Kampus Seni Tak Sepenuhnya Siap Menghadapi Pandemi

Kampus Seni Tak Sepenuhnya Siap Menghadapi Pandemi

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Ketua Jurusan Teater serta pengajar di Fakultas Seni dan Media Rekam Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Dr Kus Yuliandi, mengakui kampus tak sepenuhnya siap menghadapi pandemi. Alih teknologi yang tiba-tiba, membuat banyak tenaga pengajar tergagap-gagap melakukan adaptasi.

ISI masih sedikit diuntungkan karena pandemi datang tengah semester, sehingga kelanjutan perkuliahan bisa dilakukan secara daring. Sedangkan tahun ajaran baru belum ada kiat khusus untuk menciptakan pembelajaran yang efisien.

Salah satu yang sangat sulit dilakukan dengan alih teknologi ini adalah praktik mata jurusan pertunjukan. Seperti seni pedalangan, tari dan karawitan yang tentu membutuhkan harmonisasi kelompok. Seni pertunjukan di Indonesia dalam hal ini teater masih menganggap panggung adalah segalanya.

“Tapi sebetulnya wajar kalau tidak bisa menerima dengan lapang dada panggung itu adalah establish secara utuh untuk disiplin tersendiri dan tidak dapat tergantikan sampai kapan pun. Tapi jika situasi semacam ini panggung bukan segala-galanya," terangnya saat ditemui Sabtu (26/9/2020).

Ketika membuat sebuah kompetisi Jejak Virtual Aktor bersama seniman Miroto pada awal pandemi, dia mencatat beberapa hal penting dalam tranformasi bentuk pertunjukan di masa sekarang.

Terbata-bata
Dalam Jejak Virtual Aktor, pelaku pertunjukan justru terbata-bata. Sebaliknya banyak anak muda yang sebenarnya tidak punya sejarah teater bisa menangkap maksud lomba itu, sementara pelaku teater lain hanya merekam sebuah pementasan yang biasa dilakukan di atas panggung ke dalam video.

“Ada banyak juga teman-teman yang agak paham konsep digital mencoba melakukan adaptasi teater ke dalam karyanya tapi power-nya tetap teater. Kemudian ada anak muda yang mengadaptasi karya teaternya ke dalam film yang kemudian hasilnya seperti scene sebuah film," kata dia.

Selanjutnya, mereka yang benar-benar merespons sebuah pertunjukan menjadi digital, hasilnya sangat menarik jadi karya teater yang long shoot tidak boleh pemotongan tapi saat harus close up dapat terwakili dengan teknik yang dimiliki.

Realitanya tidak bisa terus menerus menganggap, panggung pertunjukan itu adalah segalanya. “Sangat berbeda orang panggung bikin pertunjukan hanya untuk dimainkan di panggung, tetapi saat mengonsep sebuah pertunjukan digital pun harus dengan konsep video, harus berkolaborasi orang yang mengerti digital dan sinematografi karena mereka-lah yang memiliki kemampuan tersebut. Sementara pemain teater tetap fokus kepada perannya dalam sebuah pertunjukan," tutur dia.

Kolaborasi
Era digital bahkan virtual kini mengharuskan seniman berkolaborasi dengan berbagai disiplin ilmu yang mungkin tidak hanya menguasai sebuah pertunjukan. Distribusi juga harus menjadi perhatian yang penting, karena kunci dari kolaborasi ini adalah distribusi.
“Membuat pertunjukan daring tapi tidak ada yang memberi like di social media atau platform video streaming lain menjadi sia-sia. Itulah pentingnya distribusi, yaitu tersampaikannya sebuah karya seni pertunjukan kepada khalayak luas," tambuhnya.

Kus melanjutkan, kampus seni seperti halnya yang dilakukan hampir di seluruh dunia terus melakukan eksplorasi. Hal yang justru memberatkan bagi budaya bangsa kita adalah betapa pertemuan itu sangat indah dan tidak bisa serta merta dihilangkan dan ada romantisme yang tinggi.

Sejauh yang dia lihat beberapa perguruan tinggi belum melakukan kolaborasi dengan lembaga-lembaga yang paham teknologi. Seharusnya untuk menjadi virtual maupun digital kita harusnya menggandeng orang-orang yang paham benar.

“Bagi beberapa perguruan tinggi yang punya jurusan Teknologi Informatika itu tidak masalah besar, tetapi bagi perguruan tinggi seni kan secara khusus tidak mempunyai ahli ahli IT yang khusus mengembangkan platform yang cocok untuk kampusnya,” kata dia. (*)