Civitas Akademika UMY Mengkhawatirkan Kembalinya Dwi Fungsi TNI

Civitas Akademika UMY Mengkhawatirkan Kembalinya Dwi Fungsi TNI
Pembacaan pernyataan sikap civitas akademika Universitas Muhammadiyah Yogyakarta di kampus setempat. (muhammad zukhronnee ms/koranbernas.id)
Civitas Akademika UMY Mengkhawatirkan Kembalinya Dwi Fungsi TNI

KORANBERNAS.ID, BANTUL – Civitas akademika Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menyatakan sikap tegas menolak pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Zuly Qodir, Guru Besar Program Studi Ilmu Pemerintahan UMY, di Kampus UMY pada Sabtu (22/3/2025).

Dalam pernyataannya, civitas akademika UMY menyoroti proses pembahasan revisi UU TNI yang dinilai berlangsung cepat, kurang transparan, dan minim partisipasi publik. Mereka menilai perubahan signifikan dalam UU No. 34 Tahun 2004 tersebut membuka ruang yang lebih luas bagi TNI di ranah publik, yang berpotensi mengancam demokrasi dan supremasi sipil.

“Kami menangkap kekhawatiran masyarakat atas kembalinya peran TNI dalam urusan sipil. Proses pembahasan revisi ini sangat cepat, seolah sembunyi-sembunyi, dan mengabaikan aspirasi publik,” ujar Prof. Zuly.

Setidaknya, ada tiga poin utama dalam revisi UU TNI yang menjadi perhatian dan kekhawatiran masyarakat. Pertama, penambahan tugas militer dari 14 menjadi 16 posisi. Kedua, peningkatan jumlah jabatan publik yang bisa diisi oleh militer aktif dari 10 menjadi 14 posisi. Ketiga, perubahan usia pensiun, di mana tamtama dan bintara dari 53 menjadi 55 tahun, perwira menjadi 58 tahun, dan perwira tinggi dapat diperpanjang hingga 63 tahun dengan tambahan dua tahun sesuai kebutuhan.

“Kami khawatir ini menjadi pintu masuk kembalinya dwi fungsi TNI yang telah dikubur oleh Reformasi 1998. Keterlibatan militer dalam urusan sipil dan politik kekuasaan berpotensi merusak komitmen bahwa TNI harus kembali ke barak dan menjadi alat pertahanan negara yang profesional,” tambahnya.

Enam Sikap Civitas Akademika UMY

Dalam pernyataan tersebut, civitas akademika UMY menyampaikan enam sikap tegas:

1. Menuntut Pemerintah dan DPR RI menjunjung tinggi konstitusi dan menjaga prinsip demokrasi serta supremasi sipil.

2. Menuntut TNI/Polri melakukan reformasi internal dan meningkatkan profesionalisme untuk memulihkan kepercayaan publik.

3. Mengimbau insan akademik di seluruh Indonesia menjaga kewarasan dalam membela demokrasi dan konstitusi.

4. Mendukung masyarakat sipil mengawal agenda reformasi dengan menjaga demokrasi dan supremasi sipil.

5. Memohon kepada Presiden RI untuk tidak menandatangani revisi UU TNI dan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) yang mengembalikan kedudukan TNI sesuai amanat Reformasi.

6. Mendorong masyarakat sipil melakukan jihad konstitusi melalui judicial review (JR) terhadap revisi UU TNI di Mahkamah Konstitusi (MK).

Cacat Formil dan Materiil

Dr. Nanik Prasetyoningsih, S.H., M.H., pakar Hukum Tata Negara UMY, menegaskan bahwa revisi UU TNI bermasalah dari sisi formil dan materiil. Ia menilai tidak adanya partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) dalam proses pembentukan undang-undang melanggar prinsip dasar pembuatan peraturan perundang-undangan.

“Dari sisi formil, proses ini bermasalah karena minim partisipasi publik. Kita bisa belajar dari pengalaman judicial review UU Cipta Kerja yang dibatalkan karena alasan serupa,” jelas Dr. Nanik.

Sementara dari sisi materiil, ia menyoroti pasal yang memperluas cakupan operasi militer selain perang. TNI kini dapat terlibat dalam bidang siber, narkotika, terorisme, dan hubungan internasional, yang selama ini menjadi wewenang lembaga lain seperti Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan Badan Narkotika Nasional (BNN).

“Jika TNI masuk ke ranah ini, bukankah ini akan menimbulkan tumpang tindih kewenangan? Kita tidak ingin pengalaman tumpang tindih antara KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan terulang kembali,” tegasnya.

Menurut Dr. Nanik, demokrasi di Indonesia seharusnya berjalan sesuai prinsip pemisahan kekuasaan. Kelebihan wewenang militer dalam urusan sipil dapat mengaburkan batas tugas institusi negara lainnya dan berpotensi mengancam kehidupan demokrasi pada masa depan.

Pernyataan sikap civitas akademika UMY ini menjadi bentuk keprihatinan mendalam atas masa depan demokrasi dan kehidupan berbangsa di Indonesia. Mereka berharap Presiden RI dan Mahkamah Konstitusi dapat mengambil langkah tegas untuk menjaga supremasi sipil sesuai amanat Reformasi 1998. (*)