profesional dan tersebarnya informasi yang tidak relevan mengenai kesehatan mental dari yang bukan ahlinya. Remaja merasa permasalahanya kurang serius untuk ditangani dan lebih memilih temannya untuk menjadi sumber dukungan. Kurangnya perhatian orang tua terhadap perubahan perilaku yang terjadi pada remaja membuat remaja tidak mendapatkan dukungan sosial yang memadai,” terangnya.
Prima Sari mengungkapkan permasalahan sosial dan kurangnya dukungan sosial rentan memicu depresi pada remaja, terutama ketika tidak adanya penerimaan diri dan lingkungan. Munculnya konflik internal dalam diri juga dapat memicu remaja untuk mengalihkan masalah dengan menggunakan zat sedatif, hingga memunculkan komorbiditas depresi.
ARTIKEL LAINNYA: Pembuktian Teknologi Fuelcell, Publik Figur Ramaikan Run Your Way Town to Town Planet Sports Run
Dia mengakui, peran lingkungan terhadap kesehatan mental berbanding terbalik dengan kasus-kasus yang ada. Masih adanya penolakan terhadap gangguan jiwa menjadi salah satu penyebab terjadi stigma negatif pada remaja yang memiliki gangguan kejiwaan.
Semestinya remaja menjadi agen perubahan terhadap stigma negatif yang berkembang mengenai kesehatan mental. Oleh karena itu, penting bagi remaja untuk memahami kesehatan mental dengan dimulai dari dirinya sendiri.
“Remaja merupakan usia yang paling tepat untuk memberikan edukasi, baik pada usia di bawahnya maupun pada orang dewasa, terutama lingkungan keluarga. Adanya perbedaan pemahaman dalam penggunaan media digital, di mana pada orang dewasa jarang menggunakan teknologi, menjadi masalah tersendiri dalam edukasi literasi kesehatan mental,” tandasnya.
Hal ini dikarenakan usia remaja dianggap usia paling efektif dalam memulai edukasi berbasis media. “Remaja juga dapat saling memengaruhi remaja lainnya secara positif dalam hal pemahaman dan kebiasaan terhadap suatu tren,” kata Prima Sari. (*)