Manuskrip Asli Hilang, Kamus Al Munawwir Kini Bisa Diakses secara Digital

Naskah asli kamus yang ditulis selama puluhan tahun itu tebalnya lebih dari 3.500 halaman.

Manuskrip Asli Hilang, Kamus Al Munawwir Kini Bisa Diakses secara Digital
Haul KH M Munawwir bin Abdullah Rosyad ke-85 dan KH Ahmad Warson Munawwir ke-11 serta Launching Aplikasi Kamus Al Munawwir, Sabtu (23/12/2023). (sholihul hadi/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Kamus Bahasa Arab Al Munawwir tetap menjadi rujukan utama jutaan santri maupun mereka yang belajar bahasa Arab. Kini, kamus legendaris karya KH Ahmad Warson Munawwir atau Mbah Warson dari Pondok Pesantren (Ponpes) Al Munawwir Krapyak Yogyakarta itu sudah bisa diakses secara digital.

Di balik itu semua, ada catatan sendu. Ini karena manuskrip asli kamus tersebut hilang tidak diketahui rimbanya. Adalah KH Dr Muhammad Kholid Arif Rozaq S Hut MM atau Gus Khalid, Pengasuh Pondok Pesantren Al Munawwir Kompleks Q Krapyak Yogyakarta itu mengungkapkan kisah tersebut, Sabtu (23/12/2023).

Di hadapan para kiai serta tamu undangan termasuk Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf saat Majelis Haul KH M Munawwir bin Abdullah Rosyad ke-85 dan KH Ahmad Warson Munawwir ke-11 dan Launching Aplikasi Kamus Al Munawwir, siang itu Gus Khalid bercerita hilangnya manuskrip asli tulisan tangan itu tak berselang lama usai gempa bumi Yogyakarta 27 Mei 2006.

“Manuskrip itu, kersane Gusti Allah, ditaruh di kopor. Saya masih menangi. Kalau nggak salah gempa 2006 itu dibersihkan. Ditaruh di belakang. Mungkin dikira ora kanggo, ilang. Masyaallah. Itu tulisan tangan beliau. Artinya apa, itu kalau dilacak sudah nggak bisa, siapa yang mau nulis lagi,” ujar Gus Khalid.

Sambutan tuan rumah saat Haul KH M Munawwir bin Abdullah Rosyad ke-85 dan KH Ahmad Warson Munawwir ke-11 dan Launching Aplikasi Kamus Al Munawwir. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Meski kamus versi cetak sudah lama beredar namun hilangnya naskah asli bagi Ponpes Al Munawwir itu masih membekas. Naskah asli kamus yang ditulis selama puluhan tahun itu tebalnya lebih dari 3.500 halaman. Oleh penerbit diringkas. Rujukan tidak dimasukkan. “Alhasil, menjadi 1.700 halaman,” ungkapnya.

Dumadakan, kata Gus Khalid, ada tawaran digitalisasi kamus disertai dukungan dari Bank Syariah Indonesia (BSI) serta PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama).

Singkat cerita, tersusun kamus Al Munawwir digital, disertai dengan penyempurnaan data-data berupa rujukan meski tidak mungkin 100 persen kembali.

“Kamus Al Munawwir digital ini sesuatu yang berharga. Manuskrip aslinya membutuhkan rujukan. Misalkan mufrodad (kosa kata) qasama, nek teng Quran rujukane apa? Hadisnya apa?” ujarnya mencontohkan.

Ketua Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) PBNU, KH Hodri Ariev. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Dengan Kamus Al Munawwir digital, lanjut dia, bisa langsung diketahui secara detail. Menggunakan agloritma, pada kamus digital yang disusun ulang oleh para santri dan kiai itu tersedia fitur-fitur tersebut.

“Misalnya faala, di Quran apa saja. Hadisnya apa. Begitu di-klik langsung keluar. Jadi, sesuatu yang hilang, kalau Allah SWT menghendaki, bisa dikembalikan lagi dengan teknolgi digital. Itulah kelebihan era digital sekarang,” jelasnya.

