Galeri RJ Katamsi Menjadi Pioner Ruang Pamer Inklusif
KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (RI), Hilmar Farid PHd, melakukan kunjungan ke Jogja Disability Arts (JDA) yang berada di Galeri RJ Katamsi Kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Jumat (30/6/2023) malam.
JDA adalah sebuah yayasan yang bergerak mewujudkan partisipasi penuh dan kesamaan kesempatan kepada penyandang disabilitas dalam bidang seni budaya.
Hadir dalam kesempatan ini Direktur Galeri RJ Katamsi Dr Nano Warsono, Direktur Biennale Jogja International Disability Arts FX Rudy Gunawan, Rektor ISI Yogyakarta Prof Timbul Raharjo dan Ketua JDA, Sukri Budi Dharma (Butong).
Dalam kunjungan ini Hilmar Farid menerima penjelasan berbagai kegiatan yang telah dilakukan JDA. Selain itu, juga agenda pelaksanaan Biennale Jogja International Disability Arts pada 7-20 Oktober 2023.
Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid menerima cenderamata dari Rektor ISI Yogyakarta. (istimewa)
“Satu tujuan yang hendak dicapai JDA ialah terus tumbuh dan berkembang dunia seni budaya yang melibatkan difabel sebagai pelaku seni,” ujar Butong.
Rektor ISI Yogyakarta menjelaskan keberpihakannya terhadap difabel. Selain Galeri RJ Katamsi yang membuka sekat eksklusif, juga penerimaan mahasiswa dengan beragam disabilitas (tuli, autis, totally blind) di kampus yang dipimpinnya.
”Seni itu fleksibel. Sangat tergantung dengan apa yang disenangi. Siapa saja bisa menempuh pendidikan di ISI tanpa kecuali difabel. Galeri RJ Katamsi telah menjadi pioner ruang pamer inklusif," katanya.
Hilmar Faris menyampaikan kronologis dirinya mulai fokus memberikan kesempatan dan ruang bagi kelompok marginal, difabel.
Dimulai tahun 2014, ketika dirinya menjadi kandidat Dirjen Kebudayaan, isu disabilitas sudah diusungnya. Kemudian 2018 membuat event pameran inklusif di Jakarta.
Sesi foto bersama saat kunjungan Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid. (istimewa)
Bagi Himar Farid, perlakuan khusus terhadap difabel bukan berarti memaklumi kekurangannya melainkan memberikan peluang bagi difabel menjadi diri mereka sendiri.
“Semangat memberi ruang ini harus sustain. Karena ada keistimewaan, ada spesifikasi pada tiap-tiap diri difabel,” tandasnya.
Pada kesempatan itu disampaikan satu langkah menyuarakan inklusivitas di perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi seni baik negeri maupun swasta.
“ISI Yogyakarta perlu merencanakan pertemuan antar-kampus seni baik negeri maupun swasta. ISI Yogyakarta sebagai pioner, sebagai tuan rumah kegiatan tersebut,” kata Hilmar Farid.
Selanjutnya, supaya lebih mencair sesi dialog diselingi dengan penampilan Rema. Remaja perempuan dengan low vision (terbatas penglihatan). Rema yang juga salah satu murid pawiyatan JDA itu membawakan satu lagu, untuk seluruh hadirin.
Sebelumnya pimpinan kelompok Musik Gandana, Nanang, mempresentasikan bunyi-bunyian dari alat-alat musik yang diciptakannya, menggunakan alat bantu mobilitas. Krug, kanadian, tongkat putih, serta kursi roda.
Kaprodi S3 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (PSPSR) UGM sekaligus Kurator Biennale Jogja International Disability Arts, Dr Budi Irawan, mengatakan bagaimana pun perspektif seni dan disabilitas bisa lebih terwacanakan melalui berbagai kegiatan. "Baik di dunia pendidikan dan di mana pun,” ujar Budi.
Direktur Biennale Jogja International Disability Arts FX Rudy Gunawan, menyampaikan biennale satu-satunya dan pertama di dunia. Organisasi seni yang konsens dengan pertunjukan Dadafesh di Liverpool Inggris, bahkan ingin bekerja sama dengan JDA dan ISI Yogyakarta. Organisasi ini akan mengirimkan dua seniman difabelnya pada pelaksanaan biennale Oktober mendatang.
Kemudian, akhir Oktober - November 2023 giliran dua orang pengurus JDA akan residen di Inggris. “Poin kolaborasi akan jadi pekerjaan rumah (PR) terus menerus. Karena cara pandang lama bahwa difabel itu dosa, kutukan, bibit leluhur yang tidak baik, ini perlu digeser, dihapuskan,” kata Rudy Gunawan.
Direktur Galeri RJ Katamsi ISI Yogyakarta Nano Warsono meyakini aksesibilitas terwujud melalui proses. Dan Nano mengatakan siap melaksanakan apa yang mampu dilakukan.
“Galeri RJ Katamsi harus dapat memberi akses seluas-luasnya pada difabel. Tidak hanya sebagai penonton, melainkan terlibat sebagai peserta dalam setiap pameran yang dihelat di ISI Yogyakarta,” tegas Nano.
Seorang mahasiswa Teater ISI Yogyakarta, Barokah atau yang dikenal dengan nama panggung Yuda Wira Jaya, menyampaikan alasannya berani memilih ISI sebagai sekolah lanjutnya.
“Keluar dari zona nyaman. Di kelas banyak hal baru yang saya dapat. Selanjutnya melalui tempaan JDA, saya jadi lebih paham,” ungkapnya.
Salah seorang orang tua dengan anak difabel, Mama Jud, mengaku menemukan mata air ketika bertemu Butong selaku Ketua JDA.
Dia yang sebelumnya tak tahu bagaimana dan kemana menyalurkan bakat seni anaknya yang down syndrome, kini mengaku lega.
Pasca dialog berakhir, sesi kunjungan balasan disuguhi penampilan Yuda Wira Jaya yang membawakan puisi karya sendiri berjudul Kopi Sore bersama kelompok musik Gandana.
Pada i akhir kunjungan diserahkan cenderamata berupa satu lukisan karya Ayu Novita Sari (seniman tuli) dan cendera mata dari Galeri RJ Katamsi.
Acara dilanjutkan foto bersama, kemudian Dirjen Kebudayaan menyempatkan menonton pameran ditemani Direktur Galeri RJ Katamsi dan Direktur Biennale. (*)