Nyanyi Sunyi Panggung Seni

Nyanyi Sunyi Panggung Seni

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Suyatmi tak mampu berbuat apa-apa lagi. Sejak virus Corona ditetapkan sebagai pandemi gegap gempita panggung seni berubah tak ubahnya nyanyian sunyi. Demi menyambung kehidupan, artis campursari kondang asal Gunungkidul ini tidak malu beralih profesi membuka warung angkringan. Baginya, gegap gempita panggung hiburan ibarat tinggal kenangan.

Selama delapan tahun, ibu dua anak itu malang melintang dari panggung ke panggung di DIY dan Jawa Tengah. Kini, hampir enam bulan dia menerima kenyataan pahit. “Jangankan menerima tanggapan. Kumpul dengan teman grup saja tidak pernah,” ucapnya.

Sambil melayani  pembeli dia berkisah, sebelum ada Corona setiap bulan hampir tidak pernah istirahat. Setiap hari selalu ada job. Apalagi saat bulan-bulan baik, sehari bisa manggung dua hingga tiga kali di tempat terpisah.

Tidak hanya Suyatmi yang merasakan dampak pandemi. Sejumlah seniman maupun pekerja seni yang sebelumnya punya jadwal pentas rutin harus menahan rasa getir bahkan mungkin gigit jari karena tidak ada job lagi.

Sebut saja Mbah Paimin Budi Wijono. Pekerja seni senior yang rutin mengisi pentas Sendratari Ramayana di Candi Prambanan itu juga merasakan betapa pandemi meluluhkan harapannya.

Sejak Mei silam Mbah Paimin tidak punya kesempatan unjuk kebolehan. Pihak manajemen mengikuti kebijakan pemerintah menghentikan pementasan Sendratari Ramayana guna mencegah penyebaran virus Corona.

Para seniman dan pekerja seni yang selama ini terlibat pementasan menanggung dampaknya. Mereka harus berlapang dada kehilangan pekerjaan dan jadwal manggung berikut honornya.

Kakek dua cucu ini melakoni profesinya sebagai pengrawit Sendratari Ramayana sejak 1986. Perjalanan yang panjang, lengkap dengan suka duka dan berbagai pengalaman pentas bersama puluhan bahkan ratusan pekerja seni lainnya.

Akhirnya Mbah Paimin mencari cantholan demi menyambung kehidupan keluarga. Bersama rekan-rekannya dia tampil di RSPAU Hardjolukito Yogyakarta, mengisi cokekan. Jadwalnya setiap Senin, Rabu dan Jumat. Mbah Paimin dan grupnya tampil sekitar dua jam. Menjelang Dhuhur turun panggung.

Seperti Mbah Paimin, duka serupa dirasakan artis campursari terkenal, Tejo. Dia sempat nganggur beberapa bulan karena tidak ada job manggung. “Blangkon saya sampai jamuran,” katanya di studio rekaman wilayah Kalurahan Dengok Kapanewon Playen Gunungkidul, Selasa (22/9/2020).

Pandemi juga mengikis harapan pengelola panggung seni. Lihat saja Tembi Rumah Budaya di Sewon Bantul. Pada pendapa yang relatif luas itu terlihat dua perangkat gamelan Slendro dan Pathet, seperti tenggelam dalam sunyi. Sejak Maret 2020 gamelan itu tidak tersentuh.

Jumat (25/9/2020) siang, Tembi Rumah Budaya terlihat sepi. Hanya beberapa mobil dan sepeda motor terparkir di halaman depan.  Meski terasa mampring, namun di dalam ada kegiatan dan banyak melibatkan anak-anak muda.

“Mereka sedang mendisplai materi pameran seni rupa tunggal karya Gunawan Raharjo," kata Ons Untoro dari Tembi Rumah Budaya saat menerima koranbernas.id di serambi pendapa.

Getirnya perasaan hati akibat berhentinya aktivitas seni dirasakan Maria Kadarsih selaku pengelola Kursus Pranata Adicara tuwin Sesorah. Akhir 2019 masih ada wisuda angkatan ke-42. Sesudah itu libur hingga kini. Padahal pendaftar waiting list sejak 2019 lebih dari 100 orang.

Begitu pula para pelaku seni di Desa Gilangharjo Pandak Bantul. mereka menyatakan sangat rindu pentas setelah berbulan-bulan tidak ada tanggapan.

Menurut Zainul Zain S Ag selaku Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Gilangharjo Kecamatan Pandak Bantul, di desanya banyak pekerja seni terimbas Corona, mulai dari para pemain reog, jatilan, cokekan, hadroh, teater maupun ketoprak.

Pemilik Sanggar Omah Djoged Sedayu (Ojes) Desa Argorejo Bantul, Bestari Putri Wulandari, juga mengakui tidak bisa menggelar pementasan. Sebelum pandemi, pihaknya memiliki event rutin bagi siswinya berupa pentas mingguan di sejumlah lokasi.

Jeritan hati juga disuarakan para seniman dari sejumlah daerah. Di Kebumen Jawa Tengah, dalang Ki Langgeng Hidayat mengakui beberapa order pementasan wayang dibatalkan penyelenggara.  “Banyak warga yang akan mengadakan hajatan mantu, khitanan atau tasyakuran membatalkan tanggapan wayang kulit,” kata dia.

Pembatalan itu berdampak hilangnya penghasilan kru pergelaran wayang kulit. Ribuan orang kehilangan penghasilannya. Setiap pementasan wayang paling sedikit 60 orang terlibat.

