Peringati Hari Ibu, FKBB Jateng-DIY Selenggarakan Sarasehan Budaya

Peringati Hari Ibu, FKBB Jateng-DIY Selenggarakan Sarasehan Budaya

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Dalam rangka memperingati Hari Ibu yang jatuh di setiap tanggal 22 Desember, Forum Komunikasi Buruh Bersatu (FKBB Jateng-DIY) menyelenggarakan kegiatan Sarasehan Budaya. Acara yang berlangsung di Balai Utari kompleks gedung Mandala Bhakti Wanitatama Yogyakarta kali ini bertajuk Perjuangkan Kesejahteraan Buruh Perempuan.

Selain ditampilkan karya-karya seni dan budaya dari buruh perempuan di Yogyakarta yang menjadi bagian dari FKBB Jateng-DIY, juga ada pertunjukan karya puisi, pameran lukisan serta panggung musik.

Adapun acara inti, Rabu (22/12/2021), adalah diskusi publik yang menghadirkan narasumber yaitu Dr Hj Yuni Satiya Rahayu SS M Hum (anggota DPRD DIY), Dr Sri Wiyanti Eddyono SH LLM (dosen FH UGM) dan Sriyati SPd MM selaku Sekretaris Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DIY.

Waljid Budi sebagai ketua panitia sarasehan budaya dalam sambutannya menyampaikan acara ini merupakan kerja bareng antara Serikat Pekerja dan Serikat Buruh yang tergabung dalam FKBB Jateng – DIY.

Tujuannya untuk memberi apresiasi dan mendorong perlindungan yang lebih baik bagi buruh perempuan, yang bertepatan dengan peringatan hari ibu.

“Peran perempuan sering berlipat ganda, selain harus menjadi tulang punggung, di rumah dia juga harus menjadi pelayan bagi suaminya. Hal tersebut harus dihentikan, karena perempuan dan laki-laki memiliki tanggung jawab yang sama, baik sebagai pencari nafkah atau pun mengurus rumah tangga,” kata Waljid.

Sebelum masuk acara inti, terlebih dahulu dilakukan ada pembacaan statemen politik oleh Ningrum Yuli Wulandari, seorang buruh perempuan dari pabrik rokok di kabupaten Kulonprogo.

Wulan memberi catatan tebal pada lemahnya perlindungan berserikat, dengan masih maraknya kasus-kasus union busting yang dilakukan oleh pengusaha, dan buruknya perlindungan bagi buruh perempuan di tempat kerja.

Dipandu Adriana Wulandari SE selaku anggota Komisi D DPRD DIY, narasumber pertama Sri Wiyanti Eddyono memaparkan hasil penelitiannya berkaitan kekerasan terhadap buruh perempuan Indonesia.

Berdasarkan hasil penilitiannya sampai hari masih banyak kasus kekerasan terhadap perempuan, meskipun tidak kurang kasus-kasus yang sudah ditindak secara hukum. “Dibutuhkan peran banyak pihak untuk menghentikan kasus kekerasan terhadap perempuan,” Tegas Bu Iyik, panggilan akrabnya.

Menurut dia, kasus kekerasan terhadap perempuan termasuk di dalamnya pelecehan seksual mengalami perkembangan. Tentang pelecehan seksual, misalnya diatur secara lebih terperinci dalam penjelasan CEDAW No 19/1992.

Adapun yang terbaru yakni CEDAW 2017 yang disusun berdasarkan perkembangan zaman saat ini, seperti perlindungan terhadap reproduksi, kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan kekerasan seksual via internet atau di dalam dunia digital.

Sedangkan Yuni Satia Rahayu sebagai narasumber kedua memaparkan rancangan program-program yang mencoba dia dorong untuk menjadi program pemerintah DIY. Sekarang ini, program peningkatan kapasitas bagi perempuan bisa diakses oleh masyarakat.

Anggota DPRD DIY yang juga terkenal sebagai aktivis perempuan ini bercerita tentang perjuangannya bersama aktivis-aktivis perempuan lainnya di dalam mendorong adanya sebuah perlindungan dari kekerasan seksual, sampai akhirnya masuk Prolegnas 2016.

Dia juga menyayangkan sampai hari ini RUU PKS belum disahkan menjadi UU. “sayang sekali DPR RI untuk kesekian kali menunda pengesahan RUU PKS,” kata Yuni.

Narasumber ketiga, Sriyati, dalam kesempatan itu antara lain memaparkan tentang hak cuti bagi perempuan pekerja. Dia menegaskan, perusahaan tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap pekerja perempuan.

“Tidak boleh ada diskriminasi upah sepanjang job kerjanya sama. Pemberi kerja dilarang melakukan PHK keterhadap perempuan ketika sedang menjalankan fungsi reproduksi atau ketika gugur kandungan,” kata dia.

FKBB yang diwakili oleh Ali Prasetyo mengharapkan beberapa poin dari sarasehan budaya ini, seperti peningkatan kapasitas bagi perempuan benar-benar tepat sasaran dan tidak menjadi program yang sia-sia, atau tidak memberikan kemanfaatan bagi perempuan. (*)