Iring-iringan Labuhan Merapi Hampir Setengah Kilometer
Dinas Kebudayaan DIY dengan dukungan Dana Keistimewaan (Danais) memberikan fasilitasi acara tersebut.
KORANBERNAS.ID, SLEMAN – Kurang lebih seribu warga termasuk relawan, SAR, Pramuka, petugas keamanan serta petugas kesehatan mengikuti prosesi Hajad Dalem Labuhan Merapi, Jumat (31/1/2025).
Dari rumah Petilasan Mbah Marijan di Kinahrejo Cangkringan Sleman serta dipimpin langsung Juru Kunci Merapi, Mas Kliwon Suraksohargo Asihono atau Mbah Asih, mereka berjalan menuju Srimanganti tempat berlangsungnya labuhan. Saking banyaknya, iring-iringan itu hampir mencapai kurang lebih setengah kilometer panjangnya.
Mengingat perjalanan menuju Sri Manganti medannya cukup berat dan menanjak sekitar 2,5 kilometer, tidak sedikit masyarakat termasuk sejumlah awak media memilih tidak memaksakan diri dan kembali ke titik awal pemberangkatan.
Kepada wartawan, Mbah Asih mengatakan Labuhan Merapi merupakan hajad dalem Keraton Yogyakarta yang dilaksanakan oleh Abdi Dalem Merapi. “Tujuannya memohon doa kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk keberkahan dan dijauhkan dari petaka,” ujarnya.
Iring-iringan masyarakat mengikuti prosesi Labuhan Merapi, Jumat (31/1/2025). (sholihul hadi/koranbernas.id)
Adapun ubarampe Labuhan Merapi di antaranya dhestar daramuluk, peningset udaraga, rokok wangen, kemenyan, ratus minyak koyoh, selembar kain cangkring, kain kawung kemplong, kampoh poleng, uang tindhik, semekan bangun tulak, semekan gadhung serta apem mustaka.
Menurut Mbah Asih, ubarampe tersebut merupakan simbol-simbol di dalam tradisi masyarakat Jawa yang memiliki makna. Contoh, semekan bangun tulak bermakna harapan menolak bala agar masyarakat dijauhkan dari hal-hal buruk.
Rangkaian acara dimulai sejak Kamis (30/1/2025) ditandai serah terima ubarampe Labuhan, kirab gunungan, fragmen Labuhan Merapi hiburan Jathilan Roso Manunggal, lomba penyajian kuliner PKK Kalurahan Umbulharjo Sleman serta bazar UMKM.
Sebelumnya, pada malam harinya diadakan Tirakatan dan Doa Bersama dalam Rangka Mangayubagya Hajad Dalem Labuhan Merapi Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Juru Kunci Merapi, Mas Kliwon Suraksohargo Asihono atau Mbah Asih. (sholihul hadi/koranbernas.id)
Acara yang dilaksanakan di petilasan rumah Mbah Marijan itu dimeriahkan pementasan Sekar Puduastuti, Wilujengan Hajad Dalem dan pergelaran wayang kulit semalam suntuk dengan lakon atau lampahan Wahyu Kalimosodo oleh dalang Ki Mas Riyo Bupati Anom atau Drs Sigit Mangggolo Seputro.
Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY, Dian Lakhsmi Pratiwi menyatakan Dinas Kebudayaan DIY dengan dukungan Dana Keistimewaan (Danais) memberikan fasilitasi acara tersebut.
Dalam sambutannya dia mengatakan tirakatan menjadi salah satu tradisi yang biasa dilakukan pada malam hari sebelum Upacara Adat Labuhan Merapi diselenggarakan.
Tradisi tirakatan, lanjut dia, dilaksanakan dengan mengumpulkan masyarakat dalam satu tempat untuk melangsungkan doa Bersama. “Agar apa yang kita lakukan esok harinya dapat terlaksana dengan baik, lancar sesuai dengan apa yang kita harapkan,” ujarnya.
Rasa syukur
Dian menjelaskan, keselarasan dan keseimbangan hubungan dengan Tuhan dan alam tersebut diwujudkan melalui ritual rasa syukur yang dilaksanakan setiap tahunnya melalui Upacara Adat Labuhan di Gunung Merapi dan Pantai Parangtritis yang digelar oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
“Upacara ini merupakan rangkaian peringatan Tingalan Dalem Jumenengan atau bertahtanya Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai Raja Keraton Yogyakarta,” jelasnya.
Menurut dia, DIY berdiri di atas nilai-nilai filosofis yang terus mengakar dan terus tumbuh hingga saat ini. Seperti tata kota yang mengacu kepada garis imajiner dari Pantai Parangtritis hingga Gunung Merapi.
Adapun garis imajiner merupakan gagasan dari Sri Sultan Hamengku Buwono I yang memiliki makna mengenai falsafah perjalanan hidup manusia, yakni lambang keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam dan manusia dengan sesama manusia.
Keseimbangan alam
Lebih lanjut Dian mengatakan ada makna yang tersemat yakni bagaimana menjaga keserasian, keselarasan, serta keseimbangan alam. Labuhan berasal dari kata labuh yang artinya persembahan.
“Upacara adat labuhan Merapi Kraton Yogyakarta ini merupakan perwujudan doa persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan anugerah yang diberikan kepada keraton dan rakyatnya juga sebagai tanda penghormatan bagi leluhur yang menjaga Gunung Merapi,” tambahnya.
Hajad Dalem Labuhan Merapi Keraton Yogyakarta di Dusun Kinahrejo Umbulharjo Cangkringan Sleman, lanjut dia, bermakna bagaimana menjaga keserasian, keselarasan, serta keseimbangan alam. Labuhan berasal dari kata labuh yang artinya persembahan.
Harapannya, tradisi ini tetap dilestarikan, handarbeni sebagai tradisi leluhur yang perlu didukung oleh semua elemen masyarakat agar terjaga dengan baik. (*)