Pengakuan Nurudin, pengusaha sewa panggung dan tratag, lebih enam bulan peralatan panggung dan tratag miliknya menganggur tersimpan di gudang. Beberapa event yang selama ini membutuhkan perannya kini tidak lagi meminta jasanya.

Praktis selama enam bulan usahanya tidak memberi penghasilan alias berada pada titik nadir.  “Padahal tiap bulan keluarga saya membutuhkan biaya Rp 10 juta lebih,“ ungkapnya sambil menyebutkan sejumlah kebutuhan.

Nasib serupa dialami Achmad Rizal Azis. Direktur Spectrum Kreasindo, perusahaan jasa event organizer (EO) itu sebelum pandemi bisa menyelenggarakan 20 event pariwisata. Begitu pandemi, hanya bisa menyelenggarakan satu event. Ini terjadi karena anggaran program dialihkan untuk penanganan Covid.

Rekanan Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata Kebumen ini akhirnya beralih profesi memproduksi minuman kemasan. Dengan usaha ini, untuk sementara ada aktivitas yang bisa memberikan hasil meskipun tidak sebesar bisnis EO wisata.

Sepinya dunia panggung ikut mempengaruhi bisnis perangkat pendukung pentas seperti sound system dan orgen tunggal. Pemilik Mentari Musik Sanggar dan Pemandu Bakat, Dwi Suryanto, yang membuka usahanya di Desa Kledung Kabupaten Purworejo menyampaikan, pada Maret sampai Juni 2020 hampir semua job berhenti.

Sebelum pandemi, banyak konsumen bahkan sebagian besar sudah membayar uang muka tapi kemudian semua order batal. Dia masih beruntung mulai Juli 2020, beberapa kecamatan memberikan izin penyelenggaraan hajatan sehingga bisa mulai beraktivitas.

Masih di Purworejo, Sanggar Tari Prigel yang sebelumnya kerap mengisi acara-acara Pemkab Purworejo, selama pandemi sepi order. Tak hanya itu, latihan pun diliburkan. Sedangkan latihan virtual dirasa tidak efektif.

Pemimpin  Sanggar Tari Prigel, Melania Sinaring Putri, mengakui selama pendemi frekuensi pementasan sangat berkurang. Otomatis pendapatan para penari menurun.

Sepinya order pementasan juga dialami Sanggar Tari Dolalak “Putri Arum Sari” Desa Brenggong Purworejo. Sanggar ini memiliki anggota 25 orang  terdiri 10 penari dan 15 pengrawit serta vokalis. Sebelum pandemi grup ini cukup padat jadwal pentas namun sejak Maret 2020, sanggar yang dipimpin Eny Arum Sari itu sepi order.

Pembatalan pentas dialami pula kelompok teater bahasa Jawa dari Yogyakarta, Sedhut Senut.  Elyandra Widharta selaku ketua kelompok ini menyatakan beberapa konsep pentas yang sejatinya dihelat offline terpaksa batal terkena imbas pandemi. Beberapa di antaranya sudah melewati proses latihan yang matang.

“Setelah format panggung ini berubah menjadi online, yang terjadi di Sedhut Senut justru mengakibatkan kerinduan teman-teman untuk berkumpul. Ide menjadi lebih banyak karena medium yang digunakan satu-satunya adalah online,” kata dia.

Dorong tetap berkarya

Di tengah kegalauan para pekerja seni, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Ditjen Kebudayaan berupaya agar budayawan dan pelaku seni didorong tetap berkarya dan menggelar pementasan meski melalui daring atau online.

“Kita beri kesempatan pekerja seni dan budaya, meski di rumah namun tetap berkarya di tengah wabah,” kata Agus Kamtono, Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayaan) Gunungkidul.

Meski perekonomian DIY mulai menggeliat seiring pergerakan manusia yang lebih mudah, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah daerah membuat para pekerja seni tak lagi bisa manggung atau bekerja keluar kota bahkan luar negeri.

“Kegiatan seni periode Februari sampai Mei sempat vakum karena memang semuanya mandek," ujar Sumadi, Plt Kepala Dinas Kebudayaan DIY.

Dia mencatat, sebelum pandemi berbagai kegiatan kebudayaan dan seni dilaksanakan setiap hari termasuk Sabtu dan Minggu. Setiap bulan lebih dari 30 agenda seni dan budaya di provinsi ini. Dalam satu tahun sekitar 400 agenda kegiatan melibatkan 400 komunitas seni dan budaya atau lebih dari 2.000 pekerja seni.

Saat ini hanya tersisa sekitar 326 komunitas seni dan budaya yang bertahan. Disbud DIY terpaksa melakukan redesain maupun mengubah jadwal programnya. Sesuai protokol kesehatan Covid-19, kegiatan budaya seperti pergelaran wayang diubah virtual.

“Kegiatan berkesenian tidak boleh mandek. Sesuai arahan Pak Gubernur bisa diganti daring agar mereka bisa bekerja,” tandasnya.

Konsep virtual rencananya dilanjutkan tahun 2021. Untuk membantu para pekerja seni, Disbud memberikan penghargaan berupa honor bagi mereka yang tampil.

Disbud tidak bisa mencarikan bansos atau bantuan langsung tunai (BLT) bagi bagi pekerja seni yang terdampak, termasuk dari dana keistimewaan atau danais. (tim koranbernas)