Gus Khalid berharap semua orang terlebih para santri maupun alumni pesantren bisa memiliki kamus tersebut. “Jika tidak punya Kamus Al Munawwir digital, kebangeten. Wis digawekke penak, ora perlu nggembol gedhe-gedhe,” harapnya.

Analoginya, jangan sampai membeli game online seharga ratusan ribu rupiah rasanya enteng sebaliknya beli kamus digital terasa berat. “Mudah-mudahan kita semua dimudahkan oleh Allah SWT membeli hal-hal yang positif,” kata Gus Khalid.

Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menyampaikan keterangan saat diwawancarai wartawan. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Group Head-Islamic Ecosystem Solution Group BSI, Ahsin Muhammad, menyampaikan PT Bank Syariah Indonesia merasa bersyukur bisa membersamai proses digitalisasi Kamus Al Munawwir.

“Mudah-mudahan apa yang kami lakukan ini ada manfaat yang dapat dipetik, berguna untuk seluruh jaringan pesantren yang terafiliasi dengan RMI dan jutaan masyarakat santri yang lain,” ujarnya.

Dari 29 ribu pesantren yang tercatat di Kementerian Agama, PT BSI yang saat ini memiliki 19 juta nasabah di Indonesia sudah membersamai 8.000 pesantren di Indonesia.

Ketua Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI), KH Hodri Ariev, kepada wartawan menyampaikan sebagai salah satu badan otonom (banom) PBNU pihaknya merasa bangga bisa bekerja sama dengan BSI meluncurkan kamus digital Al Munawwir.

ARTIKEL LAINNYA: Lumbung Mataraman Guwosari Bantul Resmi Dibuka

Selain memudahkan pembelajaran bahasa Arab, kamus tersebut juga bisa untuk menerjemahkan teks bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia lebih akurat dan tepat.

“Kalau sebelumnya kamus itu dalam bentuk buku yang sangat tebal, sekarang hanya dibawa di dalam handphone dan bisa dibuka kapan pun dengan sangat cepat,” ungkapnya.

Artinya, dengan sekali klik bisa ditemukan kata yang dicari di dalam Al Quran dan hadis. Ini berbeda jika dilakukan secara manual butuh waktu lama.

“Tidak hanya makna kata, seperti disampaikan oleh Gus Khalid, di situ kita bisa mencari referensi kata yang terdapat di dalam Al Quran kemudian mencari distribusi kata atau tasrif dalam bentuk kata kerja, mufrad, tasniyah atau tunggal dan jamaknya,” jelasnya.

ARTIKEL LAINNYA: 50 Becak Kayuh Bertenaga Listrik Siap Meluncur di Malioboro, Ini Keunikannya

Kalau pun tidak akrab dengan tasrif bahasa Arab, menurut dia, dengan membuka kamus Al Munawwir digital maka bisa secara mudah menemukan perubahan bentuk katanya.

Di hadapan para kiai sepuh, Ketum PBNU KH Yahya Chalil Staquf memberikan apresiasi atas diluncurkannya kamus Al Munawwir digital. “Semoga kamus digital Al Munawwir tidak kalah barokahnya dengan yang cetakan kertas,” harapnya.

Barokah serta karomah dari para kiai sangat penting pada era sekarang ini. Para kiai itulah yang memberikan pengayoman rohani bagi para santri. “Ekstistensi pondok pesantren yang paling penting adalah pengayoman kiai. Kiai itu harus keramat. Kuncinya memang ada di situ,” tandasnya.

Menurut Gus Yahya, sosok Mbah Warson karomahnya sangat luar biasa. Dia teringat tatkala sepulang sekolah (sekarang SPMN 13 Yogyakarta di Minggiran) setiap lewat rumahnya selalu dipanggil kemudian diajak jagongan. Kadang-kadang diberi cerita, sampai lama.

