Buruk Muka Seleksi Capim KPK

Oleh: Despan Heryansyah

Ada beberapa catatan yang mengiringi proses seleksi capim KPK dan Dewas KPK hari ini, yang kemudian bermuara pada ketidakpercayaan publik terhadap aktor-aktor yang terpilih. Jadi, problem atau catatan yang muncul, tidak hanya pada level prosedural formal yang dicurigai mengandung banyak cacat, namun juga orang-orang yang dipilih, menyisakan banyak tanya.

Buruk Muka Seleksi Capim KPK
Despan Heryansyah. (Istimewa).

MELIHAT gelagat proses pemilihan dan seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari-hari belakangan ini, nampaknya patah semangat akan harapan besar untuk mendapatkan pimpinan yang dapat membawa KPK kembali pada marwahnya. Publik tahu betul, bahwa satu-satunya harapan, menghadapi pelemahan KPK dari berbagai arah, mulai dari perubahan UU, perubahan status pegawai, kewenangan mengeluarkan SP3, hingga keberadaan Dewan Pengawas (Dewas) KPK, adalah dengan memilih pimpinan KPK yang memiliki rekam jejak integritas dan kapasitas unggul. Sehingga, tidak berlebih jika banyak orang harap-harap cemas atas proses pemilihan capim KPK yang beberapa waktu lalu berlangsung.

Dalam waktu yang relatif singkat, timsel capim KPK telah menentukan 10 orang nama capim KPK dan 10 nama calon pimpinan Dewas KPK, yang telah diserahkan kepada Presiden Jokowi sebelum 20 Oktober lalu. 10 nama capim KPK ini akan dikirimkan Presiden kepada DPR untuk mengikuti proses fit and proper test, sedangkan 10 nama calon Dewas akan langsung ditentukan oleh Presiden.

Beberapa Catatan

Ada beberapa catatan yang mengiringi proses seleksi capim KPK dan Dewas KPK hari ini, yang kemudian bermuara pada ketidakpercayaan publik terhadap aktor-aktor yang terpilih. Jadi, problem atau catatan yang muncul, tidak hanya pada level prosedural formal yang dicurigai mengandung banyak cacat, namun juga orang-orang yang dipilih, menyisakan banyak tanya. Pertama, nuansa politik yang kental. Presiden Jokowi yang saat itu tinggal menghitung hari, akan lengser dari jabatannya sebagai presiden, dengan sangat aktif mendorong proses seleksi capim KPK. Padahal, masa kepemimpinan pimpinan KPK saat ini baru akan berakhir pada Desember mendatang. Signal ini, tentu tidak berlebihan jika justru dibaca secara negatif oleh publik bahwa Presiden Jokowi ingin mengamankan posisinya dan keluarganya dari jeratan kasus hukum, terkhusus yang menjadi domain KPK, pasca 20 Oktober. Secara etik, Presiden Jokowi seharusnya tidak lagi mengambil kebijakan strategis, terutama dalam penentuan pimpinan lembaga negara, dalam sisa-sisa masa jabatan, terlebih calon penggantinya telah ada. Apalagi, jika mengikuti logika UU KPK yang disahkan oleh Jokowi sendiri, di mana memposisikan KPK sebagai bagian dari rumpun eksekutif, maka presiden terpilih-lah yang paling berhak memilihnya, karena akan menjadi mitranya selama lima tahun ke depan.

Kedua, kuatnya nuansa politik ini, lalu berbanding lurus dengan rendahnya kepercayaan publik terhadap 10 nama capim dan calon Dewan KPK yang ditentukan oleh Timsel. Muncul keraguan, bahwa orang-orang yang dipilih timsel diisi oleh mayoritas orang yang disandera oleh deal-deal politik di belakang layar. Apalagi, mayoritas calon yang terpilih merupakan bagian dari aparat penegak hukum dan aktor lama dalam pemerintahan. Lima (5) dari calon pimpinan KPK adalah aparat penegak hukum (2 polisi, 2 jaksa, dan 1 hakim). Menguak luka lama, sejarah berdirinya KPK adalah karena tidak bekerjanya instansi penegak hukum konvensional (kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung) dalam memberantas korupsi. Bahkan, tiga lembaga ini menjadi aktor utama pelaku KKN, sehingga menjadi lembaga yang kerap disorot oleh KPK. Maka, ada logika yang aneh saat KPK justru diisi oleh mayoritas arapat penegak hukum. Dua pertanyaan yang sulit dijelaskan: akankah keberadaan mereka di KPK dengan mudah dapat ditafsirkan akan menghambat KPK saat akan menyelidiki KKN di lembaga asalnya nanti? Atau bukankah tidak ada jaminan, bahwa mereka sendiri memiliki kasus KKN yang belum terungkap? Ini bukan masalah yang sederhana, belajar dari keberadaan Firli Bahuri, yang berasal dari kepolisian, Ketua KPK yang saat ini terjerat kasus korupsi dan menjadi blunder bagi KPK sendiri. Masalah lain adalah, hanya sedikit sekali nama-nama capim terpilih yang memiliki rekam jejak dalam dunia KKN, baik sebagai praktisi, akademisi, maupun aktivis. Tentu saja ini harus dibaca sebagai masalah yang besar, karena selain masalah integritas yang masih dipertanyakan, juga masalah profesionalitas keilmuan dan pengetahuan akan seluk-beluk korupsi di Indonesia yang belum memadai.

Ketiga, sekalipun Jokowi mengirimkan nama-nama capim KPK ke DPR dan memilih 5 orang Dewas KPK, namun tetap saja keberadaan pimpinan KPK dan Dewas KPK sangat rentan untuk dipermasalahkan, terlebih pasca putusan Mahkamah Konstitusi. Timsel Capim KPK dan Dewas KPK dibentuk oleh Presiden Jokowi, yang tentu saja berada di bawah koordinasi Jokowi. Pada sisi yang lain, MK memutuskan jabatan pimpinan KPK adalah 5 tahun, dan satu periode pemerintahan hanya bisa memilih 1 kali periode pimpinan KPK. Artinya, Presiden Prabowo lah yang kelak memiliki kewenangan untuk membentuk timsel dan menentukan capim KPK. Jika terus dipaksakan, maka kelak akan ada saja dalam perjalanannya pihak-pihak yang mempermasalahkan aspek prosedural penentuan dan seleksi pimpinan KPK, karena memang secara de jure bertentangan dengan Putusan MK.

Despan Heryansyah

Dosen Departemen HAN dan Peneliti PSHK FH UII