Dosen UMBY Bicara Kondisi Pers Dunia di Malaysia

Indonesia memiliki keunggulan pada aspek regulasi yang mendukung kemerdekaan pers.

Dosen UMBY Bicara Kondisi Pers Dunia di Malaysia
Dosen Ilmu Komunikasi UMBY, Rani Dwi Lestari, berbicara di forum International Visiting Lecture di USIM, Senin (2/12/2024). (istimewa)

KORANBERNAS.ID, MALAYSIA -- Media dan pers di berbagai belahan dunia sedang menghadapi tantangan keberlanjutan model bisnis yang mampu menyokong jurnalisme berkualitas pada era digital. Tantangan ini perlu didukung dengan kolaborasi seluruh elemen, baik media, masyarakat maupun pemerintah.

Hal ini disampaikan dosen Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Yogyakarta (UMBY), Rani Dwi Lestari, dalam international visiting lecture yang diadakan di Universiti Sains Islam Malaysia (USIM), Senin (2/12/2024) silam.

Agenda tersebut merupakan wujud implementasi kerja sama antara UMBY dan USIM yang melibatkan dosen dan mahasiswa ilmu komunikasi dari kedua belah pihak.

Berbicara kondisi pers, melalui keterangan tertulisnya, Rabu (11/12/2024), Rani menyampaikan, media dan pers di Indonesia saat ini berada pada persimpangan antara persaingan dengan sosial media dan platform media digital.

Bermigrasi

Media konvensional seperti surat kabar, radio dan televisi telah banyak bermigrasi di ranah media online. Media-media yang mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi, lanjutnya, dapat terus bertahan.

Namun, banyak juga yang tumbang karena tidak mampu bersaing dengan media digital lain dalam memperebutkan atensi khalayak.

“Kolaborasi antara media, khalayak dan pemerintah dalam mendukung keberlanjutan media dan jurnalisme perlu dilakukan. Media perlu menyajikan jurnalisme berkualitas, khalayak dapat berperan sebagai konsumen media maupun ikut serta berkontribusi pada proses jurnalisme, sementara pemerintah perlu mendukung dengan regulasi dan kebijakan yang berpihak pada jurnalisme,” jelasnya.

Menurut Rani, Indonesia memiliki keunggulan pada aspek regulasi yang mendukung kemerdekaan media dan pers, yakni melalui implementasi Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang memiliki fungsi menjaga profesionalitas dan independensi pers.

Meskipun dalam pelaksanaannya, regulasi tersebut tidak sepenuhnya bisa dijalankan dengan maksimal karena berbagai faktor.

Posisi pembeda

Rani menilai, faktor eksternal seperti persaingan komersial dan pola konsumsi khalayak media yang berubah menjadikan media berbasis jurnalisme perlu menempatkan posisi pembeda dengan sosial media atau media non-pers.

Kenyataan bahwa rujukan informasi masyarakat justru didominasi bersumber dari sosial media, tidak dapat dipungkiri lagi.

“Jurnalisme perlu memposisikan diri tidak lagi hanya sebagai penyampai informasi belaka, karena informasi saat ini sangat mudah didapatkan dari berbagai media. Jurnalisme harus menjadi pencerah dalam banjir informasi masyarakat, memberikan konteks suatu masalah agar publik memahami persoalan dan bukan dibingungkan dengan informasi simpang siur,” tegasnya.

Dosen Komunikasi USIM, Suria Hani A Rahman, menambahkan media dan pers di Malaysia tidak sepenuhnya merdeka seperti halnya di Indonesia yang dilindungi oleh undang-undang pers. Senada dengan yang terjadi di Indonesia, tantangan persaingan dengan sosial media juga dialami media-media di Malaysia.

“Media kritis di Malaysia saat ini mulai tumbuh dan tidak terlalu dikekang. Jumlahnya memang tidak banyak, sebagian besar media masih di bawah pengawasan pemerintah dan kami juga menghadapi tantangan yang sama pada aspek keberlanjutan bisnis media masa depan yang bersaing dengan sosial media dan digital,” katanya. (*)