Mbah Marto Legenda Kuliner Mangut Lele Berpulang pada Usia 96 Tahun

Selama 54 tahun Mbah Marto mengukir sejarah kuliner Yogyakarta.

Mbah Marto Legenda Kuliner Mangut Lele Berpulang pada Usia 96 Tahun
Karangan bunga memenuhi jalan masuk di gang kediaman sekaligus dapur legenda Mangut Lele Mbah Marto. (muhammad zukhronnee muslim/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Mbah Marto Ijoyo, legenda pemilik warung Mangut Lele di Sewon Bantul telah berpulang pada usia 96 tahun. Sosoknya meninggalkan warisan tak ternilai bagi dunia kuliner Yogyakarta.

Di sebuah dapur sederhana yang telah berdiri sejak 1969, tangan-tangan keriput Mbah Marto tak pernah lelah mengiris lombok (cabai) hingga akhir hayatnya. Pada usia 96 tahun, sosok di balik kelezatan Warung Mangut Lele Mbah Marto yang legendaris itu masih teguh dengan rutinitasnya, meski tubuhnya tak sekuat dulu.

"Pon, lomboke wis diiris durung? (Pon, cabainya sudah diiris belum?)" Pertanyaan itu terus terngiang di telinga Poniman SE, putra kelima Mbah Marto, bahkan hingga malam terakhir sebelum sang ibu berpulang, Rabu (6/11/2024) pukul 04:30.

"Tadi malam masih tanya, Pon, aku ki ra dinehi lombok e. (Pon, aku tidak diberi cabainya?). Saya bilang, Mbok, sudah jam satu, istirahat dulu. Setengah lima pagi, Simbok dipanggil Yang Maha Kuasa dengan tenang," kata Poniman.

Langkah kecil

Perjalanan Mbah Marto membangun dapur legendanya dimulai dari langkah kecil yang penuh perjuangan. Dari tahun 1970 hingga 1983, dia menggendong dagangannya berkeliling dari Sewon ke Pasar Beringharjo hingga kawasan Keraton Yogyakarta. Tanpa sepeda, tanpa kendaraan, hanya bermodal kegigihan dan masakan yang otentik.

"Simbok bukan orang kaya, sepeda aja nggak punya. Simbok berjualan dengan cara digendong sampai Pasar Beringharjo yang jaraknya tujuh kilometer dari sini, lalu keraton hingga hanya Plengkung Gading," kata dia.

"Semakin lama semakin ke selatan karena usia terus bertambah. Tahun 1986 akhirnya menetap hanya berjualan di kampung," jelas Poniman, yang kini meneruskan warisan kuliner ibunya.

"Saya mewakili keluarga Mangut Lele Mbah Marto, yang sudah puluhan tahun melayani pelanggan dari Nusantara bahkan internasional, memohon maaf bila ada kesalahan yang disengaja maupun tidak. Semoga Simbok diberikan tempat terbaik di sisi Allah SWT," ucap Poniman mengakhiri perbincangan.

Tipikal Jawa

Samidi (70), yang kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari Dapur Legend Mbah Marto, menambahkan, sosok Mbah Marto merupakan tipikal orang Jawa tulen.

"Mbah Marto itu tipikal wong Jawa tulen (orang Jawa asli). Tidak bisa berhenti bekerja meski tubuh sudah tidak sekuat dulu. Setiap hari harus diberi kesibukan, walau cuma pekerjaan ringan. Kalau tidak, dia marah. Sejak kecil, kami anak-anak kampung sini senang sekali membantu di dapur," kenang Samidi tersenyum.

Mereka dengan suka hati membantu bukan mengharapkan imbalan. "Bukan karena dibayar, tapi karena bisa makan enak. Di rumah, makanan kami ya biasa saja. Tapi di warung Simbok, semua masakan untuk dijual, jadi rasanya istimewa,” kenangnya.

Bagi Samidi, dedikasi Mbah Marto terhadap pekerjaannya adalah pelajaran hidup yang tak ternilai. Dari seorang anak desa yang dulu hanya membantu demi bisa makan enak, kini dia menjadi salah seorang penjaga warisan kuliner yang telah mendunia.

Ketulusan

"Simbok mengajari kami bahwa kerja keras dan ketulusan dalam memasak itu yang utama. Masakan bisa enak kalau yang masak juga senang dengan pekerjaannya," ujarnya.

Kesederhanaan dan ketekunan Mbah Marto membuahkan hasil. Warungnya kini menjadi destinasi kuliner yang dikunjungi berbagai kalangan, mulai dari menteri hingga artis ternama.

Mantan Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, Mantan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah hingga sejumlah pejabat tinggi kepolisian telah mencicipi kelezatan masakan Mbah Marto.

Selain itu tak terhitung jumlah artis yang pernah makan di dapur legenda Mbah Marto. Sebut saja Guruh Soekarnoputra, Ari Lasso, Sujiwo Tejo, Soimah hingga Atta Halilintar. "Banyak yang tidak dipajang, nggak muat tempatnya," ujar Poniman.

Menjaga warisan

Kini, warung yang memiliki 13 karyawan itu akan tutup selama tujuh hari sebagai penghormatan terakhir. Namun bagi Samidi dan rekan-rekan seperjuangannya, semangat Mbah Marto akan terus hidup dalam setiap masakan yang mereka hidangkan.

"Kami yang dari kecil dibesarkan di dapur ini akan terus menjaga warisan Mbah Marto," janjinya dengan suara bergetar.

Pada sudut dapur legenda yang kini sepi, aroma rempah-rempah masih tercium. Seperti kenangan akan Mbah Marto yang akan terus hidup dalam setiap irisan lombok dan dalam hati setiap orang yang pernah merasakan kelezatan masakannya - termasuk Samidi, saksi hidup perjalanan seorang legenda kuliner Yogyakarta. (*)