Jadi Pelajaran Penting, Muhammadiyah Belajar dari Pengalaman Parmusi

Kami belajar bahwa politik praktis lahan penuh risiko yang bisa meretakkan konsolidasi dakwah.

Jadi Pelajaran Penting, Muhammadiyah Belajar dari Pengalaman Parmusi
Bedah buku Parmusi: Pergulatan Muhammadiyah dalam Partai Politik 1966-1971 karya Dr phil Ridho Al-Hamdi MA, di Grha Suara Muhammadiyah. (istimewa)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Pengalaman Muhammadiyah di dalam politik praktis melalui Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) pada periode 1966-1971 menjadi pelajaran penting yang mengukuhkan sikap organisasi untuk menjaga jarak dari politik kepartaian.

Buku terbaru berjudul Parmusi: Pergulatan Muhammadiyah dalam Partai Politik 1966-1971 karya Dr phil Ridho Al-Hamdi MA mengupas tuntas perjalanan Muhammadiyah sejak mendukung pendirian Parmusi hingga akhirnya memutuskan fokus pada dakwah melalui Khittah Ujungpandang 1971.

"Parmusi adalah pengalaman politik paling intensif Muhammadiyah. Dari sini, kami belajar bahwa politik praktis dapat menjadi lahan penuh risiko yang bisa meretakkan konsolidasi dakwah," ujar Ridho Al-Hamdi, penulis buku ini, saat peluncurannya di Yogyakarta, Selasa (19/6/2024).

Parmusi didirikan atas dorongan Tanwir Muhammadiyah Bandung 1966 yang merekomendasikan pendirian partai Islam baru. Majelis Hikmah Muhammadiyah sebagai cikal bakal Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP), engambil peran penting dalam proses ini. Namun, hubungan Muhammadiyah dengan Parmusi hanya berlangsung singkat, hingga akhirnya berakhir setelah Pemilu 1971.

Titik balik

Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Prof Dra Siti Syamsiyatun MA Ph D menyatakan pengalaman ini menjadi titik balik penting. "Parmusi memperlihatkan bahwa Muhammadiyah mampu menjadi aktor politik yang kuat. Namun, konflik internal dan dinamika politik Orde Baru saat itu membuat Muhammadiyah harus mundur dan fokus pada penguatan institusi," katanya.

Keputusan Muhammadiyah untuk tidak lagi terlibat langsung politik praktis disahkan melalui Khittah Ujungpandang 1971. Sejarawan Muhammadiyah, Muarif M Pd, menjelaskan keputusan itu bukan sekadar mundur dari politik praktis tetapi mencerminkan evolusi kesadaran organisasi.

"Dari kesadaran individual ke kesadaran kelembagaan. Parmusi membentuk imunitas politik Muhammadiyah, memastikan bahwa politik hanya alat, bukan tujuan," tegasnya.

Namun demikian, Muhammadiyah tidak menutup pintu bagi kadernya yang ingin berpolitik. Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah David Efendi MA menegaskan Muhammadiyah tetap mendorong kader untuk aktif di partai politik tetapi dengan komitmen penuh.

Memberi ruang

"Tidak setengah-setengah. Jika maju, maka harus fokus. Muhammadiyah memberi ruang, tetapi kader yang terjun ke politik harus berjuang dengan konsisten tanpa mengorbankan dakwah," jelasnya.

Deni Asy'ari MA Dt Marajo selaku Direktur Utama PT Suara Muhammadiyah menilai buku ini sebagai referensi penting untuk memahami perjalanan politik Muhammadiyah.

"Buku ini menjelaskan secara detail bagaimana Muhammadiyah belajar dari pengalaman Parmusi. Ini juga menjadi pengingat bahwa politik bisa menjadi jebakan jika tidak dikelola dengan bijak," katanya.

Prof Siti Syamsiyatun menegaskan pengalaman Parmusi adalah cermin sejarah bagi Muhammadiyah.

Jalur politik

"Parmusi mengajarkan pentingnya membedakan antara peran politik praktis dan dakwah. Muhammadiyah kini berdiri kuat sebagai organisasi yang fokus pada penguatan masyarakat sipil, tetapi tetap mendorong kadernya untuk membawa nilai-nilai Islam di jalur politik," ujarnya.

Dengan berbagai pandangan dari narasumber, buku ini menjadi refleksi mendalam tentang politik Muhammadiyah di masa lalu sekaligus menjadi pedoman menghadapi tantangan politik di masa depan. (*)