Desa Butuh Transformer

Desa Butuh <i>Transformer</i>

KINI arus balik ke kota, utamanya Jakarta telah menyesaki ruas Jalan Daendels maupun jalur tol trans Jawa. Tak terhindari, angka urbanisasi pun merangsek kota-kota penyangga Ibukota. Malang tak dapat ditolak dan untung tak bisa diraih. Begitulah nasib perantau pemula yang dibawa, tepatnya dititipkan oleh para tetua desa untuk belajar mengelola keringat kota. Kita tahu, Jakarta menerima mereka apa adanya, tapi kita optimis para perantau ini tak pernah membiarkan masa setahun ke depan seadanya.

Kita pahami, dana desa yang berlimpah di desa, BUMDes yang mengakar di desa belum sepenuhnya cukup kuat menampung reranting keluh kesah warga dalam memenuhi kebutuhannya, terutama dalam menyediakan lapangan kerja. Proyek padat karya pun belum sekujurnya mampu menopangnya. Maka pengelolaan BUMDes ke depan perlu penyempurnaan dan pembaruan yang punya dampak luas.

Boro atau merantau ke kota menjadi pemandangan biasa setiap tahun pasca lebaran. Maka, romantisme desa dilipat rapat-rapat untuk tidak menjadi pecundang di kota, apalagi menjadi sampah kota. Mereka pun sadar sesadar-sadarnya, tanpa menggenggam ketrampilan yang memadai bukan tak mungkin akan tergilas di kota. Hanya bermodal otot kawat balung wesi rupanya harus bersaing dengan pengap, banal dan holigannya kota.

Dicecar himpitan kota, perantau pemula ini pun mesti waspada jangan sampai terpapar dengan model bisnis underground yang berhitung dan berkisah enaknya saja, jalan pintas dan serba cepat menghasilkan rupiah menyampingkan segenap risiko.

Bergelimang profesi, seperti bandar, kurir, pelaku narkoba, melakukan tindak kekerasan, memperdagangkan orang, menipu, merampok atau tindak kriminal lainnya selalu menganga dan mengintai selebar-lebarnya. Itulah kemudian, membentengi diri dengan nilai religi dan pandai memilah relasi menjadi amunisi untuk bisa survive di kota.

Masih adakah sisa lebaran di desa? Sesungguhnya desa bisa mengalami sepi, kala segala hiruk pikuk perlebaran selesai dihelat di desa. Misalnya tradisi sungkem atau ujung, yakni minta maaf kepada warga desa secara berkeliling dari rumah ke rumah atau santap makan opor ayam di genap idul fitri. Selesainya takbiran di surau desa atau nihilnya suara mercon, kembang api dan long bumbung yang acap membuat jantung berdetak kencang.

Diakui atau tidak, desa bisa mengalami rasa kesepian yang panjang dengan perginya para pahlawan desa ke kota demi satu hal, naik kelas. Sekurangnya dari segi ekonomi. Di beberapa desa kemarin pun sewaktu arus mudik ada yang dilanda kesepian dan harus long distance relationship (LDR) untuk memutus mata rantai penyebaran virus covid-19. Lebih ke dalam, menusuk lembah kesepian lagi, ketika desa secara pelahan ditinggalkan para imam keluarga ke kota dan yang tertinggal hanya kaum hawa. Secara tidak langsung memberikan label sebagai kampung female.

Secara sungguh-sungguh, desa bisa mengaborsi rasa sepi maupun kesepian yang hinggap. Keduanya dapat diantisipasi dengan jalinan komunikasi yang rimbun juga pasokan rupiah yang terus mengalir hingga ke pelosok desa. Melalui arus keduanya, diakui atau tidak akan mereduksi dua katub di atas. Melaluinya, pembangunan keluarga atau rumah tangga berjalan lancar bahkan pada cakupan yang lebih luas, yakni desa, progres dan kemakmuran wilayah tersebut juga semakin nyata.

Kita jejakkan sedari kini, yakni bagaimana para perantau bahkan diaspora yang bermuasal dari desa-desa itu tak melupakan apalagi mengalami alienasi terhadap desanya sendiri. Jika terjadi amnesia atas desa, maka diakui atai tidak juga akan berarti putus atau tertutupnya aliran dana berbagai bantuan ke desa. Andai terus bergantung pada pasokan dana desa, CSR maupun dana lainnya maka bukanlah challenger.

Itulah kemudian, penting bagi pemerintah desa membuat program-program yang membumi, mampu menarik kaum muda desa untuk tidak lagi terlampau dibuai mimpi-mimpi glamour kota. Bagaimana caranya? Setidaknya lewat kegiatan yang popular dan mendayagunakan sumberdaya desa, sistem informasi desa, jejaring desa, industri desa, dan tentu saja semua bisa memanfaatkan kemajuan IT. Viralisasi desa wisata, kuliner desa, tubing desa, merti desa, dll. Jika semua dikemas menarik, bukan tak mungkin pundi-pundi ekonomi akan mengalir ke desa.

Best Practise

Maka kemudian, meningkatkan kapasitas milenial desa penting dengan beragam pasokan ilmu pengetahuan, skill dan sikap yang selalu merasa memiliki desa dan karakter yang bangga atas desanya menjadi begitu bernilai di tengah gagapnya sopan santun dan absennya unggah-ungguh di negeri ini. Melakukan penanaman lahan kosong milik desa menjadi tanah produktif dan bisa dijual ke khalayak kota pada era kini juga relevan dengan kampanye pencegahan banjir, longsor, maupun bencana lainnya. Tak ada salahnya kaum muda belajar ke desa sebelah bagaimana menjadi petani milenial, membangun jejaring dan akrab dengan teknologi tepat guna.

Pendeknya, desa kini perlu transformer bahkan enabler yang mampu mengubah desa lebih produktif. Maka kemudian, transformer ini mesti penuh daya kreasi dan inovasi untuk menggairahkan daya hidup warga desa. Kita sadari transformer bukanlah Bandung Bondowoso atau illusionist David Coperfield. Transformer bisa datang dari segala penjuru mata angin: akademisi, pendamping, motivator, pebisnis, petani milenial, pendidik, kiai.

Juga kontribusi dari sosok-sosok entrepreneur, pamong desa bahkan tak menutup kemungkinan para the best practice lain, misalnya pemulung yang kini menjadi petani porang yang sukses, dll. Atau para polistisi maupun pejabat, seperti Kepala Daerah bahkan Menteri yang mau ngantor di desa pun bakal menjadi bagian transformasi desa.

Akhirnya, sebagai warga desa, tidaklah berlebihan jika hari ini kita ubah dan hilangkan budaya nangkring atau mengangkat kaki ke atas kursi dan merasa paling nyaman. Tak sedikit PR bangsa, terutama di pedesaan yang belum terselesaikan. Jangan hanya diam. Sudah saatnya seluruh warga golong gilig, keroyokan bersama mengurai belitan desa. Bergotong royong membangun kegembiraaan desa. **

Marjono

Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng