Kekerasan Seksual pun Bisa Terjadi pada Lelaki

Kekerasan Seksual pun Bisa Terjadi pada Lelaki

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Kekerasan seksual seringkali identik pada perempuan yang jadi korbannya. Namun pada kenyataannya, banyak lelaki yang juga menjadi korban.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, korban laki-laki pada kasus kekerasan seksual sebanyak 3,6% di wilayah perkotaan untuk kategori seksual kontak. Selain itu, 5,6% untuk kategori seksual non-kontak pada tahun 2018. Parahnya, korban yang mengalami kekerasan seksual adalah laki-laki yang berusia di bawah 18 tahun.

Fenomena ini menunjukka kekerasan seksual tidak mengenal gender. Karenanya peran laki-laki menjadi support system sebagai langkah pencegahan kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat, sangat dibutuhkan.

"Laki-laki harus memutus tradisi menormalkan kekerasan seksual dan mengubah pandangan yang melihat kekerasan, termasuk kekerasan seksual, sebagai norma maskulinitas," ujar Nur Hasyim selaku pendiri Aliansi Laki-Laki Baru dalam diskusi daring Kampanye No! Go! Tell! (Katakan Tidak, Jauhi, Laporkan), kemarin.

Menurut Nur, lelaki harus terlibat aktif membangun sistem pendukung bagi korban kekerasan seksual. Selain itu menciptakan ruang, baik domestik maupun publik, yang aman dari segala bentuk kekerasan seksual.

"Namun sebagai tanggung jawab bersama, baik perempuan maupun laki-laki harus terlibat aktif dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual melalui kolaborasi support system antar-pihak," paparnya.

Sementara Yuniyanti Chuzaifah, Pegiat HAM Perempuan/Komisioner Purna Bakti Komnas Perempuan, mengatakan kekerasan seksual bukan problem personal, tetapi problem sosial. Saat seseorang menjadi pelaku, selain mengoyak hidup korban, mereka juga menghancurkan keluarga dan masyarakat.

"Sesungguhnya kekerasan seksual juga menghancurkan diri dan masa depan pelaku, juga merusak hati dan harapan orang-orang yang dicintainya," tandasnya.

Karenanya, urgensi pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) tidak dapat ditunda lagi. Perlu adanya payung hukum yang dapat memberikan jaminan bagi penyintas kekerasan seksual. RUU PKS dinilai sebagai bentuk implementasi keseriusan pemerintah dalam menangani setiap lonjakan kasus yang terus terjadi.

"Setiap aspek yang ada di dalam tubuh RUU PKS yang nantinya diharapkan akan menjadi sebuah undang-undang ini, memerlukan kolaborasi yang sinergis antar-pihak, mulai dari pemerintah, stakeholder, pihak swasta, lembaga layanan, hingga lapisan masyarakat," ungkapnya.

Ratu Ommaya, Head of Values, Community & Public Relations The Body Shop Indonesia, mengatakan penguatan jaringan dari setiap lembaga dan lapisan masyarakat untuk tidak pernah putus harapan dalam menyuarakan dan mendorong pengesahan RUU PKS sangat penting. Keterlibatan laki-laki dalam isu kekerasan seksual perlu didorong agar isu ini bukan hanya perhatian perempuan, melainkan menjawab permasalahan bagaimana peran laki-laki hadir.

"Perlu ada kolaborasi yang sinergis antar-berbagai pihak berfungsi sebagai agen perubahan dalam hal membantu pencegahan dan penanganan korban kekerasan seksual. Support system penanganan kekerasan seksual sangat diperlukan karena korban dapat mengakses seputar informasi dan melakukan pelaporan terhadap apa yang menimpa dirinya, menemukan ruang aman dari tindak kejahatan pelaku, termasuk mendapat dukungan proses hukum," jelasnya. (*)