Ketika Kuas Anak-anak Bersanding dengan Maestro di Kampus UNU Yogyakarta

Keikutsertaan anak-anak dan mahasiswa dalam pameran ini bukan sekadar pelengkap.

Ketika Kuas Anak-anak Bersanding dengan Maestro di Kampus UNU Yogyakarta
Sembilan Pilar Karya Eddie Sunaryo dalam pameran Indonesia 100% di Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta. (muhammad zukhronnee muslim/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Di tengah hiruk-pikuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 sebuah pameran seni rupa unik tengah berlangsung di kampus Universitas Nahdlatul Ulama (UNU).

Bertajuk Indonesia 100%, pameran ini bukan sekadar ajang unjuk gigi para seniman ternama, melainkan sebuah perhelatan yang mendobrak batas usia dan pengalaman dalam dunia seni.

Bayangkan, sebuah lukisan karya Eddie Sunaryo, seniman senior yang namanya telah menggema di kancah seni rupa nasional, terpajang berdampingan dengan coretan kuas penuh warna seorang bocah berusia 7 tahun. Inilah pemandangan yang menyambut pengunjung di Galeri Seni NUsantara, kampus terpadu UNU Yogyakarta.

"Sembilan Pilar, karya monumental Eddie, seolah berdialog dengan lukisan polos nan jujur milik Zahra, salah satu dari enam anak-anak yang turut unjuk gigi dalam pameran ini.

"Saya sangat terkesan dengan keberanian UNU memadukan berbagai generasi dalam satu ruang pameran," ujar Eddie kepada wartawan, Sabtu (31/8/2024).

Bukan pelengkap

Widya Priyahita selaku Rektor UNU Yogyakarta menjelaskan filosofi di balik keputusan berani ini. Menurutnya keikutsertaan anak-anak dan mahasiswa dalam pameran ini bukan sekadar pelengkap. "Ini adalah bentuk nyata dari nasionalisme partisipatif yang kami usung," tegasnya.

Pameran yang berlangsung 31 Agustus hingga 30 September 2024 ini menampilkan total 99 karya dari 69 seniman. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan keberagaman Indonesia yang coba ditangkap dalam kanvas, patung dan berbagai medium seni lainnya.

A Anzieb selaku kurator pameran berbagi pandangannya. Karya anak-anak menunjukkan otentisitas yang belum tersentuh konvensi seni mainstream. "Ini memberikan perspektif segar yang sering kali luput dari pameran-pameran besar," ujarnya.

Salah satu sudut galeri yang menarik perhatian adalah Gus Dur Corner, sebuah ruang yang baru diresmikan sebagai bagian dari pameran. "Ini bukan sekadar pameran, tapi juga laboratorium sosial yang mempertemukan berbagai latar belakang," jelas Anzieb, menunjuk ke arah instalasi yang menggambarkan visi pluralisme almarhum KH Abdurrahman Wahid.

Tokoh nasional

Pameran menarik perhatian tokoh-tokoh nasional. Garin Nugroho, sutradara kenamaan Indonesia, menyebut inisiatif ini sebagai terobosan luar biasa yang mencairkan hubungan antara seni dan agama. "Ini menjadi contoh bahwa peradaban dibangun dengan tiga dasar: Sains, Estetika, dan Teknologi," ujar Garin dengan penuh semangat.

Dia menekankan pentingnya estetika membentuk sensitivitas para pemimpin masa depan, sebuah visi yang sejalan dengan misi pendidikan UNU Yogyakarta.

Alissa Wahid, putri almarhum Gus Dur, menyambut positif tema Indonesia 100%. "Kegiatan seperti ini di kampus sangat jarang dan menjadi istimewa," ucapnya.

Alissa berharap pameran ini dapat memancing nalar kritis pengunjung, terutama mahasiswa, melalui karya seni yang dipamerkan.

Indonesia 100% bukan sekadar judul melainkan sebuah pernyataan. Di tengah tantangan global dan gejolak sosial-politik, pameran ini hadir sebagai pengingat akan kekayaan budaya dan semangat persatuan Indonesia.

Gratis

Melalui kuas, pahat dan berbagai medium seni, para seniman dari beragam generasi ini menawarkan refleksi mendalam tentang makna menjadi Indonesia seutuhnya.

Pameran yang gratis dan terbuka untuk umum ini buka setiap hari pukul 10:00-18:00. Bagi mereka yang ingin menyaksikan mozaik kebangsaan dalam bingkai seni, Galeri Seni NUsantara di kampus UNU Yogyakarta siap menyambut dengan hangat.

Dalam era di mana batas-batas sering kali menjadi tembok pemisah, Indonesia 100%  sebagai jembatan yang mempertemukan generasi, latar belakang, dan pandangan yang berbeda.

Melalui pameran, UNU Yogyakarta tidak hanya membuka ruang dialog, tetapi juga menawarkan harapan akan Indonesia yang lebih inklusif dan berwarna. (*)