ARTIKEL LAINNYA: Realisasi PAD Pariwisata Sleman Tahun 2023 Mencapai Rp 319 Miliar

Dari pengalaman itulah, Gus Yahya menyampaikan, saat ini menulis merupakan tradisi yang relatif baru di kalangan pesantren-pesantren bahkan bisa disebut jarang sekali. Padahal tradisi pesantren umurnya sangat tua. Berabad-abad lamanya.

“Tetapi tradisi menulis di kalangan pesantren memang relatif baru.  Sampai sekarang pun belum banyak kiai kita yang mementingkan menulis sebagai bagian dari khidmat ilmiah mengarungi dunia pendidikan pesantren,” jelasnya.

Memang, lanjut dia, terdapat satu-dua orang seperti Kiai Sholeh Darat. Satu lagi, Kiai Nawawi Al Bantani dari Banten yang sangat produktif menulis kitab tetapi tidak menunggui pesantren di Nusantara melainkan di Mekkah.

Menurut Gus Yahya, Kamus Al Munawwir digital ini lahir di tengah suasana jarangnya para kiai menulis kitab. Dulu, di antara kiai yang ngotot ingin mengembangkan kebiasaan menulis salah seorang di antaranya adalah kakeknya, Kiai Bisri Mustofa.

ARTIKEL LAINNYA: Diperkirakan 400 Ribu Wisatawan Masuk Bantul

“Pokoknya menulis. Kalau kiai yang lain itu wiridannya zikir, hizib dan shalawat, kiai Bisri Mustofa itu wiridannya menulis. Sampai-sampai di dalam perjalanan saat diundang pengajian tetap menulis di mobil. Selama belum mengantuk, masih nulis. Apa saja ditulis,” jelasnya.

Gus Yahya mengakui, begitu beragamnya kitab yang ditulis oleh kakeknya sehingga banyak yang aneh. Contoh, kitab berjudul silsilah wayang, mulai dari Abimanyu bin Arjuna bin Pandu bin Sentanu sampai Sang Hyang Wenang.

Satu lagi karya dari Kiai Bisri Mustofa adalah kitab Andheng-andheng. Isinya membahas letak tahi lalat dan karakter seseorang. “Kalau orang andheng-andheng-nya di mbun-mbunan itu wataknya begini. Kalau andheng-andheng-nya dekat mata wataknya begini, kalau di pipi begini dan seterusnya sampai ujung kaki,” ujarnya.

Saat ditanya rujukannya apa karena tidak ada di dalam Al Quran dan hadis atau aqwal ulama, Gus Yahya bercerita kakeknya menjawab enteng saja. Ternyata, pada bagian akhir dari kitab Andheng-andheng itu disebutkan “sedaya wau adhedhasar kira-kira”. “Ndak usah diprotes, wong kira-kira,” ujar Gus Yahya bercanda.

ARTIKEL LAINNYA: Yogyakarta Tujuan Utama Wisatawan Saat Libur Tahun Baru

Kembali ke kamus Al Munawir, Gus Yahya menambahkan, karena kuatnya keinginan mengembangkan tradisi menulis Kiai Warson Munawwir begitu selesai menulis kamus langsung sowan ke Rembang Jawa Tengah.

Niat awal adalah ingin kamus itu disortir atau ditashih supaya lebih singkat dan ringkas saat diterbitkan. Permintaan itu ditolak. Jawabannya tegas: langsung cetak saja.

Pesan dari semua itu, menurut Gus Yahya, santri hari ini harus terpacu sebab masa depan datangnya lebih cepat. Realita saat ini santri tiba-tiba harus berhadapan dengan kenyataan baru berupa teknologi digital.

Menurut dia, keberadaan kamus Al Munawwir digital harus menjadi  momentum yang memacu gairah santri menekuni ilmunya, tanpa meninggalkan barokah dari para kiai. “Teknologi digital saat ini memang menjadi sesuatu yang tidak terelakkan,” tandasnya. (*)