Ketua Setara Institute Soroti Kerumunan di Jakarta

Ketua Setara Institute Soroti Kerumunan di Jakarta

KORANBERNAS.ID, JAKARTA – Sejumlah pihak bereaksi atas terjadinya kerumunan massa saat menyambut kedatangan Rizieq Shihab dari Arab Saudi maupun rangkaian acara Maulid Nabi Muhammad SAW serta pernikahan putri Rizieq Shihab di Jakarta.

Protokol kesehatan (prokes) pencegahan Corona yang terkesan longgar menjadi topik pembicaraan banyak kalangan mengingat beberapa hari terakhir terjadi lonjakan kasus terkonfirmasi Covid-19.

Ketua Setara Institute, Hendardi, menyoroti langkah-langkah pemerintah yang terkesan melakukan pembiaran atas terjadi kerumunan tersebut. Prokes yang seharusnya wajib, nyatanya sulit ditegakkan.

“Tugas pemerintah adalah mengambil tindakan hukum. Ini menjadi paradoks kepemimpinan politik Jokowi dan jajarannya dalam penanganan Covid-19. Kewajiban menjalankan protokol kesehatan, prinsip hukum salus populi suprema lex esto yang selama ini digaungkan tidak berlaku,” ungkap Hendardi.

Melalui pernyataan pers, Minggu (15/11/2020), dia menyatakan pemerintah mestinya menempatkan keselamatan rakyat menjadi hukum tertinggi.

Selama pandemi, dengan asas itu pemerintah melakukan pembatasan-pembatasan sosial termasuk membubarkan kegiatan-kegiatan yang mengkritisi kinerja pemerintah.

“Pihak berwenang sejauh ini hanya menyampaikan imbauan agar kerumunan itu menerapkan protokol kesehatan, sama seperti Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Nikita Mirzani yang secara satir mengkritik keras kerumunan dalam beberapa hari belakangan ini,” kata dia.

Hendardi khawatir apabila kerumunan itu dibiarkan, dianggap sebagai peragaan tata kelola pemerintahan yang bisa melukai perasaan para dokter dan perawat yang terus berjuang, para siswa-siswi sekolah yang sudah jenuh belajar daring maupun para korban PHK yang tidak bisa menggapai impiannya untuk terus bekerja akibat terdampak Covid-19.

Hendardi menilai, itulah pilihan politik akomodasi Jokowi, yang dimulai sejak merangkul Prabowo Subianto. Orientasi politik akomodasi adalah terciptanya stabilitas politik dan keamanan.

“Tetapi akomodasi pragmatis tanpa basis ideologi dan gagasan justru menyandera Jokowi dalam kalkulasi-kalkulasi politik pragmatis. Pembiaran atas kerumunan massa Rizieq Shibah adalah bukti kegagapan Jokowi dalam kalkulasi politik,” kata Hendardi.

Jika tidak ingin terjebak politik akomodasi, lanjut dia, seharusnya Presiden bisa memerintahkan Kapolri menindak kerumunan. Atau, memerintahkan Menteri Dalam Negeri agar mendisiplinkan kepala daerah yang pasif membiarkan kerumunan. “Seharusnya pula tidak membiarkan terjadinya kerumunan di Bandara Soekarno Hatta,” ucapnya.

Hendardi berpendapat, politik akomodasi dan kalkulasi politik pragmatis akan terus melilit dan menjadi warna kebijakan-kebijakan politik pemerintahan hingga 2024, jika presiden tidak mengambil terobosan politik yang berpusat pada gagasan pengutamaan keselamatan, keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Bisa jadi, lanjut dia, stabilitas politik dan keamanan akan terjaga akan tetapi melahirkan preseden buruk sekaligus merusak demokrasi dan supremasi hukum, alih-alih mewariskan legacy. (*)