Lebih Dua Ribu Hoaks Pandemi Muncul

Lebih Dua Ribu Hoaks Pandemi Muncul

KORANBERNAS.ID, JAKARTA—Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) menemukan hampir 2 ribu hoaks terkait pandemi. Temuan ini, merupakan hasil penyusuran sejak awal 2020 hingga Agustus 2021. Dari jumlah itu, sebanyak 767 kasus telah mendapatkan tindakan hukum.

“Persisnya ada 1.800 kasus. Kita sangat prihatin, karena informasi yang keliru ini dapat memperburuk situasi pandemi,” kata Dirjen IKP Kementerian Informasi dan Informatika Indonesia, Usman Kansong, S.Sos, M.Si, dalam Dialog Kabar Kamis di Media Center KPCPEN, Kamis (26/8/2021).

Usman mengatakan, maraknya infodemik yang terdiri atas misinformasi, disinformasi serta hoaks mengenai Covid-19 di tengah masyarakat, dapat memperburuk situasi pandemi. Laju penyebaran berita hoaks sering terjadi, karena penerimanya tidak memeriksa kebenarannya saat membagikan ke orang lain dan tidak memahami dampaknya.

Dalam upaya pengendalian pandemi, selain tantangan memutus penyebaran virus, masyarakat juga harus menghadapi gangguan infodemik seputar Covid-19. Informasi palsu dan hoaks pada masa pandemi tersebut tidak hanya berpotensi menghambat, melainkan juga berbahaya.

Hoaks, kata Usman, tumbuh subur pada masa krisis atau ketika terdapat dinamika tinggi dalam masyarakat. Situasi pandemi tergolong multikrisis, karena terjadi krisis kesehatan sekaligus krisis ekonomi.

“Guna mengatasi hoaks, kami menerapkan dua strategi. Yang pertama, di sisi hulu, berupa edukasi literasi digital masyarakat. Sedangkan pada sisi hilir Kemenkominfo melakukan tindak lanjut berupa kontra narasi, penegakan hukum atau pencabutan berita dari platform digital. Kita bekerjasama dengan pengelola platform digital untuk menurunkan konten digital yang masuk kategori hoaks. Sedangkan untuk sanksi hukum, itu masuk ranah kawan-kawan penegak hukum,” katanya.

Menurut Usman, hoaks makin masif terdorong oleh teknologi digital. Karena itu, upaya transformasi digital tidak hanya bertumpu pada perluasan akses, melainkan juga harus didukung dengan penguatan literasi digital. Kementerian juga selalu berinovasi dalam strategi komunikasi, karena perlu beradaptasi dengan dinamisnya situasi pandemi di lapangan.

Ketua Umum BPP Perhimpunan Humas Indonesia, Agung Laksamana menyatakan, fungsi kehumasan sangat diperlukan untuk sosialisasi konten-konten positif dalam rangka menumbuhkan kepercayaan masyarakat. Menurut Agung, pada dasarnya seluruh warga Indonesia dapat menjadi humas, untuk menyebarkan berita baik dan memaksimalkan program pemerintah.

Komunikasi publik, katanya, harus memiliki sebuah agenda setting yang tepat sasaran, agar lebih bersifat proaktif dan bukan reaktif. Di sisi lain, ia juga menekankan pentingnya kolaborasi dalam berkomunikasi, guna menghindari persaingan mendapatkan atensi masyarakat di tengah banyaknya konten yang beredar.

Dalam dialog yang sama, Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho mengutarakan, bahwa hoaks di Indonesia sudah mendorong perilaku bermasalah sehingga sangat memerlukan kewaspadaan.

Supaya tidak mudah terjebak dalam hoaks, ia menyarankan masyarakat jangan mudah kagum dan jangan mudah kaget akan sebuah berita baru. Selain itu, wajib bertanya atau memeriksa fakta saat menemukan informasi yang meragukan.

“Upaya periksa fakta di Indonesia sudah berjalan masif, baik oleh pemerintah maupun komunitas. Menjadi tanggung jawab kita untuk menguatkan diseminasinya,” ujar Septiaji.

Ekosistem periksa fakta yang mudah diakses masyarakat dalam mencari kebenaran informasi, bisa melalui https://covid19.go.id/p/hoax-buster untuk seputar Covid-19, atau http://cekfakta.com/ untuk informasi umum.

Septiaji menyambut baik upaya pemerintah untuk menggandeng para pemuka agama dan tokoh masyarakat sebagai agen literasi digital. “Melalui para pemuka ini, kita juga dapat mencari tahu keresahan masyarakat agar kita dapat mengatasinya,” tambahnya.

Peran serta setiap anggota masyarakat memang sangat diperlukan untuk menyisir dan menghentikan hoaks yang beredar. Kolaborasi pemerintah dan lintas sektoral adalah mutlak guna penguatan literasi digital sekaligus memastikan penyampaian informasi-informasi yang benar kepada seluruh masyarakat. Dengan cara demikian, diharapkan tingkat pemahaman dan pengetahuan masyarakat akan semakin baik, dan dengan sendirinya akan dapat memilah berita yang benar dan hoaks.

“Yang bisa dilakukan masyarakat, setidaknya jangan tergesa-gesa membagikan informasi ke orang lain. Terlebih kalau informasi itu sensitif dan berisiko terhadap pencapaian target-target terkait upaya memerangi penyebaran Covid-19. Misalnya menyangkut pelaksanaan protokol kesehatan, vaksinasi dan lain sebagainya,” pungkas Aji.(*)